“Kakang, apakah Kakang tidak mendengar bahwa prajurit kadipaten Lamongan dan Tuban dikalahkan oleh prajurit Kadipaten lamongan.”
Sambil, tersnyum sinis Raden Wira Admodjo balik berkata.
“Yayi … sebenarnya masalahnya itu sepele. Prabu Indro Djojo mau menikahi yayi Dewi. Apabila yayi berkenan khan perang akan reda dengan sendirinya.”
Dada Dewi Retno Kumolo sangat muntap, dia merasa dipermainkan oleh Raden Wiro Admodjo yang sekaligus suaminya itu. Sebagai seorang puteri harga dirinya telah dilecehkan. Sambil menangis terisak-isak dan dengan nada tinggi dia berkata:
“Baiklah Kakang, tidak apa-apa Kakang menghina saya, tetapi sebagai seorang prajurit tidaklah pantas kakang berpangku tangan begitu. Dimana letak kstariamu.”
“Baik… baiklah saya akan menuju ke medan perang. Tetapi tujuanku atas nama Kadipaten Bojonegoro.”
Raden Wiro Admodjo segera menanggalkan pakaian kemantennya dan berganti pakaian prajurit. Dengan mengendarai kuda hitamnya dia berpamitan kepada Parbu Haryo Kusumo dan ayahandanya Parbu Sirolawe. Dengan berat hati Prabu Sirolawe melepas keberagkatan putra sulungnya yang sebenarnya merupakan pantangan seorang kemanten maju di medan perang. Baru saja kuda Raden Wira Admodjo akan keluar dari Pendopo Kadipaten mendadak dihentikan oleh seorang berpakaian prajurit dan bebercadar serta mengendarai kuda putih … Sri Huning, dia baru saja tiba. Demi mendengar bahwa Raden Wiro Admodjo akan berangkat perang, Sri Huning menahannya dan sebagai gantinya dia sendiri yang akan menuju ke medan perang. Raden Wiro Atmodjo tidak kuasa menahan keinginan Sri Huning.
Dengan diiringi beberapa prajurit dari kadipaten Tuban dan Bojonegoro, Sri Huning menghadang laju prajurit kadipaten Lamongan. Bagaikan seekor burung Srikatan kelincahan Sri Huning berhasil memporak-porandakan prajurit ujung tombak kadipaten Lamongan. Dengan cadar dan pakaian seorang pria tidak sedikitpun musuh mengetahui bahwa sebenarnya dia adalah seorang wanita.
Kabar hancurnya pasukan penghancur ujung tombak membuat Prabu Indro Djojo geram, dia penasaran ada orang yang mampu menghancurkan pasukan pilihannya itu. Dengan didampingi Patih Sosro Yudho, Prabu Indro Djojo langsung menghadang gerak laju pasukan gabungan kadipaten Tuban dan Bojonegoro, karena kesaktiannya prajurit gabungan itupun dapat dihancurkan. Kini tinggal pemimpin pasukan mereka yaitu Sri Huning yang bercadar dan berpakain laki-laki berhadapan dengan Prbu Indro Djojo dan Patih Sosro Yudho. Dengan geram mereka segera menyerang Sri Huning, beberapa serangan mereka dapat dihindarkan namun sebuah sabetan dari keris sakti Prabu Indro Djojo berhasil membuka cadar Sri Huning. Betapa kagetnya mereka begitu tahu bahwa musuh yang dihadapinya adalah seorang wanita. Melihat kecantikan wajah Sri Huning mata Parbu Indro Djojo menjadi hijau, dan merayunya agar mau dijadikan istri.
“Walah, ternyata cah ayu to yang maju dimedan perang. Hey Bocah Ayu siapa namamu he…, apa Kadipaten Tuban dan Bojonegoro sudah tidak memiliki senopati laki-laki ya!”
“Hey, Indro Djojo. Ketahuilah walaupun aku wanita tetapi aku adalah prajurit. Majulah kamu.”