Mohon tunggu...
Triani Triani
Triani Triani Mohon Tunggu... -

Ibu cerewetnya Zaid, Naizar dan Bilal. Istri cantiknya Mamang Mulyadin. Sederhana tapi manis, imut, lucu, sedikit nyebelin dan hobi makan... *eaaa... *bubarjalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Dia Diantara Kita

25 Desember 2017   17:27 Diperbarui: 27 Desember 2017   17:28 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bu, kata Ibu Guru hari Rabu depan Kakak sama Dede berenang." Kakak beradik Zaid dan Naizar menyambut saya yang baru saja pulang kantor."Oya?" balas saya sambil memeluk mereka satu per satu. "Coba kita lihat Rabu depan tanggal berapa ya?" lanjut saya sambil duduk di kursi tamu dan mulai membuka handphone, mencari aplikasi kalender. Zaid dan Naizar setia mengapit saya. Rabu depan, tanggal muda, tanggal dimana laporan bulanan pekerjaan saya dimulai.

"Tanggal berapa, Bu?" Naizar mendekatkan wajahnya ke handphone.

"Tanggal 6 Desember, Sayang, Ibu di kantor sedang sibuk bikin laporan. Ibu gak bisa nemenin, gak apa-apa?" tanya saya kecewa. Sejenak mereka terdiam.

"Gak apa-apa, tapi pas Ibu libur kita jadi kemping kan?" Zaid mengingatkan janji kami.

"Tentu saja." Kami bertiga berpelukan.

Malam harinya sebelum Zaid dan Naizar pergi berenang bersama teman-teman sekolahnya, saya menyiapkan semua keperluan mereka, lalu melakukan 'briefing' khas orang tua.

"Setelah berenang, baju basah dimasukkan ke dalam kantong kresek. Kantong kresek untuk baju basah ada di saku tas sebelah kanan."  Zaid dan Naizar tampak menyimak. "Kalo dijalan Kakak sama Dede keringetan, tisu ada di saku tas sebelah kiri. Kayu putih dipakai kalau Kakak sama Dede pusing dijalan, atau dipakai setelah berenang biar engga kedinginan."

"Ko tutup kayu putihnya warna ungu, Bu? Bukan merk Lang?" Zaid memperhatikan botol minyak kayu putih yang baru saja saya masukkan kedalam tasnya.

"Ini masih kayu putih Lang, Sayang, langganan keluarga kita. Sekarang ada wangi baru, KayuPutihAroma yang warna ungu ini wangi Lavender. Hangatnya masih sama, tapi sensasi wanginya lebih menyegarkan." Saya lihat Zaid mengangguk.

Setelah menyiapkan semua keperluan anak-anak, giliran saya menyiapkan keperluan kantor saya untuk besok.

Esok harinya saat jam istirahat kantor seperti biasa saya menghubungi Ibu saya yang menemani Bilal, putra bungsu saya di rumah.

"Bilal sedang apa, Bu?" tanya saya via telepon.

"Bilal sedang agak rewel, hari ini sudah 2 kali BAB, sepertinya masuk angin." jawab Ibu saya.

"Coba perutnya dioles minyak kayu putih di kotak obat, Bu." saran saya.

"Tapi kan Bilal gak suka kayu putih, wanginya pedih ke mata."

"Yang ini minyak kayu putih baru, Bu, aroma theraphy, wanginya pas gak pedih ke mata, Bilal pasti suka." jelas saya.  Ibu saya setuju.

Hari ini saya tak sabar pulang ke rumah, ingin mendengar cerita Zaid dan Naizar yang pergi berenang, juga kabar Bilal yang sedang kurang fit.

"Buu, Kakak sama Dede sudah berenangnya, seruuu.." sambut Zaid dengan sumringah.

"Oya? Baju basahnya dimasukkan ke kresek gak?" tanya saya. Mereka mengangguk.

"Tadi Dede pusing dijalan, Bu, terus pake minyak kayu putih, pusingnya ilang, minyak kayu putihnya wangi." kenang Naizar.

"Tadi habis mandi Kakak olesin minyak kayu putih ke punggung dan perut, hangat, rasanya seperti dipeluk Ibuuu.." seru Zaid sambil memeluk saya erat. Saya membalas pelukan mereka.

Percakapan kami terhenti saat Bilal, bayi 2,5 tahun yang cerewetnya gak ketulungan itu menghampiri kami.

"Eh, Bilal sudah sehat?" tanya saya sambil menciumi pipi Bilal.

"Alhamdulillah, tadi tidur nyenyak setelah dioleskan minyak kayu putih aroma, kembung dan masuk anginnya ilang, wanginya khas gak menyengat ke mata."

Alhamdulillah...

Nak, Ibu memang tak selalu ada di samping kalian. Tapi Ibu tahu apa yang paling mengerti kalian, memeluk dengan kehangatan dan membelai dengan wewangian. Biarlah dia tetap ada di antara kita, minyak kayu putih Cap Lang aroma theraphy.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun