Pertambangan timah telah lama menjadi salah satu sektor ekonomi yang penting bagi Indonesia. Namun, dibalik angka produksi yang tinggi, terdapat kisah kelam tentang dampak buruk yang ditimbulkan oleh pertambangan timah ilegal di Kepulauan Bangka Belitung. Data menunjukkan bahwa ekspor timah Indonesia ke luar negeri mencapai 68.711 metrikton, dengan kontribusi dari PT Timah Tbk, BUMN terbesar di sektor ini, hanya sebesar 12.505 metrikton (kontan.co.id), jauh dari kapasitas besar Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaan ini. Di sisi lain, cadangan timah Indonesia merupakan yang terbesar kedua di dunia, mencapai 800.000 ton logam.
Fakta menyedihkan menemani potensi besar tersebut. Baru-baru ini publik tercengang dengan terungkapnya kerugian besar yang timbul akibat pertambangan timah ilegal. Rakyat Indonesia menderita kerugian senilai 271 Triliun dengan rincian kerugian ekologis 183 triliun rupiah, kerugian ekonomi lingkungan mencapai 74 triliun rupiah, dan kerugian biaya pemulihan lingkungan mencapai 12 triliun rupiah.
 Pemerintah memang masih perlu membuktikan kerugian negara yang benar-benar diderita melalui mekanisme pengadilan yang sah. Namun perhitungan dari para ahli lingkungan ini cukup menggemparkan publik di dalam negeri bahkan di dunia Internasional. Tim Cook dari Apple bahkan sampai perlu memperingatkan mengenai dampak lingkungan dari pertambangan timah di Indonesia (mongabay.co.id).
Jika ditelisik lebih lanjut, salah satu penyebab permasalahan besar ini terkait dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang buruk. Meskipun PT Timah Tbk. memiliki IUP yang sangat besar, mereka tidak mampu mengelola dan memanfaatkan seluruhnya, sehingga perlu berkolaborasi dengan pengusaha swasta atau masyarakat.Â
Dari sini lah kemudian praktik-praktik lancung itu bermula. Modusnya adalah, pihak swasta yang diberikan izin menambang di wilayah IUP milik PT Timah Tbk, tidak menjual hasil yang didapatkan kepada pemilik IUP. Alih-alih, mereka malah menjual ke pihak swasta lain yang menawarkan harga beli yang lebih tinggi dengan mengabaikan perjanjian yang sudah disepakati dengan PT Timah Tbk. Selisih inilah yang kemudian menjadi bancakan berbagai pihak.
Tidak hanya itu, terdapat dugaan keterlibatan aparat penegak hukum yang menerima suap untuk membiarkan operasi pertambangan ilegal berjalan lancar. Data menunjukkan bahwa lebih dari 90% produksi timah berasal dari operasi tambang illegal (CNBC). Penambangan resmi yang digarap oleh PT Timah Tbk terasa seperti minoritas di tengah maraknya pertambangan ilegal.
Tambang ilegal, atau yang dikenal dengan tambang rakyat, juga selalu menjadi sorotan sejak lama. Di satu lokasi di Pulau Bangka atau Belitung, bisa terdapat ratusan kelompok petambang timah warga yang kebanyakan tidak berada di lokasi ber-IUP. Prosesnya pun tidak ramah lingkungan yakni dengan menyuntik tanah menggunakan air untuk mendapatkan pasir timah yang hasilnya kemudian disalurkan kepada para pengelup timah yang standby di sekitaran lokasi penambangan warga. Bisnis pengepul timah dari para penambang ilegal juga menjamur.Â
Mereka biasanya menerima pasir timah yang masih mentah sebelum kemudian dijual ke smelter besar. Pada tahun 2022, harga timah di tingkat terendah mencapai 200 ribu rupiah per kilogram. Satu kelompok penambang dapat menghasilkan ratusan kilo timah per pekan jika sedang mujur
Menghadapi permasalahan ini, tampaknya upaya pemerintah setempat juga selalu tumpul. Masalah dibiarkan berlarut-larut karena telah menjadi sumber mata pencaharian banyak masyarakat di sana. Upaya pemerintah daerah untuk menangani masalah ini hanya sebatas wacana untuk mengenakan pajak bagi pengepul timah sebagai salah satu langkah untuk mengontrol aktivitas pertambangan ilegal. Alternaif solusi ini bagai buah simalakama, jika diberlakukan, tampak seperti legitimasi pelaksanaan tambang inkonvensional yang sebenarnya itu jelas-jelas ilegal.
ESG dan Masa Depan Tata Kelola BUMN.
Isu ESG (Environment, Social, and Governance) telah menjadi sorotan utama dalam konteks bisnis dan investasi di era modern ini. Konsep ini menekankan pentingnya pertimbangan lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan dalam pengambilan keputusan bisnis. Dalam konteks pertambangan timah ilegal di Kepulauan Bangka Belitung, penerapan prinsip ESG dapat menjadi salah satu solusi yang efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Pertama-tama, aspek lingkungan dalam kerangka ESG memungkinkan perusahaan untuk memperhatikan dampak ekologis dari aktivitas mereka. Dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, perusahaan pertambangan dapat mengadopsi praktik-praktik ramah lingkungan, seperti rehabilitasi lahan tambang yang rusak, pengelolaan limbah yang lebih baik, dan penggunaan teknologi hijau dalam proses produksi. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa aktivitas pertambangan timah akan lebih berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan sekitarnya.
Selain itu, aspek sosial dalam kerangka ESG memperhatikan dampak sosial dari aktivitas perusahaan terhadap masyarakat lokal. Dengan mengambil pendekatan yang berorientasi pada masyarakat, perusahaan pertambangan dapat memperbaiki hubungan dengan masyarakat lokal, meningkatkan kesejahteraan mereka, dan memberikan manfaat yang lebih adil bagi mereka yang terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan. Hal ini dapat dilakukan melalui program-program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelatihan kerja bagi masyarakat lokal.
Terakhir, aspek tata kelola perusahaan (governance) dalam kerangka ESG menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pengelolaan perusahaan. Dengan menerapkan praktik tata kelola yang baik, perusahaan dapat mengurangi risiko terhadap pelanggaran hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi. Hal ini dapat menciptakan lingkungan bisnis yang lebih stabil dan dapat dipercaya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kepercayaan investor dan masyarakat terhadap perusahaan.
Secara keseluruhan, penerapan prinsip ESG dapat menjadi solusi yang efektif dalam mengatasi permasalahan pertambangan timah ilegal di Kepulauan Bangka Belitung. Dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan, diharapkan dapat diciptakan industri pertambangan yang lebih berkelanjutan, bertanggung jawab, dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi semua pihak yang terlibat. Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan investor akan menjadi kunci untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan sosial di wilayah pertambangan timah.
Peran BPKP dalam Pengawasan ESG di BUMN
Untuk mengisi kekosongan, BPKP berinisiatif untuk menjadi pihak yang melakukan pengawasan dan penilaian kualitas (asesmen) penerapan ESG, terutama dalam kontribusinya terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjuta (TPB) atau yang biasa dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs).Â
Asesmen didasarkan pada peraturan pemerintah dan presiden yang relevan, termasuk standar kerja pengawasan intern. Ruang lingkupnya meliputi penyajian, pengungkapan, dan penerapan informasi keberlanjutan dalam aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola oleh BUMN.
Melalui Peraturan Deputi Kepala Bidang Akuntan Negara Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pedoman Asesmen Penerapan Faktor ESG pada BUMN, diharapkan pemerintah dapat melakukan pengawasan dan penilaian pada setiap BUMN dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya berkaitan dengan isu lingkungan dan sosial. Terdapat 110 indikator yang akan dipotret yang terdiri dari Faktor Lingkungan (42 indikator), Faktor Sosial (36 indikator), Faktor Tata Kelola (23 indikator), dan Faktor Finansial (9 indikator).Â
Hasil potret kondisi ini kemudian dilakukan grading dan penilaian sehingga menghasilkan nilai agregat kualitas maturitas penerapan ESG ke dalam 5 level. Berturut-turut 5 level tersebut mulai dari yang terendah adalah tidak baik (ad hoc), kurang baik (initial), cukup baik (define), baik (integrated), dan sangat baik (optimized).
Dengan mulai dilaksanakannya penilaian ESG ini, diharapkan pemerintah, dalah hal ini Presiden melalui Kementerian BUMN memiliki peta yang jelas untuk melakukan tindakan preventif dan preskriptif jika menemui hasil penilaian ESG yang buruk tanpa perlu menunggu meledaknya bom waktu permasalahan karena kurangnya pengawasan yang dilakukan.
Langkah ini juga diharapkan dapat mencari titik keseimbangan baru (equilibrium) antara kepentingan bisnis, sumber penghasilan masyarakat lokal, dan terjaganya lingkungan agar terus lestari dan tidak saling merugikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H