Pertama-tama, aspek lingkungan dalam kerangka ESG memungkinkan perusahaan untuk memperhatikan dampak ekologis dari aktivitas mereka. Dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, perusahaan pertambangan dapat mengadopsi praktik-praktik ramah lingkungan, seperti rehabilitasi lahan tambang yang rusak, pengelolaan limbah yang lebih baik, dan penggunaan teknologi hijau dalam proses produksi. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa aktivitas pertambangan timah akan lebih berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan sekitarnya.
Selain itu, aspek sosial dalam kerangka ESG memperhatikan dampak sosial dari aktivitas perusahaan terhadap masyarakat lokal. Dengan mengambil pendekatan yang berorientasi pada masyarakat, perusahaan pertambangan dapat memperbaiki hubungan dengan masyarakat lokal, meningkatkan kesejahteraan mereka, dan memberikan manfaat yang lebih adil bagi mereka yang terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan. Hal ini dapat dilakukan melalui program-program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelatihan kerja bagi masyarakat lokal.
Terakhir, aspek tata kelola perusahaan (governance) dalam kerangka ESG menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pengelolaan perusahaan. Dengan menerapkan praktik tata kelola yang baik, perusahaan dapat mengurangi risiko terhadap pelanggaran hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi. Hal ini dapat menciptakan lingkungan bisnis yang lebih stabil dan dapat dipercaya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kepercayaan investor dan masyarakat terhadap perusahaan.
Secara keseluruhan, penerapan prinsip ESG dapat menjadi solusi yang efektif dalam mengatasi permasalahan pertambangan timah ilegal di Kepulauan Bangka Belitung. Dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan, diharapkan dapat diciptakan industri pertambangan yang lebih berkelanjutan, bertanggung jawab, dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi semua pihak yang terlibat. Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan investor akan menjadi kunci untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan sosial di wilayah pertambangan timah.
Peran BPKP dalam Pengawasan ESG di BUMN
Untuk mengisi kekosongan, BPKP berinisiatif untuk menjadi pihak yang melakukan pengawasan dan penilaian kualitas (asesmen) penerapan ESG, terutama dalam kontribusinya terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjuta (TPB) atau yang biasa dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs).Â
Asesmen didasarkan pada peraturan pemerintah dan presiden yang relevan, termasuk standar kerja pengawasan intern. Ruang lingkupnya meliputi penyajian, pengungkapan, dan penerapan informasi keberlanjutan dalam aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola oleh BUMN.
Melalui Peraturan Deputi Kepala Bidang Akuntan Negara Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pedoman Asesmen Penerapan Faktor ESG pada BUMN, diharapkan pemerintah dapat melakukan pengawasan dan penilaian pada setiap BUMN dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya berkaitan dengan isu lingkungan dan sosial. Terdapat 110 indikator yang akan dipotret yang terdiri dari Faktor Lingkungan (42 indikator), Faktor Sosial (36 indikator), Faktor Tata Kelola (23 indikator), dan Faktor Finansial (9 indikator).Â
Hasil potret kondisi ini kemudian dilakukan grading dan penilaian sehingga menghasilkan nilai agregat kualitas maturitas penerapan ESG ke dalam 5 level. Berturut-turut 5 level tersebut mulai dari yang terendah adalah tidak baik (ad hoc), kurang baik (initial), cukup baik (define), baik (integrated), dan sangat baik (optimized).
Dengan mulai dilaksanakannya penilaian ESG ini, diharapkan pemerintah, dalah hal ini Presiden melalui Kementerian BUMN memiliki peta yang jelas untuk melakukan tindakan preventif dan preskriptif jika menemui hasil penilaian ESG yang buruk tanpa perlu menunggu meledaknya bom waktu permasalahan karena kurangnya pengawasan yang dilakukan.
Langkah ini juga diharapkan dapat mencari titik keseimbangan baru (equilibrium) antara kepentingan bisnis, sumber penghasilan masyarakat lokal, dan terjaganya lingkungan agar terus lestari dan tidak saling merugikan.