Penantian panjang 4 tahun lebih atas sekuel film Pengabdi setan, dibuka dengan sajian versi IMAX di malam satu suro. Pasca hari itu, pujian-pujian natural dari para penonton awal diamplifikasi oleh semua pelaku utama film Pengabdi Setan 2, baik yang bermain di depan layar maupun di belakang layar. Tentu komando ada pada sang aktor utama di belakang layar "Joko Anwar".
Kapasitas Joko Anwar dalam membuat film memang termasuk jempolan. Ia tercatat mau dan memang ingin menjalani perjalanan sebagai untuk menjadi sineas yang jago. Mulai dari alasan kuliah ke ITB yang lebih karena adanya Liga Film Mahasiswa (semacam unit kegiatan perfilman di tingkat kampus ITB), hingga kemauannya 'ngintil' dan cari celah untuk dapat masuk di lingkungan perfilman nasional dengan menjadi asisten sutradari di film Arisan.
Jika disaksikan, film-filmnya bervariatif dan Joko Anwar memang mau bereksplorasi ke ranah-ranah yang belum pernah ia lalui. Mulai dari drama, thriller, semi-dokumenter, hingga yang terbaru film bergenre horor.
Yang terkenal di para penikmat karyanya adalah: film-film Joko menawarkan cerita yang memikat dan tidak biasa ditemui di cineas-cineas Indonesia. Termasuk saya, selain karena kualitas sinematografinya, saya jatuh cinta dengan Joko Anwar karena kemampuannya membuat cerita yang 'dalam'. Tengok saja film Pintu Terlarang, Modus Anomali, hingga film 'beranggaran' murah semacam Copy of My Mind.
Rentetan fakta itu, ditambah kualitas Pengabdi Setan yang pertama, harapan saya sangat membuncah pada sekuel keduanya ini. Maka, hari pertama hari penayangan, saya termakan demam marketing dengan tidak sabar harus langsung menonton. Menyiapkan segala situasi dan mental terbaik untuk menyaksikan sajian film yang disebut-sebut menjadi standar baru film horor Indonesia, bahkan mengalahkan kualitas seri pertamanya.
Adegan pembuka yang ciamik langsung membuat saya gembira dan menahan napas hingga tensi film kembali normal dan penceritaan awal tentang kehidupan di rumah susun dimulai. Pengenalan tokoh sentral termasuk tokoh-tokoh baru diceritakan dengan efisien tanpa berlama-lama menghabiskan durasi film. Penting juga bagi yang tidak sempat menikmati seri pertamanya.
Sinematografi yang memang jempolan sangat memanjakan mata. Secara visual dan audio, film ini sempurna sebagai 'hiburan horor' bagi penikmatnya. Benar dan saya setuju bahwa film ini memang semacam wahana hantu. Sejak awal hingga sepanjang film berlangsung, kerapatan plot dan adegan mendebarkan seakan tak pernah berhenti. Lighting dan teknik pengambilan gambarnya juga sangat mendukung aura horor yang ingin disampaikan.
Keberadaan pocong di mana-mana dan banyak jumlahnya (sebagaimana dibocorkan via trailernya) memang menjadi sesuatu yang sempurna untuk menyampaikan pesan bahwa film ini akan mengekspose banyak sosok (yang diasosiasikan) horor.
Sajian ini sempurna bagi Anda yang masih bisa menikmati masuk ke wahana hantu yang ada di mall-mall atau pasar malam di kampung. Namun jadi hambar bagi Anda yang tahu bahwa itu semua pura-pura dan memerlukan kedalaman cerita yang bisa membuat kita mencekam.
Saya menonton beramai-ramai dengan kawan sepermainan. Saya merasakan jalinan cerita kemudian jadi dangkal mulai dari seperempat film hingga menjelang akhir. Dan ternyata itu terkonfirmasi oleh mayoritas kawan yang berjumlan 10 itu.
Kami sepakat, jika berekspektasi menikmati horor yang dibalut cerita yang berbobot, maka Pengabdi Setan yang pertama jelas lebih berkualitas  dan membuat saya masih menikmati sensasi ceritanya selepas keluar bioskop. Itu yang tidak saya alami di Pengabdi Setan yang kedua ini.
Selepas film usai, sensasinya 'cuma' seperti saya baru saja keluar dari wahana hantu yang banyak dipapari sosok-sosok menakutkan dan jump scare pendukungnya. **Yang sebenarnya kita tahu itu adalah bohongan dan untuk hiburan.
Sebab dari sisi cerita, pengembangan plot utama (bahwa keluarga rini ini mandul dan harus bersekutu dengan setan untuk mendapatkan keturunan) menjadi terlalu dibuat-buat dan dangkal jika dihubungkan dengan seluruh kejadian-kejadian horor yang terjadi sepanjang film. Murni wahana hantu yang dipaksakan berdiri di pondasi cerita utama 'pengabdi setan untuk kesuburan'.
Memang ada upaya Joko Anwar membuat cerita ini lebih berbobot dan 'mikir' di akhir-akhir film. Namun justru saat itu ingin disampaikan, delivernya menemukan momen paling buruk dari keseluruhan film ini. Akhir film menjadi bagian yang paling membagongkan dan menjadi antiklimaks kualitas film garapan Joko Anwar kali ini. Mulai dari jumpscare berlebihan tanpa konteks, proses kekalahan 'si jahat' oleh 'si penyelamat' yang terlalu dipaksakan, hingga CGI penutup yang sungguh tampak artifisial dan tidak natural sama sekali.
Sungguh, film yang sangat baik dan berkualitas dari sisi sinematografi ini, tidak didukung dengan ide cerita yang mantap dan diperparah dengan ending yang hanya bikin bengong saja. Sinyal bahwa tiket wahana kita sudah habis dan harus keluar dari rumah hantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H