"Siapa yang memiliki anak perempuan, dia tidak membunuhnya dengan dikubur hidup-hidup, tidak menghinanya, dan tidak lebih mengutamakan anak laki-laki, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga," - Kanjeng Nabi Muhammad SAW
Sejak awal saya menanamkan pada diri sendiri, bahwa anak adalah titipan yang 'kebetulan' dilahirkan di keluarga kami. Dia memiliki takdirnya sendiri. Berikut dengan segala potensi, bakat, minat, dan apapun itu namanya yang sudah terinstall di dalam dirinya. Kami namakan sebagai fitrah.
Kami (saya dan istri) hanya memerankan diri sebagai guru yang baik. Dan guru yang baik menurut saya bukanlah orang yang mengajari, tapi dia yang menemani muridnya menjalani takdirnya sendiri. Dia yang selalu menjadi teman di kala murid bertemu dengan ilham-ilham yang diberikan Tuhan dalam setiap perjalanan hidupnya.
Termasuk dua anak perempuan saya. Satu berumur menjelang 6 tahun bernama Filosofi, dan adiknya berumur dua tahun lebih bernama Aksara.
Sebelum anak lahir, saya sudah belajar. Dan setelah anak lahir, saya makin dituntut untuk belajar. Jadi sayalah sebagai orang tua yang 'berkejar-kejaran' dengan anak saya untuk terus belajar.
Cara belajar itu bisa dari berdiskusi, menghadiri pertemuan, mendengar, dan membaca. Membaca, baik yang kasat mata maupun yang tak kasat mata.
Membaca tak kasat mata adalah mencecap setiap keadaan, detak zaman, penerawangan ke depan, dan wangsit-wangsit yang menyambar berkelindan di kepala yang kemudian sampai pada perumusan 'kurikulum' bersahaja daripada yang ndakik-ndakik layaknya yang disusun lembaga pendidikan bertarif mahal.
Kurikulum itu sederhana belaka, yakni: akal, rasa, dan karsa.
Tiga hal inilah yang saya jadikan fokus dalam menemani anak menjalani kehidupannya.
Akal
Akal berasal dari kata bahasa Arab, al-‘aql yang secara singkat memiliki makna kemampuan untuk memahami dan mempertimbangkan.
Secara sederhana, akal yang baik adalah kemampuan untuk menggunakan pikirannya dalam berlogika sehingga memiliki kemampuan membedakan yang mana buah apel dan yang mana buah jeruk, yang mana simbol huruf A dan mana simbol angka 8.
Tingkat kemampuan berakal selanjutnya adalah merangkai, membandingkan, membayangkan yang abstrak hingga sampai berimajinasi.
Anak lahir di dunia sudah dibekali otak. Tuhan juga yang berkehendak memberikan fungsi otak sebagaimana kita ketahui bersama. Maka tugas manusia pemilik otak itulah memfungsikan karunia otak dengan segala macam potensi yang melekat di dalamnya.
Latihan awalnya adalah dengan berbahasa. Dari berbahasa, anak mulai belajar membedakan setiap entitas yang dia temui secara kasat mata di dunia dan 'kesepakatan sosial' atribut nama yang melekat di benda tersebut. Saat atribut-atribut itu kemudian dirangkai, yang awalnya hanyalah 'sepeda', kemudian menjadi 'sepeda merah'.
Pengenalah berbahasa yang awalnya hanya kasat mata, akan terus berkembang untuk mengenal dan memahami hal-hal yang tak kasat mata, seperti kebaikan, manfaat, dan keburukan.
Maka, tingkat lanjutan perkembangan akalnya akan bisa merangkai:
'sepeda merah hanyalah sepeda merah, dia bisa berfungsi menjadi manfaat saat dipakai untuk suatu kebaikan, dan menjadi mudharat jika digunakan untuk keburukan. Kebaikan yang paling utama adalah kebaikan yang berimbas juga pada kebaikan orang lain. Itu yang dinamakan dengan sebaik-baik menjadi manusia adalah yang paling banyak manfaatnya.'
Untuk sampai level ini, anak akan mengalami jatuh, salah, membandingkan, meniru, meragukan, hingga akhirnya sampai pada thesis yang dia yakini. Termasuk kesadaran bahwa mungkin saja keyakinan tersebut akan dia koreksi jika menemukan antithesis yang baru di kemudian hari.
Jika harus dikonkretkan menjadi 'kurikulum' yang biasa dipahami oleh sekolah-sekolah yang ada sekarang, mungkin namanya adalah: berbahasa dan berlogika
Rasa
Bahannya sama-sama kuas, cat, dan kanvas namun saat tertuang menjadi lukisan pemandangan yang indah, perasaan kita menjadi sejuk. Berkebalikan jika menjadi gambaran seram yang menjadikan muncul rasa ketakutan.
Atau contoh lain, sama-sama disusun dari huruf A sampai Z, namun rangkaian tertentu menghasilkan sesuatu yang membuat kita tertawa, menangis, atau bahkan marah.
Ini pun kadang kita jumpai tiba-tiba tanpa pernah bisa dijelaskan secara logis. Saya berkeyakinan bahwa inilah rasa. Perasaan. Manusia memilikinya!
Maka, saya harus menemani anak untuk mengasah perasaannya. Bahwa di dunia ini ada komponen rasa yang melingkupi setiap hal-hal yang kasat mata maupun tidak.
Operasional teknisnya adalah dengan mengenalkan pada kisah-kisah yang kemudian berwujud sebagai cerita sastra maupun picisan; bunyi-bunyian yang kemudian mewujud menjadi musik dan irama; unsur-unsur kimiawi yang kemudian berbentuk bebauan dan rasa; hingga hal-hal yang bersifat maknawi berupa spiritualitas.
Sepengalaman saya, hal ini yang kemudian bisa dijadikan modal dasar 'olah rasa'. Yang wujudnya adalah kesadaran penuh (mindfullness).
Manusia hendaknya berlatih terus menerus untuk sadar betul keberadaannya dan keadaannya. Kemudian berlatih untuk menyadari juga keberadaan dan keadaan lainnya. Baik itu manusia lain, makhluk hidup lain, makhluk mati lain, bahkan hingga sesuatu lain di alam kosmis.
Harapannya, semua panca indera dan hatinya terlatih untuk mencecap keindahan alih-alih keburukan dari setiap kondisi yang ada, baik beraturan maupun takberaturan.
Karsa
Ini adalah energi. Daya dorong agar manusia berkehendak melakukan atau tidak melakukan. Ini yang membedakan manusia berdampak dengan tak berdampak. Bermanfaat secara nyata atau tidak.
Latihan paling awal adalah melatih kesehatan dan vitalitas raganya. Kehendak orang sehat dengan orang sakit jelas berbeda. Dan Tuhan juga telah mendesain sistem hormonal bernama endorphine yang bisa dipacu keluarnya dengan melakukan olah raga.
Hormon ini yang secara kimiawi dapat kita andalkan menurut kinerja 'mekanis' tubuh untuk menjadi energi dorong manusia mau melangkah. Itu mengapa, orang yang aktif berkegiatan fisik cenderung lebih bersemangat daripada orang yang malas bergerak.
Latihan-latihan fisik ini kemudian perlu ditopang dengan makanan dan gizi yang sehat, menjaga kebersihan, dan cukup istirahat. Klise namun sering tak disadari bahwa itu semua adalah bagian yang saya menyebutkan sebagai pendidikan holistik.
Tahap selanjutnya adalah kemampuan mengelola energi intrinsik di dalam dirinya. Hasil saya belajar, the ultimate sifat baik adalah ikhlas. Bahwa energi paling kuat adalah ikhlas. Ikhlaslah yang kemudian bisa menurunkan sifat baik lainnya semisal kejujuran, ketulusan, tenang, sekaligus gigih.
***
Ketiganya adalah elemen yang saling terkait dan tak bisa dipisah. Olah akal, olah rasa, dan olah karsa menopang satu sama lain.
Dengan latihan-latihan dan pembekalan dalam tiga aspek ini, doa saya sebagai orang tua tentu anak akan berkembang sesuai dengan fitrahnya.
Dia akan bergembira dengan keberadaan dirinya, memahami keberadaan di sekitarnya, paham apa misi yang dia bawa selama kehidupan di dunia yang sementara ini, sekaligus siap memaknai perubahan artificial dunianya kemanapun arahnya. Ia juga tidak bingung tugas mana yang akan dipilih.
Termasuk harapannya adalah ia mampu mengelola hempasan angin kencang setiap wacana yang sampai di depan matanya kelak.
Lelaku yang optimal di ketiga aspek itu saya meyakini akan menjadikan manusia mendapatkan kedamaian di dalam hatinya, dan biasanya akan 'bertemu' Tuhannya di saat yang tepat. Yang dalam term Islam bernama hidayah.
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H