Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Belajar dari Epictetus agar Tak Menderita Terus

12 Februari 2021   08:39 Diperbarui: 12 Februari 2021   08:57 3481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hal tergantung pada sikap kita, selebihnya tidak ~ Epictetus

Epictetus adalah seorang budak. Awal kehidupannya tidak pernah beruntung. Dia disiksa dan dipukuli oleh majikan pertamanya hingga kakinya patah dan pincang seumur hidup. Tak cukup sampai disitu, ia juga hidup miskin, sebatang kara, dan terkekang sepanjang hidupnya. Saking miskinnya, nama 'Epictetus' pun adalah hasil 'sumbangan' dari majikan keduanya yang baik, Epaphroditus.

Di bawah 'naungan' majikannya yang kedua inilah kemudian Epictetus diperbolehkan menjalani laku tirakat belajarnya kepada salah satu filsuf stoik terbesar kala itu, Musonius Rufus. Berkontemplasi atas kisah hidup pribadinya yang tragis inilah dia kemudian menjadi salah satu tokoh Filsuf Stoik besar di Yunani.

Filsafat Stoik sendiri akhir-akhir ini menjadi lebih dikenal berkat buku laris Henry Manampiring berjudul Filosofi Teras. Kata 'teras' diambil dari selasar/teras di salah satu sudut pasar di Yunani tempat orang-orang berkerumun dan belajar filsafat di jalananan. Mereka belajar dari siapapun pengunjung yang mau mengajarkan kebijaksanaan hidup. Di teras ini terdapat banyak pilar-pilar (stoik) khas bangunan Yunani. Dari pilar-pilar yang menemari para filsuf belajar inilah kemudian diambil nama Filsafat Stoik. Di tempat ini pula Epictetus belajar dan mengajarkan kebijaksanaannya.

Salah satu ajaran besar Epictetus yang legendaris adalah filsafat resiliensi. Suatu laku kognitif untuk mengidentifikasi mana aspek yang benar-benar dalam kendali kita, dan mana yang bukan dalam kendali kita. Epictetus mengajukan thesis bahwa dengan memahami betul kedua ranah tersebut, dapat meningkatkan 'daya tahan' kita terhadap peristiwa hidup maupun penderitaan yang kita hadapi.

Filsafat resiliensi yang ditawarkan Epictetus menyebutkan bahwa resiliensi (kemampuan diri untuk pulih kembali secara cepat dari keadaan sulit) dan kesehatan jiwa tumbuh dari fokus pada apa yang ada di bawah kendali kita dalam satu situasi, tanpa menjadikan diri kita gila karena hal-hal di luar kendali (Jules Evans dalam bukunya Philosophy for Life and Other Dangerous  Situation). Kita cukup mengontrol apa-apa yang memang benar dalam kendali kita dan berhenti mencemaskan dan menyalahkan hal-hal yang berada di luar kontrol kita.

Epictetus kemudian merumuskan hanya ada satu hal yang benar-benar dapat kita kendalikan, yakni pikiran kita. Semua hal di luar pikiran kita adalah aspek yang tidak dapat kita kendalikan. Kesehatan, kondisi cuaca, nyinyiran orang, kecelakaan yang menimpa, orang tua kita, pekerjaan kita, pasangan, jodoh, ekonomi, masa depan, masa lalu, atasan, kondisi tabungan, kondisi wabah, dan segala hal lain sebenarnya bukan benar-benar di bawah kendali kita.

Memang kita bisa mengusahakan agar terus sehat hendaknya menjaga kebersihan, melakukan diet makanan sehat, dan rajin berolah-raga. Namun sekeras apapun usaha kita, sejatinya ujung dari kondisi tubuh kita tidak dapat benar-benar dapat kita kendalikan. Ujung dari kondisi jasmani kita adalah kematian. Kita hanya benar-benar dapat mengendalikan pikiran kita untuk terus berusaha agar yang 'kita pikirkan' itu terbaik dan 'mengkondisikan pikiran' untuk menerima apapun yang terjadi.

Jika Anda merasa tidak mudah melakukan 'olah pikir' seperti itu, tidaklah mengapa. Sebab guru Epictetus, Musonius Rufus, sendiri mengatakan bahwa filsafat sejatinya adalah sebuah 'olahraga jiwa' yang menuntut latihan terus menerus alih-alih hanya sebuah pemahaman konsep. Atau dalam diksi khasanah Islam adalah riyadah, sebuah upaya latihan terus menerus untuk mencapai kondisi ideal yang kita inginkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Saya sendiri termasuk orang yang mengutamakan 'kenyamanan' dalam menjalani kehidupan. Pokoknya hidup harus 'nyaman dan senang' apapun kondisinya. Di sisi lain saya tidak menentukan syarat apapun agar saya 'nyaman dan bahagia'. Saya mengambil pelajaran dari Guru saya bahwa sikap 'selalu nyaman dan senang' atas kondisi apapun yang menimpa kita adalah wujud dari keberimanan dan keyakinan pada Qada dan Qadar. Awalnya memang tidak mudah, perlu latihan terus-menerus dan seringkali gagal di tengah jalan.

Dalam kitab tulisan Al-Ghazali Kimia-i Sa'adat (termasuk salah satu kitab favorit saya tentang olah jiwa- pernah saya bahas dan dapat di baca di sini) rumus awal menggapai kebahagiaan adalah memahami posisi diri di tataran kehidupan dunia (jika dalam term filsafat Yunani adalah dalam tataran kosmis semesta). Kesadaran bahwa hanya pikiran dan jiwa lah yang benar-benar dapat kita kendalikan yang kemudian tercermin dalam respon laku kita atas apapun kondisi yang sedang menimpa diri ini.

Ada satu cerita menarik yang dengan jenaka menggambarkan inti ajaran Epictetus ini.

Pada suatu hari, Yayan dan Yoyon bersama-sama membeli makan di restoran nasi padang. Sialnya, karyawan restoran itu melayani Yayan dan Yoyon secara serampangan. Pesanan-pesanan khusus yang disampaikan Yayan dan Yoyon tidak digubris sama sekali malah tertukar dengan pesanan pelanggan lain. Kini seporsi nasi padang sudah terhidang di hadapan masing-masing. Wajah Yayan mengkerut sambil menggerutu kepada Yoyon, "Yon, ini kan bukan racikan sesuai pesanan kita, kok kamu selow aja?"

"Iya sih. Pelayan itu boleh tidak menyediakan apa yang kita harapkan, tapi dia tidak boleh merampas kebahagiaan dalam pikiranku." jawab Yoyon. Saya tebak, Yoyon sudah belajar dari Epictetus agar tak menderita terus. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun