Strategi ala millennial sudah mulai dicoba yang tampak dari tampilan visual postingan IG-nya. Setidaknya menunjukkan bahwa orang-orang dibelakangnya tidak sejadul Partai Berkarya yang tampilan visualnya selalu kurang sedap dipandang mata.
Namun dilihat dari cara bertutur dan narasi yang hendak disampaikan, masih sangat jauh dari kesan 'mengerti' anak muda. Masih terlalu nampak gagasan-gagasan besar yang pangsa pasarnya sempit dan hanya cocok disampaikan di seminar-seminar, bukan dihadapan sidang netizen budiman.
Jadi AKP-nya Indonesia?
Jika mengikuti sejarah relasi tokoh sentral AKP, Recep Tayyip Erdoan dengan tokoh Hizmet yang disebut-sebut sebagai mantan guru Erdoan, Fethullah Glen, maka Partai Gelora layak disimak perkembangannya apakah sanggup menggerus suara PKS dan kemudian membalik keadaan, sebagaimana Erdoan kemudian mengkategorisasikan Jamaah Fethullah Glen sebagai organisasi terlarang.
Memang masih jauh panggang dari api jika saat ini mengharapkan tokoh Partai Gelora memimpin Indonesia dengan melihat perjalanan Erdogan dengan AKPnya di Turki.
Konstelasi masyarakat Turki kala Erdoan mencapai puncak kepemimpinan negara adalah saat mayoritas masyarakat Turki sudah jengah dengan keadaan sekulerisasi peninggalan Kemal Pasha, dan mulai tumbuhnya ghirah keislaman yang sedikit banyak hasil penyemaian yang dilakukan Fethullah Glen. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di saat kondisi keagamaan sudah lama bersemi subur dan berjalan beriringan dengan pemerintahan. Apalagi dengan adanya dua organisasi keislaman besar: NU dan Muhammadiyah yang umurnya lebih tua dari Republik ini dan berhubungan baik-baik saja dengan sistem pemerintahan yang berjalan.
Cerita AKP di Turki berlaku dan menjadi menarik untuk memprediksi kemampuan Partai Gelora besutan Anis Matta mempreteli 'guru lama'nya yaitu PKS. Meski akan menjadi tantangan berat di tengah sumber daya terbatas Partai Gelora di hadapan PKS yang sudah menjadi organisasi 'matang'. Jika berhasil, maka Partai Gelora layak disebut sebagai 'PKS-Perjuangan'.
Kesimpulan
Di alam demokrasi yang sudah disepakati dijalankan di Indonesia ini, partai-partai baru yang bermunculan menjadi tambahan warna dan semaraknya kondisi perpolitikan. Masyarakat menjadi memiliki wadah baru menyandarkan harapannya yang belum diakomodasi partai-partai yang sudah eksis.
Namun di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa membentuk partai baru yang bisa lolos ke senayan adalah perkara berat. Apalagi jika melihat kondisi Partai Gelora yang tampaknya lebih mengedepankan mengkampanyekan konsep, narasi, dan gagasan besar di setiap acara dan kampanyenya (yang sudah bisa disimak dari aktivitas Garbi yang kemungkinan tidak akan jauh berbeda saat menjadi Partai Gelora). Apalagi belum nampak 'warna' khas yang benar-benar berbeda dari partai yang sudah ada, menjadikan sulit mengambil positioning saat 'memarketing'kan.
Partai-partai baru yang disokong sumber daya besar di belakangnya saja, sangat kesulitan untuk duduk di kursi senayan pusat, apalagi Partai Gelora yang minim tokoh lintas-segmen, dan 'hanya bermodal' Rp30 Milliar 'harta rampasan' Fahri Hamzah yang didapat dari PKS.