Mohon tunggu...
Tria Marsella Mile
Tria Marsella Mile Mohon Tunggu... Lainnya - a student

SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebut Namaku dalam Matimu

25 November 2020   12:37 Diperbarui: 28 Juli 2021   23:31 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Death of Chatterton by Henry Wallis

Waktu menunjukkan pukul dua ketika aku masih terjaga. Melamun menatap siaran TV konyol, kunyalakan agar tidak terlalu sunyi, sembari memilin-milih ujung kemeja putih bercorak darah yang aku kenakan. Baunya masih di sana. Masih bisa kuingat meski enam tahun telah berlalu. Kebesaran, tentu saja. Panjangnya sampai bagian atas pahaku, dan aku tidak ingin repot-repot memakai celana. Membiarkan kaki jenjangku terbuka.

Dua botol bir kosong tergeletak berantakan bersama dengan kemasan makanan ringan di atas meja tak jauh dari diriku berada. Beserta dengan asbak yang berkolaborasi bersama puntung-puntung rokok bertebaran bersandiwara seakan dirinya adalah segumpal salju kotor yang setia menempeli tempat pembuangan limbah menjijikan. 

Keadaan apartemenku kacau. Terlihat seperti aku baru saja mengubahnya menjadi sebuah kapal pecah atau mungkin sebuah tong sampah, aku tidak tahu. Kulirik pecahan beling yang masih tersisa di dekat karpet berbulu di bawah televisi. Beberapa tissue berdarah akibat menampung kesakitan yang aku ciptakan untuk meredam kegilaan tiga puluh menit yang lalu tergeletak bersebelahan dengannya.

Kali ini, aku mengakui bahwa pernyaaan Reo dulu memang benar. Bahwa tidak ada yang bisa menolongmu selain dirimu sendiri. Aku tertawa dahulu ketika kamu mencoba mengingatkanku untuk menjadi seorang Gia yang mandiri, dengan memberikan beberapa nasihat, karena kamu selamanya tidak akan selalu berada di dekatku, begitu katamu. 

Kemudian, kalau sudah begitu, aku akan bertanya, "Kamu menyelamatkan semua orang, tetapi siapa yang akan menyelamatkanmu?"

Kamu akan terkekeh. Bersama dengan senyuman paling indah serta suara paling menyejukkan yang pernah aku dengar, Reo mengeluarkan kalimatnya seperti dia baru saja melantunkan syair hebat.

"Tidak ada yang bisa menyelamatkanku selain diriku sendiri, Gia. Manusia memang membutuhkan manusia yang lain. Tetapi, ada saatnya ketika di sana hanya ada aku dan diriku. Maka dengan begitu, biarkan lah diri ini yang akan menolong pria muda Reo yang merintih meminta pertolongan. Karena sejatinya, kamu tahu, hanya diriku lah yang tahu dimana letak kesakitan itu berada."

Aku mendengus. Mengingat bagaimana wajah seriusmu ketika membicarakan hal tersebut, aku tidak bisa tidak menangis, Reo. Kamu berkata kamu akan menyelamatkan dirimu sendiri. Tetapi apa yang terjadi kepadamu dalam peristiwa tragis enam tahun silam membuat jiwaku teriris perih, aku menangisimu setiap malam.

Bagaimana bisa kamu ikut meninggalkanku seperti ini? Bagaimana aku harus bertahan hidup, Reo? Bertahan hanyalah sia-sia jika dunia ini tanpamu. Bagaimana aku harus menghadapi tahun demi tahun yang akan datang menyergap?

Sama seperti bagaimana apartemenku terdeskripsi, begitu pun diriku. Tidak ada lagi yang tersisa setelah kamu pergi. Enam tahun semenjak wajahmu tidak nampak bersamaan dengan senyuman yang selalu membuat hatiku berdebar. Enam tahun semenjak tidak ada lagi panggilan telfon dari pemanggil yang selalu kutunggu bernama Reo ketika malam beranjak tiba. Enam tahun semenjak aku kehilangan sahabat kecil sekaligus tambatan hatiku tanpa aba-aba.

"Gia, ada apa lagi? Kamu selalu saja menangis. Bisakah kamu berhenti? Aku tidak suka melihat air mata jatuh dari kedua bola mata sejernih samudera ini,"

Reo, aku bukan Gia sahabat tiga tahunmu lagi. Perkenalkan, namaku Gia. Perempuan, dua puluh tujuh tahun. Aku tidak pernah benar-benar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut sahabatku Reo. Malam ini aku menangis. Aku menyakiti diriku, berbanding terbalik dengan apa-apa saja wejangan yang laki-laki itu tinggalkan.

Namaku Gia, yang ditinggalkan semua orang, sedang berusaha merakit asa.

Namaku Gia, Reo. Gia yang malam ini berniat untuk membunuh dirinya sendiri dalam keheningan malam, bersama tiap jengkal kenangan bersamamu yang berputar kutanamkan bersama bait-bait kerinduan.

*** 

Hujan turun deras membasahi tiap-tiap sudut kota. Awan hitam yang bergumpal di atas langit seakan menunjukkan bahwa dunia ikut terbuai dalam keperihan hati seorang gadis kecil.

Hari itu merupakan hari dimana aku harus dipaksa merelakan kepergian kedua orang tuaku untuk selama-lamanya. Umurku masih tigabelas, aku menangis kencang di pemakaman. Aku meraung meminta Ayah dan Ibu untuk hidup kembali. Pertanyaanku adalah, mengapa mereka tega meninggalkanku secepat ini?

Tanpa isyarat, tiba-tiba saja dini hari itu aku dibangunkan dengan berita bahwa kedua orang tuaku mengalami kecelakaan tragis di persimpangan jalan tidak jauh dari kantor mereka. Keduanya meninggal di tempat kejadian. Dengan keadaan kacau, masih berbalut piyama tidur bergambar beruang, aku berlari menelusuri koridor rumah sakit bersama Tante Ria dan beberapa polisi yang menjemput kami di rumah. 

Harapanku hancur hari itu. Keadaan Ayah dan Ibu jauh dari kata baik, keduanya tidak berbentuk. Yang saat itu dapat kulihat bukan seperti orang tuaku, itu lebih seperti dua orang mayat berlumuran darah yang tega menjadikan anak satu-satunya menjadi yatim piatu hanya dalam satu malam.

"Gia, sudah. Tidak apa-apa. Masih ada Tante, sayang, masih ada Tante." 

Tante Ria mencoba menenangkanku di tengah-tengah pemakaman. Semua orang menatap iba. 

Lalu kemudian, saat itulah, ketika sedang kencang-kencangnya aku berteriak meminta Ayah dan Ibu kembali, ketika raunganku hampir membuat tenggorokanku tercekik, Reo datang. Sahabatku sejak umur balita yang tiga tahun lalu baru saja pindah ke negeri jauh di sana. Dia datang demi diriku. Dia bilang, dia ingin melihatku.

"Bagaimana keadaanmu? Sudah baik-baik saja?"

Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya sejak terakhir kali kami bertatap muka sore tadi. Dia tidak mengatakan apa-apa di pemakaman, pula ketika kami sudah berada di rumahku. Reo hanya memerhatikanku yang putus asa dari kejauhan. Pukul sembilan malam, dia mengeluarkan satu kalimat yang membuatku sesak bukan main.

Tigabelas tahun Reo membuat air mataku kembali terjun malam itu. Di beranda rumah yang lengang, aku menangis di hadapannya.

"Bagaimana bisa aku merasa baik?" Bicaraku putus-putus, "Kenapa kamu pulang? Jika itu karenaku, kamu lebih baik kembali saja. Aku nggak apa-apa, Reo. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku."

Wajahnya datar. Dia memerhatikanku dalam, "Aku akan menetap di sini. Aku sudah membicarakannya dengan Ayah dan Ibu dan mereka setuju untuk pindah kembali. Kamu nggak baik-baik saja, Gia, sampai kapan pun nggak akan baik-baik saja. Jangan pernah merasa sendiri. Kamu 'kan masih punya aku."

Informasinya mengejutkanku. Tameng pertahanan hidupku kembali terajut kala itu. Harapanku membumbung tinggi. Di tengah kekalutan yang ada, setitik cahaya menyelinap membangkitkan sudut-sudut terlemahku untuk percaya bahwa aku bisa melalui sulitnya hidup.

Reo kembali ke negaranya dua minggu kemudian. Dia dan keluarganya mengurus semua hal sebelum benar-benar kembali dan menetap bersama. Mereka tinggal di rumah lama mereka yang berada tepat berhadapan dengan kediamanku. Aku sendiri tinggal ditemani seorang pembantu rumah tangga, memilih untuk menolak tawaran tinggal bersama tanteku demi mengenang memori Ayah dan Ibu di rumah.

Karena aku pun tidak percaya, kedua orang tuaku ternyata memiliki sebuah tabungan atas namaku dengan jumlah uang yang sangat besar. Benar-benar jumlah yang sangat besar. Seperti mereka memang sudah merencanakan untuk meninggalkan anaknya sendiri untuk waktu yang sangat panjang. Hidupku terjamin. Setidaknya untuk saat itu. 

Reo ada bersamaku setiap saat. Kami masuk ke dalam sekolah yang sama hingga lulus di umur delapan belas. Kami menghabiskan waktu bersama hingga aku lupa bagaimana pahitnya hidup. Reo menjelma menjadi malaikat sekaligus tameng dalam hidupku, dia seperti sebuah jalan pulang. Dia sahabatku. 

Hingga ketika umur kami sama-sama beranjak dua puluh, itu adalah saat dimana perasaanku kepadanya bukan lagi sekadar perasaan seorang sahabat. Reo lebih dari itu. Tetapi, tentu saja, aku tidak memiliki keberanian untuk menyatakannya. Seorang Gia memilih untuk memendam perasaannya selama setahun penuh hingga kami berdua merayakan ulang tahunku yang ke-21.

"Kurasa hari ini adalah hari terbaik dalam hidupku," ucapku, merebahkan diri di sofa selepas perayaan pesta ulang tahun.

Reo mengacak rambutku gemas. Dia menjatuhkan punggungnya di sampingku. Wajahnya terlihat letih. "Aku senang jika kamu senang."

"Dimana Ibu dan Ayah?"

"Sudah pulang, lelah katanya karena menerima banyak tamu di pestamu."

Aku tertawa. "Kalau begitu bagaimana denganmu? Kamu tidak lelah?"

"Tentu saja tidak."

Itu kebohongan.

"Mau makan sesuatu? Kupikir sepertinya masih ada beberapa makanan enak tersisa di dapur,"

Reo menggeleng. "Tidak, aku sudah kenyang. Sepertinya akan tidur saja. Kamu juga segera istirahat, kita akan lanjutkan pembicaraan ini besok."

Dia berdiri. Aku mengikutinya hingga ke beranda rumah. Tidak ada tanda, tidak sama sekali bahkan firasat buruk tidak datang walau sekejap. Reo sangat sehat, Reo bugar, dan Reo selalu tersenyum kepadaku. Dia adalah pria yang hebat. Pujaan hatiku adalah orang yang hebat.

"Reo, terima kasih untuk hari ini."

Dia menatapku lama. Tangannya terulur mengusap rambutku lembut. "Selama kamu bahagia, aku akan ikut bahagia bersamamu. Selamat malam, Gia. Sahabatku. Selamat mengenang malam ulang tahunmu dengan suka cita."

Aku tersenyum.

"Temui aku besok pagi, ya?"

"Tentu saja. Masuklah, Gia. Udara malam mulai dingin."

Aku mengangguk. Langkahku menjauh meninggalkannya. Dia tetap berdiri di beranda, dengan kedua tangan tenggelam di kedua saku celana, Reo tidak memutus kontak mata kami. Tatapannya redup. Rahangnya sedikit mengeras. 

Aku tersenyum sekali lagi. Menatapnya dalam, sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah.

Dan Reo di malam itu adalah Reo terakhir yang bisa kuingat dengan jelas. Aku terbangun di hari pertama di umur yang ke dua puluh satu, hanya untuk menyambut berita kematian kekasih hatiku Reo yang menggantung dirinya sendiri pada pukul tiga malam, tepat dua jam setelah pertemuan kami berakhir.

Hari itu, untuk kedua kalinya, aku ditinggal pergi.

***

Waktu menunjukkan pukul tiga ketika aku berdiri di samping kursi di tengah ruangan. Dengan kemeja lama Reo yang melekat di tubuh beserta darah yang mengucur dari beberapa luka sayatan hebat, aku menaiki kursi dan menggenggam tambang yang menggantung tepat di atas kepala.

Sunyi senyap merangkup menjadi padu. Ku pejamkan mata, sayup-sayup memori lawas ketika hidup masih terasa indah berputar bagaikan sebuah rangkaian cerita. Ketika aku masih bisa mendengar tawa Ayah dan Ibu, ketika aku masih melihat senyum manis khas Reo, atau bagaimana ketika aku masih merasakan diriku sendiri tergelak gembira. 

Air mataku jatuh sekali lagi. Untuk apa-apa yang akan aku tinggalkan, aku menangisinya. Tanganku gemetar. Seluruh tubuhku terasa lunglai. Maka dari itu, tanpa perasaan, ku ikatkan kepala pada tambang kekar tanpa ketakutan. Keputusanku bulat. Biar aku yang memutuskan bagaimana takdirku berakhir.

Kekasih hatiku Reo, di malam ini, tepat di malam pergantian ulang tahunku yang ke dua puluh tujuh pada pukul tiga dini hari, aku memikirkanmu dengan segala hal yang pernah kita lalui. Biarkan kali ini aku yang tewas. Biarkan aku yang menyusulmu.

Kemudian setelahnya, akan kusebut namamu dalam matiku. 

Dengan iring-iringan lagu kematian, akan kucekal takdirku dengan begitu kejam. Akan kutanggalkan seluruh kelopak yang akan berguguran di atas tanah merah dimana tempatku terakhir singgah.

Reo, kekasih hatiku, tepat di malam ke enam peringatan kepergianmu, jejakku akan hilang tergerus kabar buruk. Tolong jangan marah jika nanti kita bertemu. Karena jika boleh jujur, aku selalu merindumu dengan detak waktu yang mengalir sia-sia. Kali ini, biarkan aku juga merasakan apa yang dulu kamu rasakan.

Karena dengan begitu, aku akan melepas seluruh kenangan menyakitkan di dunia. Aku akan melupakan segala hal.

Segala hal, dalam konteks apa pun, terkecuali tentang apa yang berguguran di antara kita. Termasuk cinta.

***

Jakarta, 25 September 2020,

Karya Tria Marcella Mile.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun