"Reo, terima kasih untuk hari ini."
Dia menatapku lama. Tangannya terulur mengusap rambutku lembut. "Selama kamu bahagia, aku akan ikut bahagia bersamamu. Selamat malam, Gia. Sahabatku. Selamat mengenang malam ulang tahunmu dengan suka cita."
Aku tersenyum.
"Temui aku besok pagi, ya?"
"Tentu saja. Masuklah, Gia. Udara malam mulai dingin."
Aku mengangguk. Langkahku menjauh meninggalkannya. Dia tetap berdiri di beranda, dengan kedua tangan tenggelam di kedua saku celana, Reo tidak memutus kontak mata kami. Tatapannya redup. Rahangnya sedikit mengeras.Â
Aku tersenyum sekali lagi. Menatapnya dalam, sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah.
Dan Reo di malam itu adalah Reo terakhir yang bisa kuingat dengan jelas. Aku terbangun di hari pertama di umur yang ke dua puluh satu, hanya untuk menyambut berita kematian kekasih hatiku Reo yang menggantung dirinya sendiri pada pukul tiga malam, tepat dua jam setelah pertemuan kami berakhir.
Hari itu, untuk kedua kalinya, aku ditinggal pergi.
***
Waktu menunjukkan pukul tiga ketika aku berdiri di samping kursi di tengah ruangan. Dengan kemeja lama Reo yang melekat di tubuh beserta darah yang mengucur dari beberapa luka sayatan hebat, aku menaiki kursi dan menggenggam tambang yang menggantung tepat di atas kepala.