Sunyi senyap merangkup menjadi padu. Ku pejamkan mata, sayup-sayup memori lawas ketika hidup masih terasa indah berputar bagaikan sebuah rangkaian cerita. Ketika aku masih bisa mendengar tawa Ayah dan Ibu, ketika aku masih melihat senyum manis khas Reo, atau bagaimana ketika aku masih merasakan diriku sendiri tergelak gembira.Â
Air mataku jatuh sekali lagi. Untuk apa-apa yang akan aku tinggalkan, aku menangisinya. Tanganku gemetar. Seluruh tubuhku terasa lunglai. Maka dari itu, tanpa perasaan, ku ikatkan kepala pada tambang kekar tanpa ketakutan. Keputusanku bulat. Biar aku yang memutuskan bagaimana takdirku berakhir.
Kekasih hatiku Reo, di malam ini, tepat di malam pergantian ulang tahunku yang ke dua puluh tujuh pada pukul tiga dini hari, aku memikirkanmu dengan segala hal yang pernah kita lalui. Biarkan kali ini aku yang tewas. Biarkan aku yang menyusulmu.
Kemudian setelahnya, akan kusebut namamu dalam matiku.Â
Dengan iring-iringan lagu kematian, akan kucekal takdirku dengan begitu kejam. Akan kutanggalkan seluruh kelopak yang akan berguguran di atas tanah merah dimana tempatku terakhir singgah.
Reo, kekasih hatiku, tepat di malam ke enam peringatan kepergianmu, jejakku akan hilang tergerus kabar buruk. Tolong jangan marah jika nanti kita bertemu. Karena jika boleh jujur, aku selalu merindumu dengan detak waktu yang mengalir sia-sia. Kali ini, biarkan aku juga merasakan apa yang dulu kamu rasakan.
Karena dengan begitu, aku akan melepas seluruh kenangan menyakitkan di dunia. Aku akan melupakan segala hal.
Segala hal, dalam konteks apa pun, terkecuali tentang apa yang berguguran di antara kita. Termasuk cinta.
***
Jakarta, 25 September 2020,
Karya Tria Marcella Mile.