Sama seperti bagaimana apartemenku terdeskripsi, begitu pun diriku. Tidak ada lagi yang tersisa setelah kamu pergi. Enam tahun semenjak wajahmu tidak nampak bersamaan dengan senyuman yang selalu membuat hatiku berdebar. Enam tahun semenjak tidak ada lagi panggilan telfon dari pemanggil yang selalu kutunggu bernama Reo ketika malam beranjak tiba. Enam tahun semenjak aku kehilangan sahabat kecil sekaligus tambatan hatiku tanpa aba-aba.
"Gia, ada apa lagi? Kamu selalu saja menangis. Bisakah kamu berhenti? Aku tidak suka melihat air mata jatuh dari kedua bola mata sejernih samudera ini,"
Reo, aku bukan Gia sahabat tiga tahunmu lagi. Perkenalkan, namaku Gia. Perempuan, dua puluh tujuh tahun. Aku tidak pernah benar-benar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut sahabatku Reo. Malam ini aku menangis. Aku menyakiti diriku, berbanding terbalik dengan apa-apa saja wejangan yang laki-laki itu tinggalkan.
Namaku Gia, yang ditinggalkan semua orang, sedang berusaha merakit asa.
Namaku Gia, Reo. Gia yang malam ini berniat untuk membunuh dirinya sendiri dalam keheningan malam, bersama tiap jengkal kenangan bersamamu yang berputar kutanamkan bersama bait-bait kerinduan.
***Â
Hujan turun deras membasahi tiap-tiap sudut kota. Awan hitam yang bergumpal di atas langit seakan menunjukkan bahwa dunia ikut terbuai dalam keperihan hati seorang gadis kecil.
Hari itu merupakan hari dimana aku harus dipaksa merelakan kepergian kedua orang tuaku untuk selama-lamanya. Umurku masih tigabelas, aku menangis kencang di pemakaman. Aku meraung meminta Ayah dan Ibu untuk hidup kembali. Pertanyaanku adalah, mengapa mereka tega meninggalkanku secepat ini?
Tanpa isyarat, tiba-tiba saja dini hari itu aku dibangunkan dengan berita bahwa kedua orang tuaku mengalami kecelakaan tragis di persimpangan jalan tidak jauh dari kantor mereka. Keduanya meninggal di tempat kejadian. Dengan keadaan kacau, masih berbalut piyama tidur bergambar beruang, aku berlari menelusuri koridor rumah sakit bersama Tante Ria dan beberapa polisi yang menjemput kami di rumah.Â
Harapanku hancur hari itu. Keadaan Ayah dan Ibu jauh dari kata baik, keduanya tidak berbentuk. Yang saat itu dapat kulihat bukan seperti orang tuaku, itu lebih seperti dua orang mayat berlumuran darah yang tega menjadikan anak satu-satunya menjadi yatim piatu hanya dalam satu malam.
"Gia, sudah. Tidak apa-apa. Masih ada Tante, sayang, masih ada Tante."Â