Laki-laki itu menggendongku dengan begitu erat menuju sebuah kursi diurutan paling atas sebuah gedung pertunjukan. Semua mata tertuju kepada kami, namun dia tidak memperdulikannya. Sorotan matanya pun mencoba meyakinkan keraguanku untuk tidak memperdulikan mereka. Dalam getar rasa haru aku merangkulkan tanganku dilehernya sambil berbisik kepadanya.
“Demi Allah, kini aku cacat, tidak memiliki satu kakipun. Tidakkah kau malu membawaku ke tempat seperti ini?”kataku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Dirinya diam sesaat lantas dia menatapku dengan senyuman penuh keyakinan dan kelembutan. Dari sorot matanya jelas dia tidak ingin melihatku seperti sekarang ini.
“Demi Allah, sekalipun kau cacat, kau tetaplah seorang bidadari yang Allah takdirkan menjadi istriku di dunia dan semoga sampai di surga-Nya nanti. Lantas apa yang harus membuatku malu mengendongmu seperti sekarang ini. Kau halal bagiku. Kita bersamapun dengan jalan yang benar sesuai dengan yang ditetapkan agama. Kau tahu, jika aku menggendongmu, merangkulmu, berbicara cinta kepadamu, memujimu dengan kehangatan, menyatakan rasaku di luar ijab qobul yang tidak bisa menghalal ikatan kita, baru aku malu. Karena dengan begitu aku telah merusak fitrah cinta yang telah dianugerahkan Allah, telah merusak hatimu, telah menggiringmu pada kecacatan iman dan ketidak yakinan kepada Allah atas harapan yang buat di luar kehendak-Nya, seperti mereka yang mengagung-agungkan rasa tanpa dasar dan tujuan yang jelas. Menimang-nimang syetan yang datang dalam buaian kehangatan yang hanya berlandaskan nafsu bukan iman. Keyla, aku yakin di langit sana para bidadari cemburu pada-Mu, karena keromantisan ini kita lakukan setelah ikatan halal. Tidak ada yang boleh memandangmu sebagai wanita yang cacat, karena di mata dan hatiku kau adalah penyempurna agamaku dan hatiku. Dan cintamu suci dalam naungan ridho Illahi,,, insya Allah... amiin”katanya sambil berjalan kembali menuju nomor kursi yang kami pesan.
Bibir ini sungguh terkatup, tidak sanggup lagi untuk mengungkap segala rasa yang bergejolak di hati. Ada tetes bening yang mengalir di sudut mataku. Hangat menyusuri pipiku. Dalam pagelaran drama kali ini aku tidak mampu konsentrasi menikmati isi ceritanya. Tanpa sadar aku menatap laki-laki yang ada di sampingku lekat. Wajahnya tampan, alisnya tebal, matanya teduh, hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Sebuah kaca mata tanpa bingkai dikenakannya, menambah pesona tersendiri di mata para wanita yang memandangnya. Sungguh beruntungnya aku yang berwajah biasa-biasa ini dan dalam keadaanku yang cacat seperti ini mendapatkan sosok yang begitu ridho menerimaku seperti dirinya. Rasanya tidak ada amalan baik yang layak dan pernah aku lakukan untuk bisa mendapatkan pendamping seperti dirinya. Maha Kuasa Allah atas segala kehendak-Nya.
Tangannya tiba-tiba memegang tanganku erat, menghenyakkanku yang tengah terfokus memandanginya. Seandainya ruang pagelaran ini dalam lampu terang, tentulah rona merah yang menyelimuti pipiku kini akan terlukis jelas dalam mata telanjang orang-orang disini.
Dengan segera aku palingkan wajahku dari wajahnya yang masih terfokus menikmati cerita dari drama klosal yang telah dimainkan di panggung sana. Aku baru tersadar, drama ini mengisahkan tentang seorang laki-laki muslim yang begitu mencintai seorang muslimah buta yang tinggal disebuah negeri. Sungguh seperti menyaksikan kisah hidupku sendiri. Hanya saja yang membedakannya aku tidak buta, hanya kedua kakiku saja diambil oleh-Nya karena ketidak amanahanku.
Pagelaran selesai, Reihan terus menggendongku menuju kursi roda yang memang disimpan tepat di pintu keluar oleh seorang pelayan yang berbaik hati membantu kami. Aku masih termenung ketika duduk di kursi roda yang di dorong oleh Reihan. Merenungi nasibku yang memang sungguh tak pernah terbayangkan akan seperti sekarang ini. Suasana hening, dan aku semakin dikakukan kembali oleh keadaan. Reihan menatapku heran ketika keluar dari gedung pertunjukan itu. Tiba-tiba kursi rodaku berhenti bergerak. Sungguh awalnya aku tidak menyadari itu. Sosok yang tadi berada di belakangku, kini telah berjongkok di depan mataku. Sorot matanya tajam hingga menusuk ke hatiku. Dia selalu bisa menangkap kemelut di hati ini.
“Keyla sayang, kamu kenapa lagi?”katanya begitu mengkhawatirkan aku.
“Mas, bagaimana mungkin kau bisa mengganggapku mampu menyempurnakan hatimu, sedangkan aku cacat seperti ini? Cinta kita takan mungkin sempurna mas, terlalu rumit. Aku hanya akan menjadi beban dalam hidupmu.”kataku tiba-tiba terinsak ditengah lalu-lalang para penonton pertunjukan sore ini.
Hembusan nafas tiba-tiba saja berhembus dengan ringan namun ada sedikit yang membuatnya terkesan berat. Laki-laki itu mencium keningku lembut, lantas memelukku begitu erat. Hingga aku merasakan ada rasa nyaman menyeruak dalam dadaku yang tadi terasa begitu sesak. Tanpa menjawab pertanyaan barusan dia mendorong kursi rodaku hingga sampai di depat mobil kami. Setelah dia membukan pintu depan, dia hampir menggendong tubuhku, namun aku menahannya. Kupegang tangannya erat sambil menatap air wajahnya yang selalu tenang itu. Ada yang ingin aku tangkap dari air wajah itu, setelah aku tidak menemukan jawaban sepatahpun darinya.