Kapal yang mengarah ke Timur membuat cahaya matahari mulai menyilaukan. Jadilah saya duduk menyamping ke arah Utara, kadang pindah posisi menghadap ke Selatan. Kadang selonjor kadang bersila supaya kaki tidak kesemutan. Suara motor kapal memekakkan telinga. Berbicara biasa tidak akan kedengaran, kita musti berteriak dan mendekatkan mulut ke telinga lawan bicara.
Untuk membunuh waktu, saya ajak ngobrol tiga anak yang mengiringi perjalanan kami. Wulan gadis kecil kelas 3 SD yang ceria dan selalu tersenyum dan tertawa manis memperlihatkan giginya. Gadis kecil yang berani berenang di laut. Hasyim yang cool, kelas 10 dan Kacong kelas 6 yang senyum-senyum di kulum. Wulan dan Hasyim adalah putra-putri pak Joyo sang nakhkoda, sementara si manis Kacong adalah keponakannya.
Sampailah kami di pulau yang luasnya hanya sekitar 5 km2 dan berpenduduk 32 kepala keluarga itu. Kami mendarat di dekat warung bu Rini, teman satu jaringan mas Fadil. Kami disambut dengan pemandangan saung beratapkan daun rontal kering dengan amben terbuat dari bilah bambu, juga meja kursi dari bilah bambu yang tersusun rapi di bawah pohon kelapa yang teduh. Cemara udang yang masih muda dengan tinggi sekitar satu meteran ditanam berjajar rapi. Pemandangan hijau yang menyegarkan dan mempesona.
Selesai ngopi dan rehat sejenak, pak Joyo mengajak berjalan mengelilingi Gili Labak. Sekitar 30 menit kalau berjalan tanpa henti memutari pulau, tetapi karena kami sering berhenti untuk berselfi ria, maka satu jam lebih baru kelar mengitari Gili Labak. Panasnya bukan kepalang. Sengsaralah yang tidak membawa payung atau memakai topi, atau sunglasses, tetapi pemandangannya menakjubkan. Melihat ke laut, seakan ada garis lengkung yang memisahkannya menjadi dua warna, biru muda toska dan biru tua keabuan. Melihat pantainya, sungguh seneng karena sepanjang mata memandang yang ada adalah pantai yang bersih dan pasir yang putih. Tapi sayangnya, ini bukan karena kesadaran pengunjung membawa pulang kembali sampahnya, melainkan karena petugaslah yang membersihkan pantai dari sampah. Dalam perjalanan memutari Gili Labak, kami jumpai pondok tempat mengumpulkan botol plastik. Pondok tempat rumput dan tanaman kering, yang menurut pak Joyo, ini untuk dibawa ke darat untuk makanan ternak. Homestay dengan tulisan Gili Labak warna-warni, bibit cemara udang sepanjang pantai, nelayan yang menjemur ikan hasil tangkapannya menjadi ikan asin, ikannya berwarna biru muda toska. Kelelawar yang bergelantungan, yang mengindikasikan hutan di sekitarnya akan tumbuh subur, serta jembatan pandang yang menjorok ke laut.
Oooh Gili Labak, suatu saat kami akan kembali bersamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H