Mohon tunggu...
Tri Wardhani
Tri Wardhani Mohon Tunggu... dosen dan IRT -

mengajar di Fakultas Pertanian, Univ. Widyagama Malang dan ibu seorang putri yg mulai beranjak dewasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gili Labak, Hidden Paradise in Sumenep

13 Januari 2017   00:24 Diperbarui: 13 Januari 2017   01:24 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapal yang mengarah ke Timur membuat cahaya matahari mulai menyilaukan. Jadilah saya duduk menyamping ke arah Utara, kadang pindah posisi menghadap ke Selatan. Kadang selonjor kadang bersila supaya kaki tidak kesemutan. Suara motor kapal memekakkan telinga. Berbicara biasa tidak akan kedengaran, kita musti berteriak dan mendekatkan mulut ke telinga lawan bicara.

Untuk membunuh waktu, saya ajak ngobrol tiga anak yang mengiringi perjalanan kami. Wulan gadis kecil kelas 3 SD yang ceria dan selalu tersenyum dan tertawa manis memperlihatkan giginya. Gadis kecil yang berani berenang di laut. Hasyim yang cool, kelas 10 dan Kacong kelas 6 yang senyum-senyum di kulum. Wulan dan Hasyim adalah putra-putri pak Joyo sang nakhkoda, sementara si manis Kacong adalah keponakannya.

otw Gili Labak
otw Gili Labak
Mendekati Pantai Gili Labak suasana menjadi bergairah. Beberapa kapal bersamaan merapat. Ada yang penumpangnya sarapan di atas kapal, ada yang sudah turun dengan bantuan tangga. Ohhh lega rasanya bertemu daratan. Turun dari kapal air laut masih setinggi pinggul. Basahlah celana kami. Dan yang membuat kami geli, suamiku menyunggi tas kamera dan ranselnya di atas kepala supaya tidak basah. Pemandangan langka.

Sampailah kami di pulau yang luasnya hanya sekitar 5 km2 dan berpenduduk 32 kepala keluarga itu. Kami mendarat di dekat warung bu Rini, teman satu jaringan mas Fadil. Kami disambut dengan pemandangan saung beratapkan daun rontal kering dengan amben terbuat dari bilah bambu, juga meja kursi dari bilah bambu yang tersusun rapi di bawah pohon kelapa yang teduh. Cemara udang yang masih muda dengan tinggi sekitar satu meteran ditanam berjajar rapi. Pemandangan hijau yang menyegarkan dan mempesona.

Tas-tas pun kami letakkan di amben bambu. Istirahat sejenak sambil ngopi dan minum degan yang dipesan di warung bu Rini di lokasi kami mendarat. Sebutir degan harganya 10rb. Warung bu Rini menjual minuman dan snack ringan serta celana selutut sehingga jika terlupa membawa ganti atau basah bisa membeli di warung ini.

Selesai ngopi dan rehat sejenak, pak Joyo mengajak berjalan mengelilingi Gili Labak. Sekitar 30 menit kalau berjalan tanpa henti memutari pulau, tetapi karena kami sering berhenti untuk berselfi ria, maka satu jam lebih baru kelar mengitari Gili Labak. Panasnya bukan kepalang. Sengsaralah yang tidak membawa payung atau memakai topi, atau sunglasses, tetapi pemandangannya menakjubkan. Melihat ke laut, seakan ada garis lengkung yang memisahkannya menjadi dua warna, biru muda toska dan biru tua keabuan. Melihat pantainya, sungguh seneng karena sepanjang mata memandang yang ada adalah pantai yang bersih dan pasir yang putih. Tapi sayangnya, ini bukan karena kesadaran pengunjung membawa pulang kembali sampahnya, melainkan karena petugaslah yang membersihkan pantai dari sampah. Dalam perjalanan memutari Gili Labak, kami jumpai pondok tempat mengumpulkan botol plastik. Pondok tempat rumput dan tanaman kering, yang menurut pak Joyo, ini untuk dibawa ke darat untuk makanan ternak. Homestay dengan tulisan Gili Labak warna-warni, bibit cemara udang sepanjang pantai, nelayan yang menjemur ikan hasil tangkapannya menjadi ikan asin, ikannya berwarna biru muda toska. Kelelawar yang bergelantungan, yang mengindikasikan hutan di sekitarnya akan tumbuh subur, serta jembatan pandang yang menjorok ke laut.

Sampailah kembali kami ke warung bu Rini. Jalan kaki dalam suasana terik membuat perut terasa lapar walau masih pukul 11. Ikan makan siang yang sudah dipesankan oleh mas Fadil di warung Bu Rini masih dibakar. Makan siangnya seharga 20-30rb/porsi. Menunya nasi putih, ikan bakar entah ikan apa bentuknya semacam ikan dorang, sambal mentah, tempe goreng, sayurannya bukan lalapan tapi tumis buncis dan sop sehat. Hmmm nikmaaat apalagi dalam kondisi lapar .. hahaha.

Setelah perut kenyang, bersiap-siaplah kami meninggalkan Gili Labak. Pak Toyo bertanya apakah kami akan snorkeling. Lha iya doong, itu salah satu tujuan utama kami. Tidak seperti di pantai lainnya di mana kita snorkeling agak ke tengah laut, maka di Gili Labak snorkeling dilakukan di laut yang tidak jauh dari pantai. Dan, ikan kecil cantik yang berenang-renang dapat kita panggil. Caranya dengan diberi makan. Makanan bukan pelet, cacing atau ikan yang lebih kecil, tetapi roti. Roti? Iya roti. Maka pak Joyo pun sibuk mencari botol bekas air mineral. Tutup botolnya dilubangi. Roti disobek-sobek, dimasukkan ke dalam botol, diberi air dan dikocok sampai menjadi semacam bubur encer. Bubur roti encer dikecrut-kecrut ke air laut, dan ikan-ikan pun berdatangan. Lucu ya caranya.

Sungguh tidak rugi pergi ke pulau ini. Namun walaupun sangat berkesan, liburan kali ini terasa kurang lengkap karena putri semata wayang kami tidak ikut serta. Dia masih menimba ilmu di Negeri Matahari Terbit.

Oooh Gili Labak, suatu saat kami akan kembali bersamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun