"Lalu, sekarang giliran aku yang kesepian, giliran aku yang ditinggal sendiri?" tanyaku penuh tuntutan. Bukannya apa, yang benar saja, aku yang membuatnya untuk bangkit. Kembali membuka lembar baru tanpa adanya luka. Sekarang?
Mencintai dengan tulus tetap saja kalah dengan masa lalu yang belum usai, ya?
"Maaf, tetap dia orangnya."
Jika begitu, aku harus apa lagi? Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan dia yang kembali lagi. Dengan begitu, aku mengerti. Semua usaha yang aku lakukan berujung sia-sia. Nyatanya tidak ada cinta yang benar-benar cinta. Sebab, cinta sebelum ijab kabul hanyalah nafsu belaka. Dan, aku menyadarinya.
"Terima kasih telah menemani hari-hariku yang sepi. Sekarang, tokoh utamanya sudah kembali, dan kami akan kembali melanjutkan kisah yang tertunda."
Rasanya, ingin sekali aku melempar sepatu yang sedang kukenakan. Tetapi bodohnya air mata ini mengalir tanpa izin. Padahal, aku sudah berjanji. November hujannya turun ke bumi, bukan ke pipi.
Selamat, berkatmu aku kembali mengerti bahwa, mencintai seseorang dengan tulus itu belum tentu cukup. Perlu logika, juga batas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H