Secara nasional SAMPYONG dikenal dengan nama UJUNGAN, khususnya di Jawa Barat. Di daerah tertentu ada yang mengistilahkan "Ojung" (daerah sekitar Jawa Timur), "Peresean" istilah di kalangan Suku Sasak-Lombok Nusa Tenggara Barat, dan "Beripat Beregong" untuk daerah Belitung.
Jika di daerah lain ada yang mengistilahkan kata "Sampyong" lebih ditujukan kepada alat musiknya yang terdiri dari gambang dan totok (kentungan bambu), sedangkan di Indramayu lebih pada jumlah pukulan atau tata caranya.Â
Konon istilah SAMPYONG berasal dari Bahasa Cina yang berarti "SAM" itu tiga dan "PYONG" itu berarti pukulan. Hal ini selaras dalam aturan permainannya dimana lawan diperbolehkan memukul bagian tubuh tertentu dengan tiga kali pukulan secara bergiliran. Alat pemukulnya berupa sebilah rotan yang memiliki panjang berkisar 60 Cm.
Ada banyak versi menurut riwayatnya, ada yang berpendapat bahwa kesenian sampyong atau lebih mendekati sebagai olahraga atau permainan tradisional ini lahir dari kebiasaan para pendekar atau jawara dalam memilih dan menyeleksi yang paling sakti.Â
Mereka diuji dengan pukulan tongkat rotan. Puncaknya, mereka mengambil satu juara dengan kriteria paling sedikit dapat pukulan dan paling banyak memberikan pukulan atau dapat menaklukan lawan.
Ada pula yang menyebut, berawal dari permainan para bocah angon (penggembala) sapi, kerbau atau kambing di padang-padang rumput. Mereka berupaya menjadi penguasa padang rumput yang paling luas. Siapa yang paling jago, maka daerah kekuasaan berupa padang rumput pun makin luas.Â
Saat itu alat yang digunakan bukan rotan, akan tetapi hanyalah dahan perdu yang masih ada daun-daunnya. Latar lainnya menyebutkan, kesenian ini dimaksudkan untuk membina mental dan fisik para pejuang agar tidak takut melawan Belanda. Karena itulah sampyong dimaknai sebagai perjuangan sampai titik darah penghabisan.
Sementara SAMPYONG yang berkembang di desa Tugu Kecamtan Sliyeg yang memiliki aliran "wetanan" dilatarbelakangi oleh kisah Ki Dampu Awang, seorang tangan kanan Laksamana Cheng Ho yang pada tahun 1415 singgah di pantai Junti.Â
Dampu Awang terkenal sakti, sehingga ia dapat mengalahkan banyak perompak di lautan utara Jawa. Lambat laun nama besar Dampu Awang menggugah hasrat Ki Ageng Tugu untuk mengadu kesaktiannya.
Singkat cerita kedua tokoh yang memiliki kesaktian itu pun bertarung untuk mengetahui siapa yang paling sakti. Pertempuran yang sifatnya tren itu menggunakan alat sebilah ujung rotan yang panjangnya berkisar 60 Cm. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal bakal adanya SAMPYONG di Desa Tugu.
Sampyong merupakan jenis permainan atau olahraga tradisional yang mengedepankan ketangkasan dan kekuatan fisik. Meskipun terkesan sarkasme, namun di balik kerasnya permainan Sampyong terkandung makna yang dapat menggugah spirit baik bagi si pelaku maupun masyarakat secara umum; selain sebagai penggemblengan mental, mempererat silaturahmi, dan dalam Sampyong terkandung makna refleksi diri bahwa kita hidup berupaya untuk tidak menyakiti orang lain, karena kita akan merasakan hal yang sama apabila kita tersakiti oleh lawan atau orang lain.
Dahulu Sampyong digelar ketika masa panen usai. Karena jenis permainan ini membutuhkan ruang terbuka maka kerap dilakukan di sekitar sawah maupun alun-alun desa.Â
Selain para jawara keterlibatan wasit atau disitilahkan "Garet" juga para penabuh gamelan menjadi faktor penentu baik secara teknis aturan main dan menambah estetis karena teriringi oleh musik yang khas yang dihasilkan dari efek bunyi alat musik yang sederhana, seperti kendang, gong dan kenong.
Sebelum tahun 90-an Sampyong merupakan tradisi yang menyebar di tiap-tiap desa, khususnya desa yang terdapat area pertanian. Oleh karenanya ketika Sampyong digelar pesertanya bukan saja para jawara desa setempat, melainkan lebih sering mengundang juga jawara-jawara dari desa lain.Â
Dari situ kemudian dikenal ada istilah dua aliran, yakni aliran Dermayu Kulonan (Barat) dan Dermayu Wetanan (Timur) yang masing-masing memiliki kekhasan sendiri, terutama pada gaya jogedan (tarian), teknik pukul, dan juga reaksi jawara ketika mendapat pukulan atau ketika lawan meleset memukul.
Dalam pertunjukan Sampyong tidak mengenal batasan waktu, lamanya helaran tergantung dari berapa jumlah peserta atau jawara yang turut dalam pertandingan tersebut, lain halnya dengan aturan permainan dimana setiap jawara ketika berhadapan diberi kesempatan memukul pada bagian tubuh tertentu sebanyak tiga kali secara bergiliran dan tentunya kapan waktu mukul adalah pada saat sang wasit atau "Garet" memberikan aba-aba dengan cara menggariskan ujung rotannya di tanah dan setelah lawan yang akan menerima pukulan telah menggolengkan bagian kakinya sebagai isyarat bahwa dia sudah siap menerima pukulan.
Sekalipun mengalami memar-memar pada bagian kaki dan terkadang ada yang mengalami luka namun setelahnya para jawara tidak menaruh dendam sedikit pun, kalau pun ada tidak mereka lontarkan di luar kalangan atau arena Sampyong, akan tetapi melampiaskannya di musim Sampyong di tahun berikutnya tentu dengan cara mengikuti aturan yang telah disepakati.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H