Mohon tunggu...
Indah W.
Indah W. Mohon Tunggu... -

: a wandering soul in her journey to the final destination..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rindu: Dua Minggu Mencari Cinta - TAMAT Versi Indah

18 Agustus 2010   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode-episode sebelumnya dapat dilihat di sini: Rindu: Dua Minggu Mencari Cinta #1 s/d #20

"Panji, please, antar Rindu pulang. Aku ingin istirahat." Satria berpaling pada Panji yang tanpa sadar telah beranjak mendekat dan melingkarkan tangannya ke bahu Rindu untuk memberinya kekuatan.

Mendadak tangis Rindu terhenti mendengar ucapan Satria dan sebuah kesadaran merayap masuk ke benaknya, "Tunggu dulu, kenapa kalian berdua bisa saling mengenal?" Rindu menepis tangan Panji di bahunya dan menatapnya bergantian dengan Satria, "Panji, jangan katakan bahwa kamu telah mengetahui tentang penyakitnya Satria dan tidak mengatakannya padaku!" Kilas kemarahan mulai membara di mata Rindu.

Panji salah tingkah mendengar ucapan Rindu, "Aku tidak percaya aku sempat berpikir menghabiskan sisa hidupku bersamamu!" Rindu mendesis marah, "Dan kini aku ingat kenapa kita dulu berpisah, Panji, karena kamu seringkali tidak jujur kepadaku! Menurutmu menyembunyikan sesuatu itu tidak bisa dibilang berbohong hanya karena aku tidak pernah menanyakannya dan kamu tidak memberi jawaban yang tidak jujur!" Panji terdiam karena benar apa yang dikatakan Rindu, ia tidak bisa membantahnya.

Rindu kemudian menatap Satria lekat-lekat, "Dan kamu, Satria! Tidak semudah itu kamu bisa menyingkirkan aku dari hidupmu! Walau dokter bilang bahwa waktu hidupmu hanya tinggal sekian bulan saja, maka selama itu pula kamu harus hidup dengan kenyataan bahwa aku akan menghantuimu sepanjang waktu!"

Tanpa menunggu reaksi dari keduanya, Rindu segera berlari secepat yang ia mampu tanpa menoleh ke belakang. Ketika yang lainnya menyadari kepergian Rindu, mereka berempat berlari menyusul Rindu namun Rindu telah menghilang dalam laju taksi kuning yang berhasil dicegatnya ketika keluar dari ujung jalan rumah Satria. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Rindu membungkukkan tubuhnya dan menangis terisak yang membuat sopir taksi sesekali menatapnya melalui kaca spion sambil menyimpan segudang tanya yang disimpannya dalam hati.

Sesampainya di rumah, hal pertama yang ingin dilakukan Rindu adalah pergi ke kamarnya dan membaringkan tubuh di ranjangnya yang empuk lalu tidur yang lama sekali dan berharap semua kekacauan yang dialaminya selama seminggu belakangan ini hanyalah sebuah mimpi buruk. Ketika Rindu membuka mata keesokan harinya maka semuanya akan kembali normal dan ia hanya akan sibuk memastikan segala persiapan pernikahannya dengan Satria berjalan lancar.

Rindu membuka pintu rumahnya, berharap untuk mendapatkan kesunyian karena seingatnya ayahnya sedang keluar kota dan biasanya ibunya di siang hari seperti ini sibuk bersosialisasi bersama teman-temannya. Namun ternyata di ruang tamu telah menunggu sang ayah yang duduk menantinya dan menatapnya penuh selidik tanpa sepatah kata pun meluncur keluar dari bibirnya yang terkunci rapat.

"Papa, sudah pulang? Sejak kapan?" Rindu cepat mengusap matanya yang masih terlihat sembab sambil berusaha sebisanya menampilkan wajah ceria.

Sang ayah menarik napas panjang dan melipat surat kabar yang sedari tadi dipegangnya tanpa sebaris kalimatpun berhasil menarik perhatiannya untuk berkonsentrasi membaca baris selanjutnya, "Rindu, tolong kamu duduk dulu di sini, Nak, ada yang ingin Papa bicarakan denganmu."

"Hmm.. Pa, bisa tolong nanti malam saja ya bicaranya? Rindu lelah sekali saat ini." Senyum di wajah Rindu menghilang dan kelelahan sungguh tergambar di wajahnya yang polos dari sentuhan make up karena tadi pagi terburu-buru berangkat dari Bali supaya bisa cepat bertemu dengan Satria. Ditambah lagi acara perburuan jodoh agar pernikahan tetap dapat terlaksana sesuai jadwal dan kenyataan yang baru diketahuinya tentang Satria telah menguras Rindu secara emosional.

"Papa tau kamu lelah, Nak, karenanya Papa ingin berbicara denganmu." Sang ayah kemudian menepuk sofa di sebelahnya, tanda isyarat agar Rindu duduk di sana. Rindu menurut karena saat ini seluruh energi yang tersisa dalam tubuhnya tidak cukup menopang keinginannya untuk berdebat.

Begitu Rindu duduk, sang ayah hanya menepuk-nepuk pundaknya dan segala beban yang menghimpit dada Rindu kembali membuncah keluar dan walau sekuat tenaga Rindu berusaha menahannya, airmata itu kembali keluar dan Rindu tersedu sambil memeluk ayahnya sementara sang ayah terus menepuk pundaknya.

Setengah jam berlalu dan tangis Rindu mulai surut. Airmata selalu terbukti mampu meringankan beban hatinya karenanya hatinya terasa lebih ringan dari sebelumnya dan Rindu lebih siap menghadapi apapun yang akan dibicarakan oleh sang ayah.

"Papa mau bicara apa?" Rindu melepaskan pelukannya dan menatap wajah ayahnya dan ketenangan mulai masuk ke dalam jiwanya.

"Rindu," Sang ayah memulai, "Papa ingin kamu jujur terhadap Papa, kamu mau khan?" Rindu mengangguk sambil mengira-ngira apa yang ingin dibicarakan oleh sang ayah.

"Ada apa antara kamu dan Satria?" Sang ayah langsung bertanya ke pokok persoalan yang membuat Rindu terkesiap karena tidak siap ditanya seperti itu. Otaknya berputar cepat menimang seberapa jauh ia harus jujur pada sang ayah.

Melihat Rindu terdiam, sang ayah melanjutkan, "Papa sudah tau bahwa Satria memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan dan Papa juga tau bahwa Satria telah menyerahkan kamu kepada Panji. Ada hal lainnya yang perlu Papa ketahui dari kamu, Nak?" Dan Rindu hanya bisa ternganga mendengar ucapan sang ayah.

"Papa, tapi.. bagaimana? Darimana Papa bisa tau semua itu?" Rindu balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan sang ayah.

"Papa menemukan surat yang ditulis Satria ketika Papa ke kamarmu untuk meminjam kamus. Lalu ketika Papa sedang makan dengan teman Papa di sebuah cafe, Papa melihat Satria. Papa berniat menyapanya namun urung melakukannya ketika melihat Satria menghampiri seseorang yang kemudian Papa kenali sebagai Panji, mantanmu yang tidak pernah Papa setujui itu. Papa merasakan keanehan melihat mereka berdua duduk bersama di satu meja. Awalnya Papa mengira mereka berkomplot mempermainkanmu tetapi malam harinya Papa baru mengetahui Satria ternyata sakit parah ketika Mamanya menelpon ke sini menanyakan apakah kamu sedang ada bersama Satria. Nada suaranya yang terdengar panik dan cemas membuat Papa menanyakan apa ada sesuatu yang tidak beres dan tanpa perlu ditanya untuk kedua kalinya, Mama Satria menceritakan penyakit Satria pada Papa."

Rindu memijat-mijat kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit, 'Terlalu banyak kebetulan!' Rindu bergumam lemah yang membuatnya makin merasa hidupnya bagaikan alur sinetron yang biasa selalu dicelanya.

"Rindu, tidak apa-apa bila kamu belum mau cerita sama Papa sekarang ini. Tapi Papa ingin kamu tau, Nak, kebahagiaan kamu itu jauh lebih penting, tidak usah kamu memikirkan tentang apa kata orang lain jika kamu membatalkan pernikahan. Papa dan Mama akan baik-baik saja, dan omongan orang pasti akan berhenti. Jangan kamu korbankan dirimu, Nak!" Sang ayah kini mengelus kepala Rindu, "Papa percaya kamu akan memilih yang terbaik untuk dirimu, Nak!"

Rindu tidak mampu berkata apapun selain membenamkan wajahnya di dada sang ayah dan mengecup pipinya seraya berujar, "Makasih, Pa, Rindu sayang sekali sama Papa!"

"Baiklah, Papa sudah menyampaikan apa yang Papa ingin sampaikan ke kamu. Sekarang kamu istirahat dulu sana. Sepertinya minggu ini telah banyak sekali kejadian yang kamu alami." Rindu mengangguk kemudian pamit dan pergi mengunci diri di kamarnya setelah sebelumnya berpesan pada sang ayah dan Mbok Inem bahwa ia tidak mau diganggu apabila ada yang menghubungi ataupun mencarinya nanti.

Begitu membaringkan tubuh di ranjang, Rindu langsung terlelap dan dalam tidurnya, Rindu bermimpi tentang roller coaster kehidupan dan emosinya selama seminggu ini, semuanya tumpang tindih menjadi satu dan berbaur tanpa ketahuan mana ujung pangkalnya dan di akhir mimpinya, semua tangan menunjuk pada dirinya seakan menudingnya sebagai penyebab segala kekacauan. Rindu berteriak keras yang membuatnya terjaga dari mimpi dengan peluh membasahi dahinya. Rindu menyalakan lampu di sisi tempat tidurnya dan mengecek jam yang tertera di layar ponselnya.

'Baru pukul 2 pagi!' Rindu bergumam. Rasa lapar yang mendera membuat Rindu beranjak ke lemari pendingin dan mengambil sepotong kue coklat dan sebutir apel serta sebotol air mineral untuk dibawa kembali ke kamarnya. Sambil mengunyah kue coklatnya lamat-lamat, Rindu berpikir mengenai Satria, penyakitnya, pernikahannya dan perkataan ayahnya tadi.

Potongan terakhir kue itupun lenyap masuk ke dalam mulutnya. Rindu meneguk air dan meraih apel untuk kemudian menggigitnya. Tiba-tiba seulas senyum hadir di wajah Rindu, senyum yang telah sekian lama absen dari hatinya kini mulai memancar di wajahnya.

'Baiklah, aku tau apa yang ingin aku lakukan! Semoga saja Papa dan Mama setuju dengan keputusanku." Rindu menghabiskan sisa apelnya lalu kembali bergelung di balik kehangatan selimut dan untuk pertama kalinya dalam seminggu ini, Rindu dapat tidur nyenyak.

Menjelang pukul tujuh pagi, Rindu terbangun dengan tubuh yang lebih segar dan pikiran yang lebih tenang. Segera Rindu membersihkan tubuh dan turun ke lantai bawah untuk berbicara dengan kedua orangtuanya.

"Pagi, Pa, Ma," Rindu menyapa kedua orangtuanya, "Kalian punya waktu? Ada yang ingin Rindu bicarakan." Sang ayah dan ibu saling berpandangan. Rindu kemudian menjelaskan semua kejadian yang dialaminya selama seminggu belakangan, tentang keputusan yang ada dalam pikirannya menyangkut soal pernikahannya dan Satria.

Kedua orangtuanya terdiam sejenak sesaat setelah Rindu selesai menjelaskan. Keheningan yang terasa menggelisahkan itu membuat Rindu menahan napas. Subuh tadi, Rindu merasa apa yang diinginkannya adalah penyelesaian terbaik untuk permasalahan yang dihadapinya, namun reaksi kedua orangtuanya saat ini membuatnya bimbang.

Sang ibu serta merta menolak ide Rindu, "Kamu sudah gila, Rindu?! Apa kata orang nanti?! Membatalkan pernikahan saja sudah merupakan suatu aib untuk keluarga ini! Ditambah lagi dengan ide gilamu itu?! Mama heran, siapa sih yang memasukkan ide gila itu di kepalamu?!"

Rindu menggigit bibir bawahnya. Harus diakui bahwa apa yang dibilang sang ibu ada benarnya, Rindu juga merasakan sisi gila dari idenya tapi menurutnya ini jalan terbaik yang bisa dipilihnya untuk saat ini. Rindu memalingkan wajah ke arah ayahnya, berusaha mencari dukungan.

Sang ayah yang awalnya hanya diam kemudian memandang Rindu, "Kamu yakin dengan keputusanmu itu, Nak?" Rindu mengangguk dan kedua bola matanya menunjukkan kebulatan tekad.

Rindu hanya butuh persetujuan dari salah satu orangtuanya saja karena untuk mendapatkan persetujuan dari keduanya akan membutuhkan waktu lama dan waktu bukanlah sahabat Rindu saat ini karena Satria sedang berpacu dengan waktu menuju akhir kehidupannya dan Rindu ingin mendampinginya. Rindu ingin ada di sisinya di saat-saat terakhir Satria.

Sang ayah menghela napas panjang, "Kamu tau, Papa sebenarnya tidak setuju dengan keputusanmu ini, Rindu. Tetapi kamu sudah dewasa dan berhak memutuskan sendiri apa yang ingin kamu lakukan dalam hidupmu. Karenanya Papa menghargai niatanmu untuk meminta restu terlebih dulu dari Papa dan Mama. Tentunya kamu mempunyai pertimbangan sendiri yang telah dipikirkan masak-masak khan, Nak?" Rindu mengangguk, "Dan Papa percaya kamu tidak akan merusak kepercayaan yang Papa berikan kepadamu. Jadi bila restu yang kamu inginkan, Nak, kamu mendapatkan restu Papa."

Sang ibu mendelik mendengar ucapan suaminya, "Papa sudah gila?! Kok bisa-bisanya setuju sama Rindu?! Apa kata orang nanti, Pa?!"

"Apa kata orang itu bukan urusan kita, Ma, yang harus menjadi perhatian kita adalah mengenai kebahagiaan Rindu! Dan apa Mama masih belum juga sadar kalau kebahagiaan Rindu adalah bersama dengan Satria!" Sang ayah menjawab dengan ketenangan yang semakin menyulut gerutuan sang ibu, "Terserah kalian lah! Bapak sama anak sama saja! Sama-sama tidak bisa dibilangin!" Sang ibu berjalan meninggalkan meja makan dan untuk menunjukkan kekesalannya, sang ibu sengaja membanting pintu ruang tidur yang membuat sang ayah menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sang istri.

Rindu merasakan kelegaan luar biasa mendengar perkataan ayahnya, tidak hanya restu yang didapatkannya namun ternyata sang ayah juga mengerti tentang dirinya. Rindu langsung memeluk sang ayah dan mengambil kunci mobil lalu meluncur di jalan raya sambil bernyanyi riang menuju rumah Satria.

Satria terkejut mendapati Rindu yang datang mengetuk pintu rumahnya. Dan wajah Rindu pagi ini amat berbeda dengan Rindu yang kemarin Satria lihat. Satria mempersilahkan Rindu masuk dan tanpa basa basi Rindu langsung mengatakan maksud kedatangannya.

"Satria, seperti yang aku bilang kemarin, tidak akan semudah itu kamu bisa menyingkirkan aku dari hidupmu!" Rindu berkata tegas, "Namun aku juga tidak ingin menikah dengan lelaki yang tidak menginginkan aku menjadi istrinya! Jadi pernikahan kita tetap batal!" Rindu tersenyum yang justru menerbitkan kepedihan dalam hati Satria.

"Aku harap kamu berbahagia, Rindu!" Dengan susah payah Satria menelan kesedihannya.

"Tunggu, aku belum selesai berbicara!" Rindu memotong ucapan Satria.

"Apalagi yang perlu dibicarakan, Rindu?" Semakin lama berhadapan dengan Rindu, rasa sakit itu semakin menusuk-nusuk dalam hati Satria karena ia menyadari bahwa Rindu telah lepas dari genggamannya, dan itu karena perbuatannya sendiri, "Bukankah semuanya sudah jelas?" Satria berkata pahit.

"Aku ingin kita tinggal bersama, Satria, di rumah yang sejak awal telah kita persiapkan untuk kita tinggali setelah menikah nanti." Senyum itu masih belum lepas dari wajah Rindu.

"Kamu sudah gila, Rindu!" Satria terbelalak mendengar usulan Rindu.

"Itu juga kata Mamaku!" Rindu tertawa lepas mendengar reaksi Satria. Sejurus kemudian wajah Rindu berubah serius, "Satria, kamu lelaki pilihanku. Aku tau kamu akan merasa bersalah apabila tetap memintaku untuk menikahimu. Namun aku ingin mendampingimu, Satria," Rindu mengulurkan tangannya mengelus pipi Satria, "Kamu telah memberikan banyak kebahagiaan untukku, kenapa kamu tidak memberiku kesempatan untuk menemanimu melewati masa-masa sulitmu?"

"Aku tidak bisa memintamu melakukan itu, Rindu. Tidak adil bagimu."

"Kamu tidak perlu memintaku karena aku yang menawarkan diri!" Rindu berkata mantap dan biasanya Rindu hampir selalu mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Tiga bulan, Satria! Aku akan memberikanmu waktu tiga bulan untuk hidup bersama denganku tanpa ikatan pernikahan, apabila setelah tiga bulan kamu masih hidup.." Bibir Rindu bergetar ketika mengucapkan kalimat itu dan hatinya terasa berat memikirkan kemungkinan harus berpisah dengan Satria untuk selamanya karena maut memisahkan mereka.

Rindu berdehem sebelum melanjutkan, "Bila setelah tiga bulan kamu masih hidup, maka kamu harus menikahiku dan aku akan menghabiskan sisa hidupku sebagai istrimu! Awas saja kalau kamu tidak mau menikahiku pada saat itu!" Rindu mengacungkan kepalan tangannya dan meninju Satria pelan di bahunya, "Bagaimana menurutmu?"

Satria sempat beberapa kali mencoba mengubah keputusan Rindu, namun tekad baja Rindu tidak tergoyahkan dan kali ini pun Rindu kembali mendapatkan keinginannya.

"Kamu tidak tau apa yang kamu minta, Rindu!" Bisik Satria di telinga Rindu seraya memeluknya dengan penuh rasa syukur.

"Percayalah, Kekasihku, aku tau!" Rindu ikut berbisik di telinga Satria, "Aku telah memilih kebahagiaan!"

Dalam hitungan hari yang tersisa menuju hari H, Rindu dan Satria sibuk memindahkan barang yang ingin mereka bawa ke rumah baru yang akan mereka tinggali bersama. Belum lagi mereka harus memberitahukan satu per satu kerabat serta teman dan sahabat yang telah menerima undangan bahwa pernikahan akan ditunda untuk sementara waktu. Dengan sopan dan kesabaran luar biasa mereka meladeni berbagai macam pertanyaan yang diajukan tanpa merasa perlu menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya.

Susan dan George turut membantu kepindahan Rindu dan mereka berdua juga turut merayakan acara selamatan menempati rumah baru tepat di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan Rindu dan Satria. Baik Rindu maupun Satria tampak berbahagia, Mama Rindu pun tampaknya sudah bisa menerima keputusan anaknya karena perhatiannya kini tersita oleh bazaar kaum wanita yang harus diorganisirnya. Dan Mamanya Satria berulang kali tak kuasa menahan haru atas keputusan yang diambil Rindu untuk menemani anaknya, "Kamu anak yang baik, Rindu, terima kasih karena kamu mau menemani Satria karena dia pasti akan sedih sekali kalau kamu tidak ada di sisinya."

Rindu memutuskan keluar dari pekerjaannya agar bisa selalu bersama Satria, keputusan yang membuat Satria protes berat ketika pertama mendengarnya.

"Oh, kekasihku, don't flatter yourself! Keputusan ini aku ambil bukan karena dirimu! Aku telah memikirkannya beberapa waktu belakangan namun pikiranku lebih banyak dipenuhi urusan detail persiapan pernikahan, belum lagi usaha mencari calon pengganti dirimu, maka aku selalu mengesampingkan dan menunda mengambil keputusan ini. Tetapi sekarang aku telah mantap mengambil keputusan ini. Sudah cukup aku mengurusi tulisan yang dibuat oleh orang lain, aku ingin membuat ceritaku sendiri."

"Dan kamu pasti bisa, Rinduku Sayang, dan aku akan ada dalam kisah yang kamu buat itu khan?" Satria membelai pipi Rindu kemudian menariknya mendekat dan mengecup lembut bibirnya. Rindu membalas kecupan Satria kemudian membaringkan kepalanya di dada Satria dengan senyum terkulum di bibirnya. Saat ini, Rindu merasakan kebahagiaan dan ketenangan, dan Rindu setengah berharap waktu akan berhenti untuk selamanya pada detik ini.

Enam bulan berlalu sejak hari kepindahan Rindu dan Satria ke rumah baru mereka, Rindu akan segera disibukkan dengan acara promo novel perdananya yang berhasil dirampungkannya dua bulan yang lalu.

Siang itu langit tampak cerah dan semilir angin bertiup sepoi-sepoi menemani Rindu yang berdiri mematung sejak lima belas menit yang lalu, "Satria, rupanya kamu benar-benar tidak rela ya aku menjadi istrimu!" Rindu berkata sendu pada batu nisan berbentuk salib yang baru selesai dikalunginya dengan rangkaian bunga mawar merah dan putih.

"Mengapa di hari terakhir perjanjian tiga bulan kita, kamu justru memilih berhenti berjuang dan pergi meninggalkanku, Kekasihku? Tidak bisakah kamu menunggu satu sampai dua hari lagi sampai aku resmi menjadi istrimu?!" Rindu menengadah ke langit dan di hamparan awan putih yang berarakan, Rindu dapat melihat wajah Satria yang tersenyum memandangnya.

"Dan sesuai keinginanmu, aku memasukkanmu ke dalam ceritaku, Satria. Novel perdanaku ini aku persembahkan hanya untukmu, Kekasihku!" Rindu meletakkan novel dengan sampul bergambar langit malam berhiaskan sebuah bintang yang bersinar terang dan seorang pria tampak duduk di bawah naungan sebuah pohon sedang menikmati kesunyian ditemani kerlip sang bintang. Novel itu berjudul "Satria & Bintang : Dua Minggu Mencari Cinta".

"Kamu ingat, Satria," Rindu mendesah, "Kamu pernah berkata padaku bahwa aku bagaikan bintang yang menerangi malam tergelapmu. Dan demi melihat sang bintang, kamu rela walau harus merasakan angin malam yang menusuk sampai ke dalam tulang." Sebutir airmata meluncur turun membasahi pipi Rindu, "Kamulah bintang dalam hidupku, Kekasihku." Rindu mengatur gejolak emosi yang berkecamuk dalam dadanya, "Kisah Satria dan Bintang adalah kisah milik kita, Satria, dengan ending seperti yang aku inginkan terjadi antara kita berdua, Kekasihku, walau kenyataan berkata lain dan kamu pergi meninggalkanku."

"Aku akan baik-baik saja, Satria, kamu tidak perlu mengkuatirkan aku. Dan aku ingin kamu tau bahwa kebersamaan kita yang singkat akan selalu kusimpan dalam hatiku. Kamu akan selalu mempunyai tempat khusus di hatiku, Satria. Terima kasih atas kebahagiaan yang telah kamu berikan padaku. Sampai jumpa, Kekasihku." Rindu menitipkan kecupan di udara kemudian melangkah meninggalkan tempat pemakaman.

*bruuukk!!*

Terdengar suara mobil yang saling beradu ketika Rindu memundurkan mobil keluar dari area pemakaman. Rindu keluar dari mobil untuk melihat seberapa parah mobilnya telah menabrak mobil lainnya itu. Pengemudi mobil yang ditabrak Rindu pun turut keluar dari kendaraannya.

"Rindu?" Lelaki itu bertanya tidak yakin.

"Michael?" Tanya Rindu dengan ketidakyakinan yang sama kadarnya dengan sang lelaki.

~.*.fin.*.~

Catatan: Kami memutuskan, masing-masing penulis Rindu: Dua Minggu Mencari Cinta, menulis ending kisah Rindu lewat versi masing-masing penulis. Karena itu akan ada 19 versi endings untuk Rindu. Pembaca dapat memilih ending mana yang paling sesuai dengan seleranya. Hihihi… Selamat menikmati!!! Dan Tunggulah versi-versi selanjutnya!!! *Iklan bangeeet ya???*

Ending Rindu versi lainnya bisa dibaca di :

Rindu-nya G
Rindu-nya Meli
Rindu-nya Risty
Rindu-nya Ranti
Rindu-nya Miss Rochma

Perjalanan Rindu dengan 2 Minggu Mencari Cinta-nya telah menjadi perjalanan yang menyenangkan.. terima kasih lhoo atas kesempatan yang diberikan untuk turut ikut di dalamnyaa ;)

MERDEKAA!!

-Indah-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun