Susan dan George turut membantu kepindahan Rindu dan mereka berdua juga turut merayakan acara selamatan menempati rumah baru tepat di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan Rindu dan Satria. Baik Rindu maupun Satria tampak berbahagia, Mama Rindu pun tampaknya sudah bisa menerima keputusan anaknya karena perhatiannya kini tersita oleh bazaar kaum wanita yang harus diorganisirnya. Dan Mamanya Satria berulang kali tak kuasa menahan haru atas keputusan yang diambil Rindu untuk menemani anaknya, "Kamu anak yang baik, Rindu, terima kasih karena kamu mau menemani Satria karena dia pasti akan sedih sekali kalau kamu tidak ada di sisinya."
Rindu memutuskan keluar dari pekerjaannya agar bisa selalu bersama Satria, keputusan yang membuat Satria protes berat ketika pertama mendengarnya.
"Oh, kekasihku, don't flatter yourself! Keputusan ini aku ambil bukan karena dirimu! Aku telah memikirkannya beberapa waktu belakangan namun pikiranku lebih banyak dipenuhi urusan detail persiapan pernikahan, belum lagi usaha mencari calon pengganti dirimu, maka aku selalu mengesampingkan dan menunda mengambil keputusan ini. Tetapi sekarang aku telah mantap mengambil keputusan ini. Sudah cukup aku mengurusi tulisan yang dibuat oleh orang lain, aku ingin membuat ceritaku sendiri."
"Dan kamu pasti bisa, Rinduku Sayang, dan aku akan ada dalam kisah yang kamu buat itu khan?" Satria membelai pipi Rindu kemudian menariknya mendekat dan mengecup lembut bibirnya. Rindu membalas kecupan Satria kemudian membaringkan kepalanya di dada Satria dengan senyum terkulum di bibirnya. Saat ini, Rindu merasakan kebahagiaan dan ketenangan, dan Rindu setengah berharap waktu akan berhenti untuk selamanya pada detik ini.
Enam bulan berlalu sejak hari kepindahan Rindu dan Satria ke rumah baru mereka, Rindu akan segera disibukkan dengan acara promo novel perdananya yang berhasil dirampungkannya dua bulan yang lalu.
Siang itu langit tampak cerah dan semilir angin bertiup sepoi-sepoi menemani Rindu yang berdiri mematung sejak lima belas menit yang lalu, "Satria, rupanya kamu benar-benar tidak rela ya aku menjadi istrimu!" Rindu berkata sendu pada batu nisan berbentuk salib yang baru selesai dikalunginya dengan rangkaian bunga mawar merah dan putih.
"Mengapa di hari terakhir perjanjian tiga bulan kita, kamu justru memilih berhenti berjuang dan pergi meninggalkanku, Kekasihku? Tidak bisakah kamu menunggu satu sampai dua hari lagi sampai aku resmi menjadi istrimu?!" Rindu menengadah ke langit dan di hamparan awan putih yang berarakan, Rindu dapat melihat wajah Satria yang tersenyum memandangnya.
"Dan sesuai keinginanmu, aku memasukkanmu ke dalam ceritaku, Satria. Novel perdanaku ini aku persembahkan hanya untukmu, Kekasihku!" Rindu meletakkan novel dengan sampul bergambar langit malam berhiaskan sebuah bintang yang bersinar terang dan seorang pria tampak duduk di bawah naungan sebuah pohon sedang menikmati kesunyian ditemani kerlip sang bintang. Novel itu berjudul "Satria & Bintang : Dua Minggu Mencari Cinta".
"Kamu ingat, Satria," Rindu mendesah, "Kamu pernah berkata padaku bahwa aku bagaikan bintang yang menerangi malam tergelapmu. Dan demi melihat sang bintang, kamu rela walau harus merasakan angin malam yang menusuk sampai ke dalam tulang." Sebutir airmata meluncur turun membasahi pipi Rindu, "Kamulah bintang dalam hidupku, Kekasihku." Rindu mengatur gejolak emosi yang berkecamuk dalam dadanya, "Kisah Satria dan Bintang adalah kisah milik kita, Satria, dengan ending seperti yang aku inginkan terjadi antara kita berdua, Kekasihku, walau kenyataan berkata lain dan kamu pergi meninggalkanku."
"Aku akan baik-baik saja, Satria, kamu tidak perlu mengkuatirkan aku. Dan aku ingin kamu tau bahwa kebersamaan kita yang singkat akan selalu kusimpan dalam hatiku. Kamu akan selalu mempunyai tempat khusus di hatiku, Satria. Terima kasih atas kebahagiaan yang telah kamu berikan padaku. Sampai jumpa, Kekasihku." Rindu menitipkan kecupan di udara kemudian melangkah meninggalkan tempat pemakaman.
*bruuukk!!*