"Papa tau kamu lelah, Nak, karenanya Papa ingin berbicara denganmu." Sang ayah kemudian menepuk sofa di sebelahnya, tanda isyarat agar Rindu duduk di sana. Rindu menurut karena saat ini seluruh energi yang tersisa dalam tubuhnya tidak cukup menopang keinginannya untuk berdebat.
Begitu Rindu duduk, sang ayah hanya menepuk-nepuk pundaknya dan segala beban yang menghimpit dada Rindu kembali membuncah keluar dan walau sekuat tenaga Rindu berusaha menahannya, airmata itu kembali keluar dan Rindu tersedu sambil memeluk ayahnya sementara sang ayah terus menepuk pundaknya.
Setengah jam berlalu dan tangis Rindu mulai surut. Airmata selalu terbukti mampu meringankan beban hatinya karenanya hatinya terasa lebih ringan dari sebelumnya dan Rindu lebih siap menghadapi apapun yang akan dibicarakan oleh sang ayah.
"Papa mau bicara apa?" Rindu melepaskan pelukannya dan menatap wajah ayahnya dan ketenangan mulai masuk ke dalam jiwanya.
"Rindu," Sang ayah memulai, "Papa ingin kamu jujur terhadap Papa, kamu mau khan?" Rindu mengangguk sambil mengira-ngira apa yang ingin dibicarakan oleh sang ayah.
"Ada apa antara kamu dan Satria?" Sang ayah langsung bertanya ke pokok persoalan yang membuat Rindu terkesiap karena tidak siap ditanya seperti itu. Otaknya berputar cepat menimang seberapa jauh ia harus jujur pada sang ayah.
Melihat Rindu terdiam, sang ayah melanjutkan, "Papa sudah tau bahwa Satria memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan dan Papa juga tau bahwa Satria telah menyerahkan kamu kepada Panji. Ada hal lainnya yang perlu Papa ketahui dari kamu, Nak?" Dan Rindu hanya bisa ternganga mendengar ucapan sang ayah.
"Papa, tapi.. bagaimana? Darimana Papa bisa tau semua itu?" Rindu balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan sang ayah.
"Papa menemukan surat yang ditulis Satria ketika Papa ke kamarmu untuk meminjam kamus. Lalu ketika Papa sedang makan dengan teman Papa di sebuah cafe, Papa melihat Satria. Papa berniat menyapanya namun urung melakukannya ketika melihat Satria menghampiri seseorang yang kemudian Papa kenali sebagai Panji, mantanmu yang tidak pernah Papa setujui itu. Papa merasakan keanehan melihat mereka berdua duduk bersama di satu meja. Awalnya Papa mengira mereka berkomplot mempermainkanmu tetapi malam harinya Papa baru mengetahui Satria ternyata sakit parah ketika Mamanya menelpon ke sini menanyakan apakah kamu sedang ada bersama Satria. Nada suaranya yang terdengar panik dan cemas membuat Papa menanyakan apa ada sesuatu yang tidak beres dan tanpa perlu ditanya untuk kedua kalinya, Mama Satria menceritakan penyakit Satria pada Papa."
Rindu memijat-mijat kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit, 'Terlalu banyak kebetulan!' Rindu bergumam lemah yang membuatnya makin merasa hidupnya bagaikan alur sinetron yang biasa selalu dicelanya.
"Rindu, tidak apa-apa bila kamu belum mau cerita sama Papa sekarang ini. Tapi Papa ingin kamu tau, Nak, kebahagiaan kamu itu jauh lebih penting, tidak usah kamu memikirkan tentang apa kata orang lain jika kamu membatalkan pernikahan. Papa dan Mama akan baik-baik saja, dan omongan orang pasti akan berhenti. Jangan kamu korbankan dirimu, Nak!" Sang ayah kini mengelus kepala Rindu, "Papa percaya kamu akan memilih yang terbaik untuk dirimu, Nak!"