Kita semua merasa prihatin dengan pandemi yang dialami masyarakat dunia akibat merebaknya covid-19 Â yang menggugah rasa manusiawi kita manakala melihat dampak penyebaran virus tersebut mengakibatkan jumlah penderita dan korban virus ini jumlahnya semakin meningkat.Â
Sampai sejauh ini belum ada obat manjur untuk penyembuhan, semua obat masih dalam tahap ujicoba sehingga determinasi kesembuhan lebih menngandalkan kekuatan fisik penderita. Upaya pencegahan dan penanggulangan untuk meminimalisir melalui rapid-test akurasinya masih 60% dan bilamana melalui uji laboratorium juga butuh waktu karena antrian yang panjang.
Sehingga upaya penanggulangan covid-19 cukup menguras energi, butuh waktu panjang, butuh biaya yang sangat besar, butuh keterlibatan semua pihak baik mulai dari kebijakan pemerintah pusat, pemerintah daerah untuk mencegah mobilitas manusianya dengan social distance maupun langkah isolasi wilayah.
Peran besar dunia medis kontribusinya sangat diharapkan sebagai garda terdepan karena peran utama tenaga medis inilah yang menjadi andalan untuk membantu pengawasan dan perawatan dengan berbagai  istilah OTG,  ODP, PDP dan Suspect. Dunia kesehatan juga harus mengedukasi masyarakat agar paham perlakuan dan cara untuk menjaga kesehatan masyarakat dengan pembatasan interaksi fisik atau melalui langkah mengisolasi diri di rumah. Penentu keberhasilan dalam upaya penanggulangan ini tidak hanya domain dunia medis tetapi juga butuh peran serta seluruh lapisan masyarakat termasuk didalamnya adalah lembaga keagamaan untuk mentaatinya.
Dampak ikutan akibat merebaknya covid-19 adalah banyak agenda besar keagamaan harus tunduk pada protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah ini setidaknya ada dua agenda besar keagamaan yaitu Hari Raya Paskah dan Hari Raya Idul Fitri mau tidak mau harus menyesuaikan kondisi sosial distancing mensyaratkan tidak boleh ada kerumunan massa dalam jumlah besar.Â
Sebagai bukti kesetiaan dan ketaatan kita kepada Tuhan maka kita semua sudah menempuh cara berdoa melalui media online secara live streaming. Setidaknya kita disadarkan bahwa kehangatan hubungan dalam keluarga harus selalu diimbangi dengan rutinitas doa sebagai cerminan hidup orang kristen.
Refleksi theologis yang kita petik dalam konteks situasi sekarang ini adalah ada pesan tersembunyi dari Tuhan untuk kita terjemahkan bersama bahwa makna perayaan paskah di tahun 2020 ini tidak dilakukan ibadah bersama jemaat adalah rahmat dan karunia.Â
Semua ini bukanlah hukuman atau cobaan Tuhan namun merupakan pesan bahwa seluruh jemaat Tuhan diajak untuk ikut merasakan PERTOBATAN, ikut merasakan JALAN SALIB KRISTUS dan INDAHNYA PENEBUSAN bahkan kita semua dihimbau untuk berdiam diri di rumah, merenungi makna hidup, merenungi makna bergereja bukanlah sekedar proformis dan terakhirnya adalah membangun rencana aksiologis bahwa hidup secara kristen itu harusnya memiliki kemampuan JEMAAT KRISTEN BERDAYA UBAH yang hari-hari ini sangat dinantikan oleh masyarakat disekitar kita.Â
Hidup secara kristen itu bukanlah kehidupan tertutup atau suka menutup diri tetapi sebagai insan gereja hukumnya wajib membuka diri membuka hubungan yang harmonis terhadap masyarakat secara lintas agama, lintas ras, lintas suku dan lintas keyakinan yang lain.
Gereja memiliki tugas diakonia sebenarnya sangat sesuai untuk diterapkan pada saat seperti sekarang ini, konteksnya tidak sekedar dalam wujud sembako, namun menghadirkan terang gereja ditengah-tengah masyarakat yang membutuhkan melalui peran komunikasi yang baik. Hendaknya gereja jangan tiarap dan bersembunyi, namun menunjukkan tugas perutusannya untuk mereka yang perlu dilayani, karena sejatinya gereja itu bukan pada bangunan fisiknya namun kahehat gereja itu adalah melayani mereka yang butuh sentuhan kasih.
Sosial distancing sebagai pilihan pemerintah saat ini sebagai langkah penanggulangan bencana akan sangat membutuhkan waktu yang panjang dengan dampak sosial yang akan semakin parah dan rentan terutama bagi mereka kaum lemah, pakerja harian, pekerja lepas dan masyarakat bawah berpenghasilan kecil yang hidupnya sangat rentan terdampak oleh situasi sekarang ini.
Pada saat ini gereja kita ditagih bagaimana harus "Mewujudkan Daya Ubah" sebagaimana diamanatkan dalam setiap doa permohonan, sudah saatnya kita mewujudkan semangat berbagi dengan melakukan tugas kesaksian dan pelayanan secara langsung untuk membangun pelayanan terhadap kaum lemah, miskin, tersingkir dan difabel yang dikategorikan sebagai tugas diakonia dan seharusnya juga dalam skala luas seluruh lingkungan gereja bergerak untuk melakukan gerakan oikumene yaitu mengajak seluruh stake holder di sekitar kita (lintas gereja dan lintas agama) untuk peduli pada masyarakat bawah terdampak pembatasan jarak atau social distance ini.Â
Kita sudah saatnya berjejaring mengundang partisipasi banyak pihak untuk bersama-sama mengulurkan bantuan logistik berupa bahan pangan. Setidaknya kita sudah "nyicil ayem" karena dana yang sudah terhimpun dari lingkungan yang dikumpulkan untuk peryaan gereja sudah dikembalikan dan langsung di eksekusi oleh pengurus lingkungan untuk membantu logistik warganya yang tidak mampu akibat terdampak covid-19 namun disadari bahwa itu masih bersifat eksklusif yang artinya terbiasa melayani dikandang sendiri.
Kita bersyukur bahwa Tuhan mengajak kita untuk merayakan Paskah bukan ditempat yang biasanya terasa hangat dalam bangunan gereja namun Tuhan mengajak kita untuk melakukan "ibadah padang" supaya terketuk hati nurani kita terketuk, terpanggil untuk memaknai Perayaan Paskah dapat dirayakan dengan pelayanan yang indah bersama ditengah keprihatinan dan penderitaan masyarakat.Â
Sebagai gereja janganlah kita mencuci tangan ibarat Pilatus yang menghindar akan tugas dan tanggung jawab kita bahwa tugas melayani kita bukanlah di dalam tembok gereja dan kita harus mampu melayani ditengah-tengah masyarakat juga.
Kondisi sosial ekonomi akibat kebijakan sosial distancing pada saat ini telah menggugah rasa kemanusiaan semua pihak, setidaknya beberapa gereja kristen langsung responsif, begitu juga gereja katholik langsung mengembalikan dana perayaan untuk diwujudkan dalam bentuk bantuan logistik kepada jemaat miskin yang membutuhkan.Â
Namun hal ini belumlah mencerminkan kehidupan kristen yang sesungguhnya karena saudara kita yang lain yang berbeda iman juga butuh uluran tangan dan mereka juga sudah membuka hati dan bahkan mereka juga rela untuk melayani diluar jemaatnya baik itu dalam bentuk pembagian masker, hand sanitizer, penyemprotan massal yang dilakukan oleh komunitas Muhamadiyah dan NU.
Sementara dari komunitas Kristen secara responsif langsung bergerak membagikan bantuan logistik dan komunitas Katholik dilevel bawah masih menunggu formula dan instruksi kapan bisa bergerak untuk berani bergandengan tangan bersama lintas iman, lintas suku, lintas ras untuk bersama bergandengan tangan peduli sesama, karena saudara kita sejatinya juga bersedia membuka hati.
Namun seringkali para ketua lingkungan kita sendiri masih diselimuti rasa takut, sikap curiga, antipati dan alergi. Saya kira inilah pekerjaan rumah terbesar kita pada saat ini bila kita bisa berbuat baik maka sekaranglah saatnya, bila kita merasa tidak mampu sekaranglah saatnya untuk peduli bersama. Karena kekuatan kita minoritas adalah terletak pada kekuatan jaringan, bukan individu maupun lembaga gereja yang harus menanggung persoalan yang begitu besar dan tengah dihadapi bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H