Debat Capres/Cawapres membuat miris. Bagaimana tidak,dalam konteks penjaringan calon Nakhoda yang akan melaksanakan Tata Kelola Negara sebesar ini kita menggunakan instrumen impor dari negara koboi (Paman Sam). Pada hal kita punya instrumen (cara) sendiri yakni Bermusyawarah untuk Bermufakat.
Instrument ini bukan sekedar cara tetapi lebih jauh dari itu ia menyangkut tentang kearifan lokal (Budaya) yang bermuara kepada Identitas (Jati Diri) Bangsa dan Negara. Bagaimana kita bisa bercita-cita menjjadi Bangsa dan Negara yang mandiri (Berdaulat) jika dalam hal ini pun kita ragu untuk mengemukakan identitas kita. Patut diingat bahwa karena persoalan ini pulalah kita menjadi tertinggal oleh Bangsa dan Negara lain yang dahulu pernah kita lampaui.
Di sini kita diuji untuk menilai daya tahan kita atas pengaruh ekspansi Budaya luar. Identitas (Jati Diri) adalah inti dari Budaya dan Budaya adalah inti dari Peradaban serta Peradaban adalah inti dari Kemandirian dan Kemandirian inti dari Kedaulatan. Demikian sistematika nilai sosial yang perlu digarisbawahi agar anggapan tentang kesederhanaan masalah ini bisa dihapus dari memori orang-orang yang beranggapan seperti itu.
Calon Nakhoda yang dihasilkan oleh penjaringan yang menggunakan instrument import tadi tentulah diragukan Integritasnya. Debat hanya menjadi semacam Prosedur bukan Proses. Betapa banyak warga negara yang kurang mengerti bagaimana hal semacam ini bisa terjadi padahal UUD 1945 sudah mengamanatkan tentang Tata Cara Pengambilan keputusan menyangkut kehendak seluruh Rakyat Indonesia yakni mengedepankan Azas Musyawarah dan Mufakat.
Sejak kapan dan mengapa Azas itu berubah tak semua rakyat memahaminya (kalau memang nyata berubah). Jati Diri itu penting sebab itu modal dasar yang dapat kita gunakan dalam kerasnya persaingan hidup bangsa-bangsa dan negara-negara sekarang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H