Letak geografis inilah yang menjadikan tanah air kita adalah lahan subur bencana itu sebagai anugerah Sang Maha Pencipta. Lho koq bisa begitu? Bencana kan menimbulkan kerusakan? Inilah bahan pembelajaran yang patut diketahui khalayak.
Para ahli telah banyak memberikan pelita ilmunya. Bahwa bencana gempa bumi khususnya merupakan proses adaptasi lingkungan dalam mencapai titik keseimbangan baru. Pergerakan lempeng bumi itu evolutif, pelan tapi pasti. Meskipun ilmu pengetahuan kegempaan berkembang pesat, sampai saat ini belum ada yang mampu menaksir waktu datangnya puncak evolusi atau gempa itu secara cermat dan akurat. Mendekatipun sangat sulit, apalagi memastikan.Â
Ini pertanda bahwa kemampuan manusia sangat terbatas. Jepang yang berkali-kali dilanda gempa berskala besar, di atas 5 magnitudo, tidak pernah menyatakan diri sebagai negara termaju dalam teknologi kegempaan. Hal yang sama tersirat dalam pernyataan mBah Topo (Sutopo Purwo Nugroho), salah satu pakar kegempaan Indonesia.Â
Sampai sekarang ia dan timnya belum bisa menganalisis sebab-sebab bencana besar seperti tsunami Aceh, gempa Jogja, erupsi besar Merapi dan terakhir gempa Sulawesi Tengah terjadi di akhir pekan dan tanggal tua. Dengan ekspresi satiris saat menjawab pertanyaan konyol pewarta di hari kedua (Minggu) pasca terjadinya gempa Sulteng.
Menyalahkan Tuhan Yang Maha Benar, Penguasa alam semesta, jelas membuktikan lemahnya nurani kemanusiaannya. Terlalu mengasihani diri dan lupa diri sebagai makhluk. Jika Sang Maha Kuasa berkehendak, apapun jadilah.
Satu hal yang perlu kita pahami bersama adalah pentingnya upaya pencegahan atas dampak bencana atau mitigasi. Alat peringatan dini memang penting dalam sistem mitigasi. Belajar dari pengalaman, alat sehebat apapun fungsinya tak akan bermanfaat jika tidak ditangani dengan sepantasnya.
Faktor pemeliharaan acapkali jadi masalah serius. Dan hal yang paling mendasar adalah menyiapkan diri dengan bekal pengetahuan yang sesuai. Kesadaran bahwa kemampuan manusia atas alam semesta ini sangat terbatas. Belajar dari pengalaman adalah guru terbaik kehidupan. Karena itu akan menghindari peluang kehadiran para penggembala kambing hitam.
Semoga kita termasuk orang-orang yang lebih suka belajar dari pada mengasihani diri dengan ratapan atau cacian. Banyak bahan pembelajaran jika kita mau berfikir. Mari.. belajar berbenah bersama agar tidak mengulangi kesalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H