Mohon tunggu...
dabPigol
dabPigol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nama Panggilan

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

B4, Belajar Berbenah Bersama Bencana

4 Oktober 2018   10:40 Diperbarui: 4 Oktober 2018   11:40 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bencana alam letusan Gunung Galunggung menginspirasi syair lagu kondang " Untuk Kita Renungkan" yang ditulis dan dilantunkan oleh Ebiet G Ade. Lagu ini masih relevan dengan situasi kekinian. Ketika Indonesia Bagian Timur diguncang gempa bumi dan tsunami. Di Lombok, Palu, Donggala dan sekitarnya . 

Sebagian wilayah Sulawesi Tengah luluh lantak. Dan di antara derita serta jerit tangis memilukan itu, masih ada tangan yang tega berbuat nista. Mengambil milik orang tanpa izin yang bersangkutan, tetap mencuri. Apalagi menjarah, meskipun mungkin dimaklumi dalam situasi darurat semacam itu.

Di antara semua toleransi tadi, selalu ada "penumpang gelap, pahlawan kesiangan dan sejenisnya" yang biasa datang ketika saat tak lagi gelap. Penumpang gelap di antara korban yang boleh jadi memang korban bencana itu. Tapi punya imajinasi posesif berlebih. Suka mengasihani diri atau memang ada motivasi tertentu yang membuat dirinya posesif- eksesif. Menggunakan ajian mumpung yang biasanya baru berhasil dalam situasi kacau, kalut dan semacamnya.

Seperti pemerkosa dan penjarah saat terjadi kerusuhan sosial 1998 di Jakarta adalah satu di antara contoh penumpang gelap itu. Yang lain bisa saja seperti orang yang mengaku anggota DPRD parpol tertentu mengatas-namakan konstituen untuk mendapatkan bantuan tenda dan mengundang banyak orang.

Pada kasus terakhir, penumpang gelap itu sempat beradu mulut dengan saya selaku penanggung jawab (sementara) bantuan logistik. Akhirnya harus kami usir dari ruang kendali operasi tanggap darurat PMI Bantul di hari kedua Gempa Jogja 2006 karena telah meresahkan warga korban maupun para relawan yang sebagian diantaranya dari Perhimpunan Nasional negara sahabat.

" PMI bukan organisasi pemerintah, meski tugasnya memang membantu pemerintah di bidang kemanusiaan ", jawaban terakhir sebelum kami (terpaksa) menyeret orang itu keluar ruang kendali yang sempit dan penuh dokumen.

Di halaman depan, ratusan atau ribuan orang berteriak minta bantuan tenda. Entah dari mana para warga korban mendapat informasi akan datangnya satu trailer tenda pengungsi ex tsunami Aceh yang masih dalam perjalanan itu.

Dan siapakah pahlawan kesiangan di tengah pilu dan derita para korban bencana yang mudah mengundang rasa simpati itu? Para penggembala kambing hitam yang datang dari kegelapan masa lalu. Atau penggunting lipatan kain kusam dan orang-orang yang suka mengasihani diri.

Biasanya, orang-orang itu juga suka membiarkan amanat berlalu tanpa makna. Entahlah yang sesungguhnya terjadi di banyak tempat lain. Yang jelas, mereka lebih suka mengunduh dari pada mengunggah.

***

Sementara itu, dalam narasi pengantar aplikasi Siaga Bencana PMI untuk edukasi dan mitigasi bencana, disebutkan bahwa Indonesia adalah supermarket bencana. Artinya, semua jenis dan ukuran bencana (nyaris) ada. Hamparan tanah air Indonesia dari Aceh sampai Papua mengandung potensi bencana. Apalagi dilintasi dua lempeng besar Eurasia dan Indo Australia serta cincin api (ring of fire) yang tidak lain merupakan gugusan gunung api Pasifik.

Letak geografis inilah yang menjadikan tanah air kita adalah lahan subur bencana itu sebagai anugerah Sang Maha Pencipta. Lho koq bisa begitu? Bencana kan menimbulkan kerusakan? Inilah bahan pembelajaran yang patut diketahui khalayak.

Para ahli telah banyak memberikan pelita ilmunya. Bahwa bencana gempa bumi khususnya merupakan proses adaptasi lingkungan dalam mencapai titik keseimbangan baru. Pergerakan lempeng bumi itu evolutif, pelan tapi pasti. Meskipun ilmu pengetahuan kegempaan berkembang pesat, sampai saat ini belum ada yang mampu menaksir waktu datangnya puncak evolusi atau gempa itu secara cermat dan akurat. Mendekatipun sangat sulit, apalagi memastikan. 

Ini pertanda bahwa kemampuan manusia sangat terbatas. Jepang yang berkali-kali dilanda gempa berskala besar, di atas 5 magnitudo, tidak pernah menyatakan diri sebagai negara termaju dalam teknologi kegempaan. Hal yang sama tersirat dalam pernyataan mBah Topo (Sutopo Purwo Nugroho), salah satu pakar kegempaan Indonesia. 

Sampai sekarang ia dan timnya belum bisa menganalisis sebab-sebab bencana besar seperti tsunami Aceh, gempa Jogja, erupsi besar Merapi dan terakhir gempa Sulawesi Tengah terjadi di akhir pekan dan tanggal tua. Dengan ekspresi satiris saat menjawab pertanyaan konyol pewarta di hari kedua (Minggu) pasca terjadinya gempa Sulteng.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Bagi orang yang (mau) berfikir sungguh-sungguh, bencana senantiasa membawa dampak di dua sisinya. Sisi positif dengan cara mengoptimalkan nurani kemanusiaan. Atau menonjolkan sisi negatif yang mengedepankan naluri kebinatangan.

Menyalahkan Tuhan Yang Maha Benar, Penguasa alam semesta, jelas membuktikan lemahnya nurani kemanusiaannya. Terlalu mengasihani diri dan lupa diri sebagai makhluk. Jika Sang Maha Kuasa berkehendak, apapun jadilah.

Satu hal yang perlu kita pahami bersama adalah pentingnya upaya pencegahan atas dampak bencana atau mitigasi. Alat peringatan dini memang penting dalam sistem mitigasi. Belajar dari pengalaman, alat sehebat apapun fungsinya tak akan bermanfaat jika tidak ditangani dengan sepantasnya.

Faktor pemeliharaan acapkali jadi masalah serius. Dan hal yang paling mendasar adalah menyiapkan diri dengan bekal pengetahuan yang sesuai. Kesadaran bahwa kemampuan manusia atas alam semesta ini sangat terbatas. Belajar dari pengalaman adalah guru terbaik kehidupan. Karena itu akan menghindari peluang kehadiran para penggembala kambing hitam.

Semoga kita termasuk orang-orang yang lebih suka belajar dari pada mengasihani diri dengan ratapan atau cacian. Banyak bahan pembelajaran jika kita mau berfikir. Mari.. belajar berbenah bersama agar tidak mengulangi kesalahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun