Mohon tunggu...
dabPigol
dabPigol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nama Panggilan

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bercanda dalam Gulita

22 September 2018   03:55 Diperbarui: 22 September 2018   03:55 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit jelang Maghrib di Bohar, Sidoarjo Jawa Timur. Dokpri, fb lama.

Tanpa tanda, hujan deras datang tiba-tiba. Air mulai menggenang di mana-mana. Teriakan orang-orang kesakitan berbaur dengan nada keluh kesah yang kian meninggi. Satu-satunya sumber cahaya, senter kepala, seolah tak ingin sendirian. Ikut menambah hiruk pikuk malam itu. Suasana benar-benar panik.

***

Belum habis rasa penat setelah menempuh perjalanan yang biasanya cukup dua atau tiga jam, kini harus dilalui lebih lama. Kepanikan di jalan bukan hanya karena bertambahnya kendaraan. Tapi lebih banyak orang yang mengabaikan adab berlalu lintas. Ambulan adalah prioritas, harus diberi jalan ketika memberi tanda dengan sirine yang meraung-raung. 

" Ya.. sudahlah. Tak perlu dibahas sekarang. Urusan itu terlalu rumit untuk hal sederhana . Yang penting kita tetap harus berusaha mencapai tujuan sebelum matahari terbenam ", kata ketua rombongan. 

Kami memang terlambat dalam merespon panggilan darurat yang sudah diketahui sejak pagi. Terlalu panjang rantai komandonya. Atau karena kebiasaan memperlambat diri. Ya... ini juga bagian dari adab yang tak berdiri sendiri.

***

Malam pertama tak bisa memicingkan mata. Tubuh terasa sangat lelah. Berbekal senter di kepala, kami tetap berupaya mengevakuasi korban luka di bawah guyuran hujan lebat dengan alat dan cara yang paling sederhana. Acapkali tak masuk akal. Membopong balita atau anak di tangan. Punggung bergelantungan orang dewasa. Ide gila rekan yang ternyata cukup efektif. 

Dini hari, tinggal beberapa pasien berstatus gawat yang belum dapat dievakuasi. Hujan mulai reda, ambulans evakuasi masih dalam perjalanan pulang dari mengisi BBM. Sopir telah berganti yang kesekian kalinya. Semua relawan yang bisa menyetir diminta mendampingi sopir utama sebagai cadangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. 

Di saat seperti itu, kebiasaan lama kambuh. Sambil menunggu ambulans,  saya membantu rekan-rekan yang sedang berusaha mengevakuasi mayat yang terbawa air hujan sampai ke tengah lapangan sepakbola yang menjadi lokasi tempat perawatan darurat.

" Gus ... tinggal dua yang belum ketemu", teriak rekan yang ditugasi mengurus mayat.

" Gak kelihatan. Baterei lampuku hampir habis", jawabku serak.

Kami berdua terus mencari di bawah temaram cahaya senter yang kian meredup. Ketika menyandung sesuatu, lalu membungkuk untuk memastikan. Dua mayat yang dikirim ke tenda, masuk beberapa saat sebelum lampu dari genset mati. Jaringan listrik PLN mati sejak pagi. 

Menjelang Subuh mayat perempuan bisa ditemukan menyangkut di timbunan kayu bakar yang kami pakai untuk memasak. Jangankan persediaan minyak tanah atau gas yang memang sulit didapatkan. Kayu bakar pun kita dapatkan dari rumah-rumah yang roboh akibat guncangan gempa yang masih terasa dan hampir setiap jam terjadi. 

***

Kabut tebal masih menyelimuti pagi kedua. Badan mulai terasa penat. Menikmati segelas kopi hangat mungkin bisa mengurangi rasa penat itu. 

Kaki kian berat melangkah ke dapur umum. Para perempuan muda masih membungkus nasi dan olahan mie instan untuk jatah makan pagi sekitar seribu orang. Belum sampai mendekat tenda masak, ada suara perempuan memanggil namaku.

" Pak.. sudah saya buatkan kopi. Masih panas. Ada singkong rebus kalau mau", ternyata Paijem, panggilan akrab Bernadeta yang memanggil.

" Jem.. dapat singkong dari mana?", .

" Semalam, di tengah guyuran hujan mas Wawan pulang sama Kang Darto. Tadinya cuma mau ngambil cadangan minyak tanah di warung budhenya. Ehh malah bawa macam-macam bahan makanan. Ternyata mBah Hadi nyusul pakai ambulans", kata Paijem dengan nada genitnya.

" Nih..ada titipan buat pak Itong" , Paijem memberi dua bungkus rokok kretek.

" Makasih ya Jem", kataku sambil menerima pemberian Wawan.

***

Menjelang waktu Ashar, mata tak lagi mampu menahan rasa kantuk. Di angkruk (tempat kongkow, semacam pos ronda) saya tertidur pulas. Tanpa beban pikiran apapun. Apalagi soal orang-orang yang dievakuasi semalam sampai siang tadi. Semua adalah hal biasa dalam melakukan tugas kemanusiaan. Di tengah bencana besar, apalagi.

" Pak...pak. Bangun pak...!", entah berapa kali suara itu diucapkan. Yang jelas membuyarkan mimpiku.

Ternyata ada beberapa orang yang ada di sekitar angkruk. 

" Pak. Tadi mengigau keras sampai terdengar oleh teman-teman yang sedang ngobrol di tenda sana". Orang itu menunjuk satu tenda yang jaraknya sekitar sepuluh meter. 

"Pak Itong kaya manggil nama perempuan yang tadi siang meninggal di tempat ini. Pasien yang kehilangan satu jari manisnya", kata mBah Hadi menjelaskan. 

" Oh.. pantas . Perempuan itu menangis keras dan meronta sambil menunjukkan tapak tangan kirinya. Begitu to... ceritanya", kataku.

Sayapun beranjak ke kamar mandi darurat yang lokasinya tak jauh dari tempat kami berkumpul tadi. 

***

Setelah mandi dan sholat Ashar, sambil menunggu waktu Maghrib, sengaja berlama-lama di dalam Masjid Agung itu. Saya berbaur dengan para jama'ah yang sebagian besar pengungsi atau penunggu pasien rumah sakit lapangan yang baru difungsikan semalam untuk menampung korban gempa bumi yang meluluhlantakkan banyak hunian di sekitar kota Bantul.

(Bersambung dengan Mimpi Yang Berulang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun