Pemakai jasa transportasi udara tersentak karena dalam sehari terjadi tiga kecelakaan pesawat di tiga negara, yaitu Jeju Air di Korea Selatan, Air Canada di Kanada, dan KLM Royal Dutch Airlines di Norwegia. Ketiga insiden tersebut terkait dengan kerusakan sistem pesawat yang sebenarnya harus mendapatkan inspeksi yang ketat.
Kedua pesawat yang disebut pertama mengalami masalah pada roda pendaratan atau landing gear. Sedangkan pesawat KLM bermasalah di sistem hidrolik.Â
Rentetan kecelakaan pesawat terbang diatas mesti menjadi perhatian serius di Indonesia. Tidak boleh terjadi keteledoran dalam hal inspeksi pesawat sebelum melakukan penerbangan.
Perlu pengawasan ketat terhadap operasional maskapai, perawatan, inspeksi berkala dan audit terhadap infrastruktur bandara. Ada enigma besar terkait kecelakaan pesawat Jeju Air. Beberapa pihak mempertanyakan kondisi desain bandara yang menempatkan gundukan tanah dan dinding beton di ujung landasan pacu.
Rentetan kecelakaan mencuatkan opini publik pentingnya memperketat tata kelola inspeksi dan sistem perawatan pesawat. Terutama yang telah berusia tua.
Masih hangat kecelakaan pesawat di Indonesia yakni Pesawat SJ 182 Sriwijaya Air jenis Boeing 737-500 yang telah berumur 26,7 tahun. Pesawat ini adalah bekas pakai dari maskapai AS United Airlines dan Continental Airlines.
Ada pihak yang berdalih bahwa umur pesawat yang sudah tua tidak terkait dengan penyebab kecelakaan penerbangan. Semua itu dengan catatan bahwa faktor perawatan dan tata kelola inspeksi telah dijalankan dengan baik. Perawatan dan inspeksi tentu saja membutuhkan biaya yang cukup mahal.
Apalagi sebagian maskapai sedang dililit oleh utang yang semakin menggunung. Kewajiban cicilan utang yang kian berat membuat maskapai terancam pailit. Kondisi maskapai yang mengoperasikan SJ 182 juga mengalami masalah manajemen yang serius.
Selama ini ada masalah sistem perawatan dan inspeksi pesawat yang dioperasikan oleh beberapa maskapai penerbangan. Kondisi itu menimbulkan rekomendasi penghentian sementara operasional pesawat dari Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU), Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Hal itu berdasarkan laporan inspector DGAC.
Dari laporan tersebut diketahui bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare dan jumlah qualified engineer yang ada di maskapai ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara dan Menteri Perhubungan.