Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Peran Badan Bank Tanah Mengatasi Gentrifikasi Menuju Keadilan Agraria

6 Januari 2025   23:43 Diperbarui: 6 Januari 2025   23:43 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bank tanah dan keadilan agraria (Kompas.id /DIDIE SW )

 

Ilustrasi bank tanah dan fenomena gentrifikasi (sumber Radar Yogya )
Ilustrasi bank tanah dan fenomena gentrifikasi (sumber Radar Yogya )

Mengatasi Gentrifikasi

Aset persediaan tanah Badan Bank Tanah mestinya mampu mengatasi masalah aktual gentrifikasi. Fenomena gentrifikasi memiliki sisi positif dan negatif terhadap masyarakat akibat pembangunan wilayah dan kota. Dari aspek agraria atau penguasaan tanah, gentrifikasi banyak menimbulkan konflik sosial. Bahkan ada anggapan publik bahwa konflik pertanahan merupakan bentuk penjajahan baru akibat datangnya modal kapital yang menggusur kampung-kampung lama. Salah satu konflik yang masih hangat adalah kasus Proyek Rempang Eco City.

Fenomena gentrifikasi bisa terbebas dari konflik hebat jika masalah status pertanahan sudah disosialisasikan dan ditata dengan baik tanpa adanya intimidasi. Hak-hak penduduk lokal harus dilindungi. Negara mesti hadir untuk melindungi kampung lama, bukan malah membela investor asing dengan cara menggusur secara sewenang-wenang lalu melakukan relokasi terhadap penduduk lama ke tempat yang kurang layak.

Masalah pertanahan sejak Indonesia merdeka hingga kini masih krusial.Pemerintah perlu reinventing atau menggali kembali nilai dan esensi UUPA 1960. Pada tanggal 24 September 1960 Presiden Soekarno menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan UUPA 1960.

Tanah air milik masyarakat lokal bukan lantas diubah penguasaannya seenaknya, lalu dikapling-kapling untuk investor dengan dalih proyek strategis. Pemerintah harus menghayati cita-cita yang melandasi ditetapkannya UUPA adalah untuk menciptakan pemerataan struktur penguasaan tanah demi mengangkat martabat dan kesejahteraan kaum tani. Program landreform atau pembaruan agraria yang menjadi substansi utama dalam UUPA 1960, oleh Presiden Soekarno disebut sebagai satu bagian mutlak dari jalannya revolusi Indonesia.

Tanah dan petani adalah satu kesatuan dan satu jiwa. Selain mewujudkan pembaruan agraria yang berdasarkan semangat UUPA 1960, pemerintah juga berkewajiban menyediakan infrastruktur yang andal untuk bertani, seperti prasarana irigasi, mekanisasi, bibit, dan pupuk.

Konflik agraria masih sering terjadi hingga kini, baik di pedesaan maupun perkotaan.

Pemerintah perlu memiliki strategi komunikasi massa untuk mereduksi konflik tersebut. Pada prinsipnya gentrifikasi memiliki pengertian perubahan karakteristik penghuni suatu kawasan, dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas, acap kali dipandang merampas hak-hak kehidupan masyarakat yang terdampak. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena gentrifikasi yang biasanya sejalan dengan pembangunan wilayah dan kota juga memberikan manfaat yang cukup besar.

Fenomena gentrifikasi juga berarti proses perubahan sosial dan ekonomi di suatu wilayah yang umumnya ditandai dengan kedatangan penduduk dengan tingkat ekonomi lebih tinggi ke wilayah yang sebelumnya dihuni oleh penduduk dengan tingkat ekonomi lebih rendah. Proyek Rempang Eco City yang akan menjadi kawasan ekonomi khusus dan permukiman super elit serta untuk destinasi pariwisata, mestinya melibatkan partisipasi masyarakat pemilik tanah Kampung Tua secara langsung dalam proyek pengembangan wilayah tersebut. Bukan dengan cara merelokasi. Posisi mereka berbeda dengan masyarakat Pulau Rempang yang melakukan pendudukan atas bekas perkebunan HGU, yang memang perlu pendekatan khusus.

Bibit konflik di Rempang sebenarnya mulai muncul sejak dahulu, ketika Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam. Ketentuan Pasal 6 Ayat 2 Huruf a keppres tersebut menyatakan, seluruh areal yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan status hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun