Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Belajar dari Kegagalan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Bandung Raya

13 Oktober 2024   10:46 Diperbarui: 13 Oktober 2024   11:00 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Solo (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)

Belajar dari Kegagalan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Bandung Raya

Paslon yang mengikuti Pilkada 2024 di Jakarta perlu belajar dari kegagalan pembangunan pembangkit listrik bertenaga sampah di Bandung Raya. Sudah bertahun-tahun Walikota dan Gubernur Jawa Barat, saat itu dijabat oleh Ridwan Kamil belum bisa mewujudkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sesuai dengan keputusan Presiden sebagai solusi sampah di kota-kota besar.

Meskipun operasional belum optimal, Jakarta, Solo dan Surabaya telah membangun PLTSa. Patut dipelajari instalasi pengolah sampah di kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Solo, Jawa Tengah, Pembangunan PLTSa ini selesai pada tahun 2021 dan mampu mengolah 450 ton sampah per hari untuk menghasilkan listrik sebesar lima Megawatt.

Dalam debat pilkada 2024, para kepala daerah mendatang mesti memiliki cara untuk menyempurnakan dan menambah kapasitas PLTSa. Sedangkan calon kepala daerah di Jabar masih harus bergulat dengan masalah lautan sampah. PLTSa di Bandung Raya mestinya sudah terwujud ketika Ridwan Kamil mengakhiri jabatannya. Namun hingga kini instruksi Presiden tidak mampu diwujudkan, pembangunan PLTSa di Bandung Raya semakin tidak jelas, baik Lokasi maupun teknologinya. Semula pembangkit itu direncanakan di Gedebage, namun kini direncanakan pindah ke TPSA Legok Nangka. Namun di lokasi yang baru ini juga tidak jelas perizinan dan pendanaannya.

Belajar sesuatu jangan hanya dari kondisi yang sudah sukses, paslon Pilkada Jakarta perlu belajar dari kegagalan Ridwan Kamil membangun PLTSa. Karena dengan mengetahui faktor kegagalan itu, maka penanganan sampah dan optimasi pembangkit sampah yang sudah eksis di Jakarta tidak malah menjadi amburadul. Penanganan sampah di Jakarta sudah mengalami transformasi yang lebih baik.

Pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) TPST Bantargebang dibangun pada tahun 2018 oleh Pusat Teknologi Lingkungan (PTL), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan MoU yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta dengan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada 20 Desember 2017, serta perjanjian kerjasama antara Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dengan Direktur Pusat Teknologi Lingkungan tahun 2018 dan tahun 2019 tentang pembangunan pilot project Pengolahan Sampah Proses Termal-PLTSa.

Kota Surabaya merupakan percontohan yang cukup berhasil mewujudkan pengolahan sampah menjadi sumber listrik. Hingga kini, listrik yang dihasilkan di Tempat Pembuangan Akhir Benowo, Surabaya mencapai 2 megawatt (MW) dan akan ditingkatkan menjadi 10 MW. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo memiliki luas 37,4 hektar dan setiap hari menerima sekitar 1.400 ton sampah.

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Kepres tentang program sampah menjadi listrik untuk tujuh kota di Tanah Air. Kota Bandung dan sekitarnya ( Bandung Raya ) yang termasuk dalam Keppres tersebut hingga kini masih belum membangun infrastruktur pembangkit listrik dari sampah. Berbagai alasan klise telah dikemukakan oleh Walikota dan Gubernur Jawa Barat.Padahal studi banding ke berbagai tempat, seminar dan proposal sudah sering dilakukan.

Pengembangan PLTSa sebenarnya juga bukan hal yang baru. Tahun 1980-an sudah ada studi kelayakan PLTSa untuk Jakarta. Teknologi thermal telah dipilih untuk Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, dan proses lelang investasi pun telah dimulai. PLTSa memiliki prospek yang bagus bagi TPST Bantargebang yang berlokasi di Kota Bekasi yang merupakan tempat pembuangan sampah dari Ibukota Jakarta. Dengan produksi sampah yang datang di TPST Bantargebang rata-rata mencapai 6.000-7.000 ton/hari.

Dengan dibangunnya PLTSa di TPST Bantargebang bisa mengurangi dampak dari sampah yang tertimbun. Kini PLTSa Bantargebang memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas 15,6 MW dan pada tahun 2017 hanya menghasilkan 250 KW.

Berbeda dengan di Jakarta, mestinya PLTS Sampah harus jadi pada akhir 2022 namun kenapa di Bandung Raya belum terwujud ? Padahal jika program nasional itu sudah dilaksanakan, niscaya beban TPS Sarimukti, Legok Nangka dan lainnya akan teratasi bahkan bisa ditransformasikan fungsinya menjadi fasilitas untuk keperluan Co Firing PLTU milik PT PLN dan tentunya hal ini akan menambah perolehan APBD. Salah satu kota yang sudah sukses dalam mengoperasikan PLTS Sampah adalah Kota Surabaya dan sekitarnya. Sukses itu diikuti oleh DKI Jakarta.

Rencana groundbreaking TPPAS Legok Nangka yang berada di Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung, yang rencana akan dilaksanakan pada Juni 2024 ternyata tidak terlaksana. Gagalnya groundbreaking TPPAS Legok Nangka dengan alasan kurang masuk akal, karena belum selesainya semua persyaratan administrasi dari badan usaha pengelola.

Kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, masih menghantui.

Masalah jasa pengangkutan sampah warga Bandung Raya oleh dinas pemerintah terus bermasalah. Frekuensi pengambilan sampah di bak sampah warga jarang dilakukan, sehingga sering terjadi penumpukan yang luar biasa dan sangat mengganggu kesehatan dan kebersihan warga. Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle atau disingkat TPS 3R merupakan proyek lama di Kawasan Bandung Raya juga tidak efektif mengatasi masalah sampah.

Hingga kini setelah beberapa lama beroperasi di berbagai daerah kinerja TPS 3R banyak yang tidak menggembirakan bahkan tidak sedikit yang usahanya berhenti. Karena berbagai sebab. Sehingga penanganan sampah justru semakin amburadul karena proses bisnisnya tidak feasible

Terkait dengan proyek atau program musiman yang bertajuk TPS 3R hendaknya tidak merugikan rakyat terkait dengan hak untuk hidup bersih dan ramah lingkungan. Konkritnya semua jenis sampah rumah tangga dengan volume yang normal mesti diangkut semuanya oleh pihak TPS 3R. Istilah pilah-pilah sampah harus rasional dan tidak menimbulkan kesulitan oleh warga. Jenis sampah anorganik ( kertas, plastik, kain/baju, benda elektronik, serat, logam, kaca, dll ) maupun sampah organik ( serpihan daun, limbah bahan pangan, kayu, besek, dll ) mestinya diangkut semua ke fasilitas TPS 3R. Semua jenis sampah mesti diangkut oleh pihak TPS 3R karena sebagian besar rumah warga tidak memiliki ruang/tempat untuk mengolah sampah organik. Jangan dipaksakan karena warga juga tidak punya waktu untuk mengolah tersebut. Jika hal ini dipaksakan maka akan terjadi "lempar melempar" sampah organik di lingkungan RW. Perlu dicatat bahwa volume sampah rumah tangga di RW adalah sebagian besar sampah organik dan sampah anorganik yang tidak memiliki nilai ekonomi apapun ( seperti bungkus indomie, saset,kresek,styrofoam, kaleng dll ) yang notabene hal ini akan menjadi persoalan besar jika pihak TPS 3R hanya mengurusi sampah yang memiliki nilai ekonomi daur ulang saja. (TS)

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun