Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), potensi gempa megathrust di Indonesia dapat terjadi kapan saja, meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda yang jelas bahwa gempa besar akan segera terjadi. Pihak BMKG bukan menakuti publik, melainkan menggugah perhatian nasional bahwa ancaman itu faktual dan bisa datang setiap saat.
Peringatan yang ditekankan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono sangat tepat, agar bangsa Indonesia tidak terlena.
Apalagi pada saat ini usaha mitigasi bencana gempa bumi di berbagai daerah ada yang kendor karena hiruk pikuk pesta demokrasi yang sangat melelahkan dan menguras sumber daya.
Publik berharap penyempurnaan sistem mitigasi gempa bumi jangan kendor. Terutama mitigasi gempa bumi yang bisa menimbulkan tsunami yang dahsyat. Mestinya pembuatan Peta Batimetri di perairan yang telah dikategorikan berpotensi menimbulkan Gempa Megathrust bisa dikerjakan secara tuntas.
Peta batimetri sangat berguna untuk mitigasi bencana tsunami dan juga sangat bermanfaat untuk mengelola sumber daya kelautan. Masih hangat dalam ingatan publik tentang tsunami di Aceh. Pada saat itu pengetahuan tentang peta batimetri masih minim.
Peta batimetri juga diperlukan untuk keperluan scientific, seperti untuk mengetahui topografi pulau-pulau yang saling menyambung di perairan Indonesia.Â
Batimetri dapat diartikan sebagai pengukuran dan pemetaan topografi dasar laut. Manfaat Peta Batimetri adalah dapat langsung mengevaluasi deformasi setelah terjadinya gempa besar bawah laut yang menyebabkan tsunami.
Pada saat terjadinya bencana tsunami Aceh pada tahun 2004, Indonesia tidak memiliki data awal, sehingga tidak dapat melihat perambatan tsunami, dan betapa hancurnya hasil gempa Aceh sehingga mengakibatkan permukaan dasar laut yang berantakan dan menghasilkan lumpur yang sangat banyak.
BMKG mencatat adanya gempa kecil pada 8 Agustus 2024 yang memicu kekhawatiran di kalangan para ilmuwan. Gempa kecil ini dianggap sebagai pengingat bahwa potensi gempa besar selalu ada dan perlu diwaspadai.
Terdapat 15 zona di Indonesia yang berpotensi kena dampak dipicu oleh aktivitas gempa megathrust: Gempa megathrust adalah jenis gempa bumi yang terjadi di zona subduksi, yaitu wilayah di mana lempeng tektonik bumi bergerak saling bertumbukan dan salah satu lempengnya terdorong ke bawah lempeng lainnya.
Zona subduksi ini biasanya memiliki kemiringan yang landai dan terletak di area pertemuan antar lempeng tektonik. Karena terjadi di antara dua lempeng besar, gempa megathrust sering kali dikenal sebagai gempa interplate.
Sebenarnya peringatan tentang gempa megathrust beberapa tahun yang lalu pernah ditekankan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Bahkan PBB juga membuat simulasi dan skenario jika terjadi gempa besar di Indonesia yang berpotensi menewaskan banyak orang.
Skenario tersebut berupa dokumen rencana tanggap darurat. Menjelaskan kontingensi berdasarkan skenario terburuk atas terjadinya gempa besar di sekitar Jawa Barat, Banten dan Jakarta dengan korban jiwa yang sangat banyak dalam waktu 24 jam.
Skenario dan simulasi di atas didasarkan jika terjadi gempa berskala 7,8 Richter di Selat Sunda, serupa dengan gempa Karibia.
Dalam simulasi terlihat peralatan telekomunikasi dan berbagai infrastruktur perhubungan, bangunan publik, sarana produksi akan mengalami kerusakan total.
Badan Pengurangan Risiko Bencana PBB menyatakan bahwa dengan skenario dan simulasi tersebut, diketahui bahwa Indonesia bisa dikategorikan belum siap dengan risiko bencana.
Oleh sebab itu diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki sistem mitigasi dan penegasan peraturan dan teknik pendirian bangunan. Karena dalam simulasi oleh PBB itu disebutkan bahwa keruntuhan bangunan banyak membunuh korban.
Indeks risiko bencana perlu diturunkan dan kinerja pemerintah daerah terkait bencana harus ditingkatkan.
Arah kebijakan pembangunan nasional bidang kebencanaan adalah mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dalam menghadapi bencana.
Dengan strategi internalisasi pengurangan risiko bencana khususnya penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana dan peningkatan kapasitas dalam penanggulangan.
Mitigasi hadapi gempa megathrust menjadi pertanyaan publik sejauh mana kegiatan riset dan penelitian tentang tsunami yang selama ini dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah dan perguruan tinggi. Sudah cukup lama lembaga pemerintah itu menggeluti penelitian dan aplikasi teknologi terkait dengan peringatan dini tsunami.
Bahkan Indonesia pernah menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tsunami di Jakarta pada 2005 yang dihadiri oleh banyak negara. Sungguh ironis, kenapa hasil riset tentang tsunami selama ini dan penguasaan teknologi peringatan dini seperti hilang tertelan bumi.
Namun, bencana tsunami di Teluk Palu dan Selat Sunda diwarnai dengan disfungsi peringatan dini. Akibatnya menjadi fatal, banyak korban jiwa karena lemahnya mitigasi dan tiadanya peringatan dini.
Pasca bencana tsunami Aceh tahun 2004 Indonesia pernah menjadi negara yang paling aktif dan sangat berkepentingan terhadap riset tsunami.
Kemudian terjadi vakum, bahkan alat pendeteksi tsunami yang terpasang banyak yang rusak dan hilang. Selain itu sensor peralatan banyak yang tidak terkalibrasi dengan baik karena tiadanya anggaran untuk perawatan.
Untuk mengatasi stagnasi, pemerintah Indonesia perlu menyelenggarakan KTT tsunami lagi untuk mengikuti perkembangan dunia yang terkait dengan teknologi mitigasi dan segala aspek yang terkait dengan bencana alam. Pada era Industri 4.0 teknologi mitigasi banyak diwarnai dengan big data dan penggunaan sensor dan robotik untuk menangani bencana alam.
Riset dan inovasi terkait mitigasi sudah banyak dilakukan oleh kalangan internasional. Riset dan inovasi itu pada prinsipnya terbagi menjadi tiga bidang utama.
Pertama, riset yang ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi pusat gempa dan karakteristik gempa yang mempunyai potensi menimbulkan tsunami. Bidang ini merupakan kajian Ilmu Seismologi.
Kedua, riset yang diarahkan untuk membuat model penjalaran tsunami dan prediksi tinggi gelombang tsunami pada saat mencapai pantai. Riset semacam ini merupakan kajian Ilmu Oseanografi.
Ketiga, riset yang ditujukan untuk mencari cara-cara yang tepat dalam pemantauan tsunami dan perlindungan pantai terhadap bahaya tsunami. Riset semacam ini memerlukan keahlian dalam bidang Seismologi, Oseanografi, dan Teknik Sipil.
Idealnya untuk tiap jarak 100 km di sepanjang pantai yang ada di kepulauan Indonesia diletakkan satu alat pemantau gempa dan gelombang. Riset dunia tentang tsunami sudah berlangsung lama.
Sejak tahun 1965 telah dibentuk forum International Tsunami Information System ( ITIC ) dan International Group for the Tsunami Warning system yang berpusat di Hawaii.
Badan ini bertugas untuk memberikan peringatan, kewaspadaan, komunikasi, penyebarluasan pengetahuan mengenai tsunami, riset tsunami, memperluas jaringan keanggotaan dan sebagainya.
Potensi terjadinya tsunami di Indonesia sangat mengkhawatirkan jika kita mencermati magnitudo tsunami yang terjadi di Indonesia berkisar antara 1,5 hingga 4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 hingga 24 meter.
Salah satu cara untuk meminimalkan korban tsunami adalah dengan membangun sistem peringatan dini. Selama ini Tsunami Risk Evaluation Trough Seismic Moment a Real Time System (Tremors) yang dimiliki BMKG belum berfungsi secara optimal bahkan tidak dapat berfungsi. Sehingga Tremors perlu dipercanggih dengan sensor dan peralatan dengan teknologi terkini.
Secara teoritis Tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisis karakteristik gempa.
Dalam waktu sekitar 20 sampai 30 menit dapat ditentukan apakah suatu gempa dapat menyebabkan tsunami atau tidak. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang.
Kondisi pesisir dan garis pantai yang semakin dikomersialisasi semakin rentan dari bahaya tsunami. Wajah pantai yang semakin telanjang dikarenakan perusakan dan pembabatan hutan mangrove atau tanaman bakau. Tanaman pantai jenis mangrove yang menjadi jalur hijau di pantai sudah banyak yang rusak.
Padahal keberadaan hutan mangrove dapat menjadi benteng hidup bagi gempuran ombak pasang, termasuk mampu meminimalkan efek tsunami. Pemerintah pusat dan daerah harus segera membenahi tata ruang pantai yang kini sudah amburadul.
Destinasi wisata pantai harus memperhatikan proteksi pada wilayah pantai. Proteksi itu dengan adanya jalur hijau 200 meter memanjang dari garis pantai titik pasang tertinggi berupa hutan mangrove.
Jalur itu berfungsi sebagai penahan gelombang serta melestarikan keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H