Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Bersiap Hadapi Gempa Megathrust

18 Agustus 2024   23:12 Diperbarui: 19 Agustus 2024   08:24 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tsunami akibat gempa megathrust (sumber : Shutterstock via Kompas) 

Badan ini bertugas untuk memberikan peringatan, kewaspadaan, komunikasi, penyebarluasan pengetahuan mengenai tsunami, riset tsunami, memperluas jaringan keanggotaan dan sebagainya.

Potensi terjadinya tsunami di Indonesia sangat mengkhawatirkan jika kita mencermati magnitudo tsunami yang terjadi di Indonesia berkisar antara 1,5 hingga 4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 hingga 24 meter.

Salah satu cara untuk meminimalkan korban tsunami adalah dengan membangun sistem peringatan dini. Selama ini Tsunami Risk Evaluation Trough Seismic Moment a Real Time System (Tremors) yang dimiliki BMKG belum berfungsi secara optimal bahkan tidak dapat berfungsi. Sehingga Tremors perlu dipercanggih dengan sensor dan peralatan dengan teknologi terkini.

Secara teoritis Tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisis karakteristik gempa.

Dalam waktu sekitar 20 sampai 30 menit dapat ditentukan apakah suatu gempa dapat menyebabkan tsunami atau tidak. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang.

Kondisi pesisir dan garis pantai yang semakin dikomersialisasi semakin rentan dari bahaya tsunami. Wajah pantai yang semakin telanjang dikarenakan perusakan dan pembabatan hutan mangrove atau tanaman bakau. Tanaman pantai jenis mangrove yang menjadi jalur hijau di pantai sudah banyak yang rusak.

Padahal keberadaan hutan mangrove dapat menjadi benteng hidup bagi gempuran ombak pasang, termasuk mampu meminimalkan efek tsunami. Pemerintah pusat dan daerah harus segera membenahi tata ruang pantai yang kini sudah amburadul.

Destinasi wisata pantai harus memperhatikan proteksi pada wilayah pantai. Proteksi itu dengan adanya jalur hijau 200 meter memanjang dari garis pantai titik pasang tertinggi berupa hutan mangrove.

Jalur itu berfungsi sebagai penahan gelombang serta melestarikan keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun