Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Perjuangan Diplomasi dan Negosiasi, Makna Besar 79 Tahun Indonesia Merdeka

14 Agustus 2024   13:50 Diperbarui: 15 Agustus 2024   16:39 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pejuang diplomasi RI dalam Perjanjian Renville. (Wikimedia Commons via Kompas.com)

Perjuangan Diplomasi dan Negosiasi, Makna Besar 79 Tahun Indonesia Merdeka

Memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-79 perlu reinventing arti perjuangan diplomasi dan negosiasi pada saat perang kemerdekaan. Pada saat itu muncul sederet pejuang atau pahlawan diplomasi bangsa. Peran diplomasi dan negosiasi pada saat itu sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan perjuangan angkat senjata.

Makna perjuangan diplomasi dan negosiasi yang diwarisi oleh para pejuang bangsa masih sangat relevan pada saat ini. Apalagi seluruh bangsa di dunia saat ini sangat membutuhkan negosiator dan diplomat pejuang untuk melakukan diplomasi ekonomi, kebudayaan dan kemanusiaan.

Salah satu faktor negara tetangga yang nilai ekspornya lebih baik ketimbang negara kita adalah karena mereka memiliki kemampuan diplomasi ekonomi dan cara negosiasi yang lebih praktis.

Keniscayaan, pemerintahan mendatang perlu merombak para diplomat dan negosiator ekonomi dan perdagangan agar piawai seperti para pejuang kemerdekaan dahulu. Presiden terpilih Prabowo Subianto adalah anak diplomat dan negosiator yang sangat hebat pada zamannya. Sejarah mencatat bahwa

Sumitro Djojohadikusumo diplomat ulung yang memiliki kekuatan narasi yang luar biasa dalam membangun soft power Indonesia. Ayah dari Prabowo yang biasa disapa Pak Cum itu juga dikenal sebagai begawan ekonomi Indonesia, tidak banyak yang mengetahui kalau beliau adalah seorang diplomat yang hebat.

Kehebatan tersebut terekam dalam sebuah artikel di koran New York Times. Artikel yang berbentuk pledoi itu dibuat Sumitro saat berusia 31 tahun.

Pledoi ditujukan kepada pemerintah Amerika Serikat. Pledoi diterbitkan New York Times tanggal 21 Desember, 1948. Ternyata pledoi tersebut berhasil menghentikan aliran dana bantuan Amerika untuk Belanda yang digunakan membiayai operasional militer Belanda atau yang biasa disebut Agresi Militer Belanda pertama dan kedua. Saat itu Sumitro bertugas sebagai Acting Head of the Indonesian Delegation to the United Nations.

Sebagai catatan, setelah Perang Dunia Kedua, Belanda sebenarnya dalam kondisi krisis ekonomi atau sedang mengalami kebangkrutan. Dengan kondisi tersebut Belanda sangat bergantung pada uang bantuan pembangunan kembali Eropa dari Amerika Serikat lewat program Marshall Plan. Ironisnya bantuan program itu justru disalahgunakan pemerintah Belanda untuk membiayai operasi militernya di Indonesia.

Sumitro, pada saat itu masih berusia 31 tahun ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk menghentikan aliran uang Amerika yang digunakan oleh Belanda untuk menjajah Indonesia. Sumitro berjuang di Washington melobi Menteri dan Departemen Luar Negeri AS, dan di New York melobi PBB.

Buah dari perjuangan Sumitro, Menteri Luar Negeri AS saat itu Robert A Lovett menghentikan dana bantuan yang diberikan ke Belanda, karena narasi dalam pledoi Sumitro terbukti adanya, yakni uangnya digunakan untuk operasi militer di Indonesia.

Penghentian aliran dana ini memaksa Belanda melakukan perundingan dengan Indonesia dalam bentuk Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi itu,menghasilkan pengakuan kemerdekaan Indonesia.

Keberhasilan diplomasi narasi Sumitro membuat Presiden Soekarno kagum lalu mengangkat Sumitro menjadi Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat pada saat usianya 33 tahun.

Pemerintah telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada beberapa tokoh yang merupakan pejuang diplomasi dan negosiasi. Masih ada yang belum menerima gelar Pahlawan Nasional, salah satunya adalah Sumitro Djojohadikusumo.

Pemerintah telah memberikan gelar pahlawan nasional, antara lain kepada tiga tokoh diplomasi dan negosiasi yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wediodiningrat, Lambertus Nicodemus Palar dan TB Simatupang.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tiga sosok diatas memberikan pelajaran berharga kepada generasi kini bahwa negeri ini juga memiliki pahlawan yang bersenjata negosiasi dan diplomasi.

Sosok Radjiman, Palar dan Simatupang merupakan orang yang sangat piawai dalam bernegosiasi dan berdiplomasi pada era pra kemerdekaan hingga perang kemerdekaan.

Mereka memiliki intelektualitas yang hebat, berkepribadian kokoh serta sikap hidup yang sederhana. Sehingga sangat disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan.

Pentingnya meneladani dan reinventing nilai kepahlawanan dari tiga sosok pahlawan nasional diatas. Hal itu penting mengingat saat ini Indonesia sangat membutuhkan upaya negosiasi dan diplomasi, utamanya untuk urusan perekonomian global yang semakin kompleks dan penuh dengan aspek negosiasi. 

Benturan kepentingan ekonomi antar bangsa membutuhkan sosok yang piawai bernegosiasi dan berdiplomasi, yang setara dengan LN Palar waktu era kemerdekaan dahulu.

Pada era disrupsi saat ini Indonesia membutuhkan pahlawan bersenjata negosiasi dan diplomasi ekonomi, khususnya perdagangan dan investasi guna memenangkan persaingan global dan mengatasi gelombang Great Disruption yang kini tengah melanda dunia.

Kisah para pahlawan bangsa untuk kemajuan bangsanya juga telah diperlihatkan oleh Dokter KRT Radjiman Wediodiningrat sejak usia belia. Pada usia 20 tahun, Radjiman sudah lulus menjadi dokter dari STOVIA Batavia dengan prestasi tinggi, sehingga langsung diangkat sebagai dokter Gubernemen Belanda. 

Radjiman adalah tokoh pergerakan Indonesia Merdeka yang berwawasan luas dan memiliki kepribadian yang matang sehingga dipercaya menjadi Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Dalam kiprahnya di BPUPKI maupun PPKI Radjiman merupakan sosok yang piawai dalam bernegosiasi sehingga persiapan kemerdekaan RI bisa lancar dan berbagai macam silang pendapat dan perbedaan visi bisa diatasi.

Di dalam memimpin BPUPKI, Radjiman pada saat itu bisa dibilang sangat inovatif dan berwibawa dalam memimpin sidang-sidang yang sangat penting bagi terwujudnya NKRI. Terbukti sidang-sidang BPUPKI tidak pernah deadlock dan bisa mengalir jernih.

Kepiawaian bernegosiasi dan berdiplomasi juga dimiliki oleh LN Palar. Pada 1930, Palar sudah menjadi anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP) dengan pemikirannya yang sangat kritis.

Palar menjabat sebagai sekretaris Komisi Kolonial SDAP dan Nederlands Verbond van Vakverenigingen (NVV) mulai Oktober 1933. Dia juga adalah direktur Persbureau Indonesia (Persindo) yang ditugaskan untuk mengirim artikel-artikel tentang sosial demokrat dari Belanda ke pers di Hindia Belanda.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Palar menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia Merdeka secara intens serta menjadi jembatan untuk berkomunikasi dengan pihak di luar negeri.

Palar sangat gigih mencari jalan keluar untuk mendesak penyelesaian konflik antara Belanda dan Indonesia tanpa kekerasan. Tetapi pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda memulai agresi militer di Indonesia. 

Sejak itu Palar bergabung dengan tim yang berjuang untuk pengakuan internasional tentang kemerdekaan Indonesia dengan menjadi wakil Indonesia di PBB pada 1947. Posisi ini dijabatnya sampai tahun 1953.

Pada masa jabatannya peristiwa-peristiwa penting terjadi, seperti konflik antara Belanda dan Indonesia, pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, dan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB.

Palar juga memiliki peran yang luar biasa dalam penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, yang mengumpulkan negara-negara di Asia dan Afrika di mana kebanyakan dari negara tersebut baru merdeka.

Palar pensiun dari tugas diplomatiknya pada 1968. Setelah berjuang dan melayani bangsanya, Lambertus Nicodemus Palar meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1980.

Sosok ketiga penerima gelar Pahlawan Nasional tahun 2013 adalah Tahi Bonar Simatupang atau yang lebih dikenal dengan nama T.B. Simatupang. Dia lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920. Simatupang adalah sosok militer yang juga piawai dalam bernegosiasi dan berdiplomasi secara cerdas.

Simatupang yang memiliki tradisi intelektual yang sangat kental itu, dialektika hidup dan perjuangannya banyak terinspirasi oleh tiga Karl, yaitu Carl von Clausewitz, seorang ahli strategi kemiliteran, Karl Marx, seorang filsuf besar dari Prusia dan pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan yang mengarang buku Das Kapital. Dan yang ketiga adalah Karl Barth, teolog Protestan terkemuka abad ke-20.

Keniscayaan, Indonesia kini membutuhkan pejuang diplomasi dan negosiasi yang mampu menerobos dan menciptakan pasar ekspor baru serta memahami konsep value investment diberbagai negara.

Pakar investasi gobal Benjamin Graham yang juga dijuluki sebagai bapak value investing menyatakan bahwa investasi membutuhkan analisis yang komprehensif terkait dengan rasio investasi, metodologi valuasi serta mencari nilai untuk menjustifikasi spekulasi.

Para pejuang diplomasi harus mampu mengeksplorasi beragam jenis metode valuasi investasi untuk menangkap peluang ekspor dan investasi. (TS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun