Perlu upaya yang efektif untuk memutus mata rantai radikal terorisme. Pihak keamanan perlu memberi gambaran yang detail kepada seluruh lapisan masyarakat terkait modus terorisme. Di tingkat RT dan RW perlu diberi pengetahuan dan penerangan terkait organisasi dan kaki tangan terorisme serta terhadap bibit-bibit teroris yang telah memasuki perdesaan dan siap untuk melakukan aksi pengeboman dan modus teror lainnya.
Spektrum terorisme di negeri ini semakin kompleks. Perlu mendalami modus rekrutmen terhadap bomber atau pelaku bom bunuh diri. Totalitas negeri ini dalam memerangi terorisme selain dengan cara meningkatkan intensitas operasional BNPT, Densus 88 Polri dan desk terorisme TNI, juga diperlukan kajian yang komprehensif untuk menguak berbagai modus dan latar belakang pelaku bom bunuh diri. Lalu modus tersebut sebaiknya disebarluaskan kepada masyarakat.
Modus rekrutmen terhadap pelaku bom bunuh diri yang kebanyakan dari kalangan muda harus diungkap tuntas agar daya preventif masyarakat semakin tinggi. Masyarakat semakin penasaran, seperti apa treatmen kejiwaan yang dilakukan untuk mencetak pelaku bom bunuh diri. Fenomena kaum belia yang begitu mudahnya direkrut oleh jaringan teroris untuk melakukan bom bunuh diri bisa jadi merupakan puncak gunung es masalah sosial.
Dari setiap kasus aksi teroris, selalu ada sisi yang unik dalam momen atau kronologi aksi pelaku penyerangan dan pelaku bom bunuh diri. Setelah ledakan itu terjadi terlihat gambar potongan kepala dengan raut muka yang dingin namun dengan sorot mata yang tampak kosong. Dengan mencermati potongan kepala para bomber itu para ahli kejiwaan maupun analis intelijen sependapat bahwa pelaku bom bunuh diri telah mengalami treatment kejiwaan yang sangat intensif sehingga sampai pada kondisi trace.
Dalam tataran teori pemikiran bawah sadar atau dalam istilah kedokteran jiwa disebut subconscious mind. Para bomber bisa dianalogikan dalam kondisi somnambul alias tidur tetapi berjalan. Kondisi itu membuat seseorang sangat rileks menghadapi kematian. Namun masih bisa memfungsikan mata serta panca indera lainnya, Seperti menggerakkan kaki, tangan dan menerima pesan lewat HP.
Sebaiknya desk terorisme melibatkan ahli psikologi dan sosial untuk mendalami fenomena rekrutmen teroris serta mendapatkan konstruksi kejiwaan dan kepribadian para bomber. Apalagi penelitian yang dilakukan oleh badan dunia menyatakan bahwa kasus-kasus terorisme kebanyakan dilakukan oleh orang yang mengalami penyimpangan kejiwaan yang dikenal dengan istilah altruistis.
Mestinya modus rekrutmen terhadap pelaku bom bunuh diri yang kebanyakan dari kalangan belia bisa diungkap tuntas. Agar daya preventif masyarakat semakin tinggi. Fenomena kaum muda yang mudah direkrut oleh jaringan teroris untuk melakukan bom bunuh diri bisa jadi merupakan puncak gunung es. Apalagi tokoh teroris tersebut memiliki cara ampuh untuk merasuki jiwa muda. Sayangnya modus atau pola-pola tersebut belum tertangani secara baik oleh aparat. Padahal hal itu sangat membantu masyarakat agar lebih waspada. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H