Pelaku Bom Bunuh Diri dan Mata Rantai Terorisme
Enigma KejiwaanBerita tentang remaja berinisial HOH (19 tahun) terduga teroris yang hendak melakukan aksi bom bunuh diri menyentak perhatian publik. Menurut keterangan Densus 88 Anti Teror Polri yang bersangkutan rela menabung demi untuk membeli bahan peledak.Â
 Sosok HOH ditangkap oleh Densus 88 di Jalan Langsep, Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu, Kota Batu Jawa Timur. Konstruksi kejiwaan dari para remaja yang rela menjadi pelaku bom bunuh diri selama ini masih menjadi enigma. Tindakan remaja tersebut yang rela menabung untuk membeli bahan peledak menunjukkan motivasi tinggi di dalam dirinya untuk melancarkan aksi bom bunuh diri perlu diteliti lebih jauh oleh pakar berbagai disiplin ilmu.
Aksi teroris hendaknya diantisipasi dengan meningkatkan status keamanan khususnya infrastruktur publik. Hingga saat ini dunia masih dihadapkan pada masalah keamanan infrastruktur publik yang terancam oleh aksi teroris. Kepolisian perlu mengantisipasi tumbuhnya model terorisme lone wolf.
Telah terjadi transformasi aksi terorisme menjadi model aksi perorangan atau kelompok kecil yang mobile yang biasa disebut lone wolf. Mereka melakukan aksi dengan kemampuan mobilitas yang terus bergerak mencari sasaran yang dianggap relevan.
Pengertian lone wolf atau serigala tunggal merupakan suatu kejahatan kekerasan atau terorisme yang memaksakan suatu ideologi. Yang sudah-sudah pelaku melakukan aksi terlepas dari komando organisasi atau struktur kelompok teroris.Tetapi kini para serigala itu sudah menemukan kembali bentuk koordinasi untuk melakukan aksi.
Pemerintah hendaknya meningkatkan daya preventif bagi seluruh lapisan masyarakat guna menghadapi aksi terorisme sejak dini. Khususnya modus rekrutmen untuk membentuk sel-sel teroris yang akan menjadi lone wolf.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ancaman terorisme selama lima tahun terakhir, tren ancaman bergerak secara fluktuatif. Meningkat pada 2019, lalu menurun pada 2020, dan meningkat lagi pada 2022.
Dalam upaya memutus mata rantai radikal terorisme di Indonesia, BNPT melaksanakan program prioritas dari hulu ke hilir. Hal ini selaras dengan konsep pentahelix yang menjadi arah kebijakan penanggulangan BNPT.
BNPT bekerja dari hulu ke hilir, dari hulu meningkatkan peran masyarakat dan komunitas, sehingga tidak sampai meningkat ke arah terorisme. Lalu, di hilir mendukung aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan terhadap individu maupun kelompok yang terlibat dalam aktivitas terorisme.
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah aktivitas pendanaan terorisme yang memanfaatkan bantuan atau donasi kemanusiaan. Momen tersebut dijadikan alat propaganda untuk menarik simpati sekaligus menunjukkan eksistensi terorisme kepada masyarakat.
Perlu upaya yang efektif untuk memutus mata rantai radikal terorisme. Pihak keamanan perlu memberi gambaran yang detail kepada seluruh lapisan masyarakat terkait modus terorisme. Di tingkat RT dan RW perlu diberi pengetahuan dan penerangan terkait organisasi dan kaki tangan terorisme serta terhadap bibit-bibit teroris yang telah memasuki perdesaan dan siap untuk melakukan aksi pengeboman dan modus teror lainnya.
Spektrum terorisme di negeri ini semakin kompleks. Perlu mendalami modus rekrutmen terhadap bomber atau pelaku bom bunuh diri. Totalitas negeri ini dalam memerangi terorisme selain dengan cara meningkatkan intensitas operasional BNPT, Densus 88 Polri dan desk terorisme TNI, juga diperlukan kajian yang komprehensif untuk menguak berbagai modus dan latar belakang pelaku bom bunuh diri. Lalu modus tersebut sebaiknya disebarluaskan kepada masyarakat.
Modus rekrutmen terhadap pelaku bom bunuh diri yang kebanyakan dari kalangan muda harus diungkap tuntas agar daya preventif masyarakat semakin tinggi. Masyarakat semakin penasaran, seperti apa treatmen kejiwaan yang dilakukan untuk mencetak pelaku bom bunuh diri. Fenomena kaum belia yang begitu mudahnya direkrut oleh jaringan teroris untuk melakukan bom bunuh diri bisa jadi merupakan puncak gunung es masalah sosial.
Dari setiap kasus aksi teroris, selalu ada sisi yang unik dalam momen atau kronologi aksi pelaku penyerangan dan pelaku bom bunuh diri. Setelah ledakan itu terjadi terlihat gambar potongan kepala dengan raut muka yang dingin namun dengan sorot mata yang tampak kosong. Dengan mencermati potongan kepala para bomber itu para ahli kejiwaan maupun analis intelijen sependapat bahwa pelaku bom bunuh diri telah mengalami treatment kejiwaan yang sangat intensif sehingga sampai pada kondisi trace.
Dalam tataran teori pemikiran bawah sadar atau dalam istilah kedokteran jiwa disebut subconscious mind. Para bomber bisa dianalogikan dalam kondisi somnambul alias tidur tetapi berjalan. Kondisi itu membuat seseorang sangat rileks menghadapi kematian. Namun masih bisa memfungsikan mata serta panca indera lainnya, Seperti menggerakkan kaki, tangan dan menerima pesan lewat HP.
Sebaiknya desk terorisme melibatkan ahli psikologi dan sosial untuk mendalami fenomena rekrutmen teroris serta mendapatkan konstruksi kejiwaan dan kepribadian para bomber. Apalagi penelitian yang dilakukan oleh badan dunia menyatakan bahwa kasus-kasus terorisme kebanyakan dilakukan oleh orang yang mengalami penyimpangan kejiwaan yang dikenal dengan istilah altruistis.
Mestinya modus rekrutmen terhadap pelaku bom bunuh diri yang kebanyakan dari kalangan belia bisa diungkap tuntas. Agar daya preventif masyarakat semakin tinggi. Fenomena kaum muda yang mudah direkrut oleh jaringan teroris untuk melakukan bom bunuh diri bisa jadi merupakan puncak gunung es. Apalagi tokoh teroris tersebut memiliki cara ampuh untuk merasuki jiwa muda. Sayangnya modus atau pola-pola tersebut belum tertangani secara baik oleh aparat. Padahal hal itu sangat membantu masyarakat agar lebih waspada. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H