Deregulasi menyebabkan persyaratan pendirian maskapai penerbangan menjadi sangat mudah. Pengusaha dengan modal pas-pasan mulai menggaet pihak asing lalu memproklamirkan sebagai maskapai berbiaya rendah.Â
Dalam waktu singkat munculah maskapai baru dengan jargon LCC dan langsung menggerus flag carrier. Bahkan mereka secara progresif merebut rute gemuk yang selama ini menjadi ladang flag carrier.
Model bisnis dan platform BUMN penerbangan semakin dilemahkan dengan undang-undang yang lebih liberal, seperti Undang Undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli. Undang-undang ini kemudian mendorong terjadinya proses deregulasi dalam transportasi udara.Â
Kondisinya ekosistem bisnis penerbangan nasional makin labil dan mengandung potensi bahaya kecelakaan karena faktor pembiayaan operasional dan kesiapan SDM penerbangan di Indonesia belum sebagus di luar negeri. Publik sering menuding bahwa maskapai LCC selama ini mengurangi atau menekan biaya perawatan yang berpengaruh terhadap faktor keamanan.
Kini model bisnis LCC di negara asalnya sudah mengalami transformasi berulang kali. Bahkan maskapai yang menjalankan berulang kali jatuh bangun dan beberapa maskapai mengalami kebangkrutan.Â
Model LCC dalam dunia penerbangan diterapkan pertama kali di Amerika Serikat sekitar tahun 1978. Tahapan proses transformasi bisnis maskapai Penerbangan LCC selalu mengalami perubahan dan pembaruan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Pelopor model LCC di Amerika Serikat adalah dua maskapai, yakni Pacific Southwest Airlines (PSA) dan Air Southwest Co. PSA adalah maskapai penerbangan tertua dan pertama di Amerika Serikat dengan motto perusahaan "The World's Friendly Airlines". PSA memiliki kantor pusat di San Diego California. Beroperasi sejak 1949 dengan mengandalkan pesawat jenis DC 3.
Maskapai penerbangan kedua yang menjadi pelopor LCC adalah Air Southwest Co. yang beroperasi sejak 1967. Maskapai penerbangan ini berganti nama SouthWest Airlines pada 1971.Â
Maskapai LCC di Amerika Serikat telah melakukan penyempurnaan operasional beberapa kali. Sehingga meskipun layanan tanpa kenikmatan prima (no frills), berharga amat murah tetapi tepat waktu dan menerapkan faktor keselamatan yang tinggi.
Deregulasi penerbangan di berbagai negara termasuk Indonesia membuat semua bisnis penerbangan mendapatkan keleluasaan untuk memasuki pasar apapun, selama operator merasa mampu memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan.Â
Namun ada faktor yang sangat riskan yakni penerbangan menjadi industri dengan margin keuntungan di bawah 3 persen. Akibatnya ekosistem industri penerbangan kondisi cash flow mudah berdarah-darah.