Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urgensi Transformasi Tata Kelola Pesisir dan Pulau Kecil

5 Juni 2024   16:20 Diperbarui: 5 Juni 2024   16:45 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga mengantar air bersih menuju usaha pertambangan di Desa Pongkalaero, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.(KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS)

Urgensi Transformasi Tata Kelola Pesisir dan Pulau Kecil

Transformasi tata kelola pesisir dan pulau kecil berpotensi menjadikan Indonesia negara maritim terkemuka. Pengawasan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memerlukan dukungan platform digital. Generasi kini dan mendatang mesti mengelola sumber daya kelautan, khususnya pesisir dan pulau kecil yang melibatkan teknologi terkini yang sesuai dengan era Industri 4.0. Sistem pengelolaan sumber daya itu perlu ditransformasikan dengan menerapkan teknologi big data, cloud computing, Virtual Reality dan internet of things (IoT) agar hasilnya lebih optimal bagi semua pihak.

Publik masih prihatin terkait dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil di negeri ini. masih jauh dari harapan. Perlu dicatat bahwa lautan menyimpan cadangan karbon yang sangat besar yang dapat sepenuhnya terganggu oleh kegiatan pertambangan dan industri di pantai atau di lepas Pantai yang bisa memperburuk krisis lingkungan. 

Pertambangan sumber daya mineral di laut yang menggunakan teknologi yang canggih semisal teknologi kapal keruk yang digunakan untuk eksploitasi, pada prinsipnya mekanisme pengerukan mineral dan seisi lautan menggunakan pipa besar yang memiliki daya aduk dan sedot yang luar biasa. Mekanisme dalam kapal tetap saja melakukan penyortiran material berharga sekaligus membuang kembali lumpur dan sampah ke dasar lautan.

Eksploitasi yang berlebih berdampak pada rusaknya lingkungan. Sudah barang tentu pengawasan lemah karena buruknya sistem VMS (Vessel Monitoring System) mengingat kapabilitas armada di daerah dan rendahnya integritas birokrasi. Sistem VMS belum mampu mencakup masalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).

Salah satu kegiatan pertambangan yang bermasalah adalah kegiatan ekstraksi timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Limbah tambang timah tidak hanya menurunkan kualitas perairan, tetapi juga menyebabkan terakumulasinya logam berat ke tubuh biota laut. Penambangan timah yang menghasilkan limbah atau tailing, mengandung timbal signifikan. Kegiatan itu mengekspos kandungan logam di alam, sehingga mencemari perairan.

Peningkatan kandungan logam berat dalam air laut akan diikuti peningkatan kandungan logam berat dalam tubuh biota atau bioakumulasi. Biota laut yang mampu mengakumulasi logam berat adalah kelompok bivalvia, diantaranya jenis kerang-kerangan. Kerang-kerangan sifatnya menetap, sehingga sangat cepat terpengaruh akibat perubahan parameter fisik perairan. Jika terus menerus masuk ke kerang, yang kemudian dikonsumsi manusia, akan berbahaya bagi kesehatan.

Berdasarkan analisis data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung terhadap Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terdapat 434.166,7 hektar zona pertambangan yang tersebar di hampir seluruh wilayah pesisir Pulau Bangka. Jumlah itu terbagi di pesisir utara (139.163,9 hektar), pesisir barat (65.933,8 hektar), pesisir timur (229.069 hektar), dan pesisir selatan (89.329,4 hektar).

Ilustrasi pulau kecil Gili Trawangan.(sumber : SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com)
Ilustrasi pulau kecil Gili Trawangan.(sumber : SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com)

Pulau Kecil yang Strategis

Perlu mengimplementasikan Undang-Undang No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara efektif. Konteks pengelolaan diatas menyangkut perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah pusat dan daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menekankan pentingnya membenahi tata kelola sumber daya kelautan. Pengembangan perikanan dapat dijadikan indikator utama bagi pengelolaan laut. Apalagi lembaga dunia menyatakan bahwa perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamik di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumber daya lain dalam konteks ruang (space) dan karakteristik.

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah membangun sistem pemantauan kapal Fishing Monitoring Centre (FMC). Merupakan pusat data kelautan nasional dimana berbagai pihak bisa mencari data apapun tentang kelautan. Tingginya tingkat degradasi lingkungan dan kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan isu penting. Kondisi tersebut disebabkan karena belum jelasnya sistem perencanaan wilayah pesisir dan pulau kecil dan kurang sinkronnya pembangunan antar sektor. Terkait dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, menurut tren dunia menyatakan bahwa konsep ekosistem merupakan filosofi dasarnya. Konsep itu telah diadopsi luas oleh negara-negara anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands Development States (SIDS).

Pemerintah menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Demi mengejar target, pemerintah menggenjot pendayagunaan ruang laut, pesisir, dan pulau kecil oleh penanam modal asing. Di antara proyek yang saat ini diminati investor asing adalah pariwisata di pulau-pulau kecil, terutama di pulau kecil yang tidak berpenghuni.

Dengan merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 53 Tahun 2020 tentang izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan untuk penanaman modal asing, Kementerian Kelautan akan memberikan izin pemanfaatan selama 30 tahun yang dapat diperpanjang lagi selama 30 tahun berikutnya.

Selain itu, Kementerian menetapkan 70 persen luas pulau kecil untuk pengembangan pariwisata. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 26A dalam regulasi itu menyebut bahwa pemanfaatan pulau kecil dan perairan di sekitarnya untuk investasi asing harus memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat dan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang strategis secara posisi maupun potensi ekonomi. Namun, sifat strategis tersebut belum didayagunakan secara optimal. Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah mestinya bertindak kreatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan bantuan teknologi platform digital.

Platform tersebut bisa menunjang tugas Direktorat Jasa Kelautan. Platform mencakup aplikasi direktori pulau-pulau kecil berbasis web. Program yang dicanangkan Kementerian Investasi atau BKPM yang mendorong adanya investasi di pulau-pulau kecil untuk kegiatan industri sebaiknya segera dikonkritkan. Untuk itu pentingnya platform yang berisi sistem informasi dan peta spasial dari pulau-pulau kecil secara detail. Pariwisata dan usaha agroindustri sangat potensial dikembangkan di pulau-pulau kecil.

Hingga saat ini akses terhadap informasi, terutama menyangkut posisi dan potensi pulau-pulau kecil tersebut kurang memadai. Akibatnya pembangunan dan pengusahaan sulit dilakukan. Pendekatan geospasial yaitu dengan data dan informasi yang bereferensi bumi merupakan langkah yang efektif dalam pengelolaan. Mestinya, seluruh Dinas Kelautan dan Pesisir memiliki platform Sistem Informasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan menggunakan aplikasi karya bangsa sendiri yang murah namun efektif.

Tingginya tingkat degradasi lingkungan dan kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan isu penting. Kondisi tersebut disebabkan karena belum jelasnya sistem perencanaan wilayah pesisir dan pulau kecil dan kurang sinkronnya pembangunan antar sektor. Platform juga bisa menjadi media pengajaran dan pendidikan bagi penduduk pesisir dan pulau kecil yang selama ini mengalami ,masalah konektivitas.

Dengan platform bisa meningkatkan kapabilitas Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Ditjen KP3K).Terkait dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, menurut tren dunia menyatakan bahwa konsep ekosistem merupakan filosofi dasarnya. Konsep itu telah diadopsi luas oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), khususnya yang tergabung dalam Small Islands Development States (SIDS).

Terkait dengan hal diatas adalah UU RI No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tentunya sudah mengakomodasi konsep ekosistem. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun