Teladan dr Soetomo dan Masalah Industri Alkes
Setiap memperingati Hari Kebangkitan Nasional ( Harkitnas ) 20 Mei, penulis teringat dengan kampung halaman tempat kelahiran yakni Kabupaten Nganjuk. Tokoh pergerakan pra kemerdekaan bangsa dan pendiri organisasi Budi Utomo, yakni dr Soetomo juga lahir di Nganjuk, di daerah lereng Gunung Wilis tepatnya di Desa Ngepeh.
Soetomo lahir di rumah kakeknya bernama Raden Ng Singawijaya di Desa Ngepeh Nganjuk pada tanggal 30 Juli 1888. Ia merupakan anak dari Raden Soewadji dan Raden Ajoe Soedarmi.
Rumah dan halaman tempat kelahiran Eyang dr. Soetomo kini dijadikan Museum dan Monumen dr Soetomo. Di museum ini kita bisa melihat peralatan medis yang pernah digunakan dr Soetomo praktik kedokteran. Melihat peninggalan alat Kesehatan ( alkes ) itu perasaan saya sangat terharu. Terlebih pada saat ini masalah alkes masih memprihatinkan. Industri alkes belum berkembang semestinya. Padahal kita adalah bangsa berpenduduk lima besar dunia dengan tingkat kesehatan yang masih memprihatinkan. Dan kebutuhan alkes yang sebagian besar masih tergantung impor. Padahal kita memiliki potensi dan SDM yang mampu mendirikan industri alkes.
Kebangkitan nasional suatu bangsa mustahil bisa terjadi tanpa disertai dengan tingkat kesehatan masyarakat yang baik. Baik Kesehatan jiwa dan raga. Kebangkitan Nasional hanya fatamorgana jika suatu bangsa tidak mampu menyelenggarakan fasilitas Kesehatan yang layak dan penghargaan yang baik terhadap dokter dan tenaga Kesehatan lainnya. Selain itu APBN harus bisa mendorong industri alkes dan farmasi ( obat-obatan ) secara mandiri tanpa tergantung kepada impor.
Teladan perjuangan Eyang dr.Soetomo yang luar biasa mesti menjadi spirit kita semua untuk mewujdukan kebangkitaan bangsa yang sejati, bukan kebangkitan sebatas slogan-slogan saja.
Peringatan Harkitnas kali ini menjadi momentum untuk menguatkan industri alkes dan farmasi nasional yang selama ini masih kerdil. Kondisi kekerdilan industri tersebut antara lain disebabkan oleh sepak terjang mafia.Seperti yang pernah dinyatakan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang mengungkapkan adanya mafia alkes dan dan farmasi.
Invisible hand bermain karena impor alat kesehatan Indonesia selama ini sangat besar. Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor farmasi harus segera dibenahi dan diperankan untuk mengatasi mafia alkes dan farmasi dengan cara menggejot produksi.
Untuk membangkitkan industri alkes dan farmasi perlu berinovasi untuk memproduksi jenis alkes kelas tertentu yang melibatkan teknologi canggih.Juga perlu inovasi bahan baku farmasi yang berasal dari sumber daya lokal yang jumlahnya melimpah di negeri ini.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) jumlah industri alat kesehatan dalam negeri sebanyak 242 industri. Dengan alat kesehatan yang diproduksi sebanyak 294 jenis. Dari data tersebut kemampuan industri alkes dalam negeri lebih banyak untuk produk kelas 1 dan kelas 2, dimana risiko penggunaan produk ini lebih rendah.
Terdapat kendala produksi terkait dengan alkes berbasis riset yang membutuhkan tahapan uji klinik dalam memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat.
Definisi alat kesehatan menurut Peraturan Menteri Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Klasifikasi alkes terdiri atas Kelas I, yakni alat kesehatan yang kegagalan atau salah penggunaannya tidak menyebabkan akibat yang berarti. Kelas IIA yakni alat kesehatan yang kegagalannya atau salah penggunaannya dapat memberikan akibat yang berarti kepada pasien tetapi tidak menyebabkan kecelakaan yang serius. Kelas IIB, yakni alat kesehatan yang kegagalannya atau salah penggunaannya dapat memberikan akibat yang sangat berarti kepada pasien tetapi tidak menyebabkan kecelakaan yang serius. Dan kelas III, yakni alat kesehatan yang kegagalan atau salah penggunaannya dapat memberikan akibat yang serius kepada pasien atau perawat/operator.
Pemerintah mengatur alat kesehatan mulai dari pengaturan terhadap sarana produksi, produk (izin edar) dan distribusinya. Organisasi industri alat kesehatan di tanah air yang telah eksis yakni Asosiasi Produsen Alat Kesehatan (ASPAKI) dan Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (GAKESLAB).
Selain itu, dapat dilihat pula kecilnya jumlah alat kesehatan produksi dalam negeri yang beredar daripada alat kesehatan impor. Alat kesehatan produksi dalam negeri jumlahnya tidak sampai 10 persen dari keseluruhan alat kesehatan yang beredar di Indonesia.
Meskipun sudah ada insentif yang diberikan kepada produsen alkes dalam negeri, melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, namun masih terjadi kelangkaan beberapa jenis alkes.
Target pemerintah terkait produk alkes semua kelas yang mesti dibuat di dalam negeri perlu dipercepat. Kendala utama pengembangan industri alkes dalam negeri, terutama untuk kelas III adalah belum adanya dukungan pengadaan material dan produk implan lokal yang berkualitas dengan harga yang relatif murah dan sesuai dengan anatomi rata-rata orang Indonesia.
Pengembangan teknologi material, utamanya logam khusus untuk aplikasi dan produk alat kesehatan masih jalan ditempat alias mandek. Proyek terkait yang pernah dilakukan oleh Pusat Teknologi Material BRIN yang selama ini tidak lancar saatnya digenjot dengan berbagai insentif.
Perlu tingkat kesiapan teknologi (Technology Readiness Level, TRL) pada riset dan inovasi alkes kelas III diteruskan hingga pengembangan skala produksi massal.
Seperti contohnya material implan tulang stainless steel 316L yang telah memenuhi standar ASTM F 138 dan ISO 5832-1 baik dari segi komposisi kimia, struktur mikro maupun kekuatan mekanis.
Kegiatan produksi material implan tulang stainless steel 316L menuju tahap pemanfaatan ke arah komersialisasi melalui sertifikasi produksi dan ijin edar sesuai peraturan Menkes, yang kegiatannya sebagian besar merupakan tanggung jawab industri mitra.
Produk alkes kelas III memerlukan material kekuatan tinggi melalui proses deformation strengthening. Oleh sebab itu pemerintah perlu memberikan dana pengembangan dan riset yang cukup sesuai dengan roadmap pengembangan material alkes.(TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H