Lingkaran Setan Masalah Angkutan Bus, Kenapa Sopir Sering Jadi Kambing Hitam?
Sopir yang mengemudikan bus yang mengalami kecelakaan saat mengangkut rombongan SMK Lingga Kencana, Depok dijadikan kambing hitam penyebab kecelakaan.Â
Seringkali sopir bus sedari awal sudah dijadikan tersangka tunggal yang harus mempertanggung jawabkan kasus kecelakaan maut. Padahal jika dikaji secara komprehensif, sebagian besar faktor penyebab kecelakaan maut bukan variabel tunggal, tetapi variabel ganda yang saling bertemali.
Dengan demikian sebenarnya ada beberapa tersangka dalam kasus kecelakaan study tour. Pengusaha angkutan bus yang selama ini bebas dari tuntutan hukum mestinya juga ikut dijerat.Â
Karena banyak faktor internal perusahaan yang menjadi akar penyebab kecelakaan maut. Seperti masalah kelayakan bus, penyimpangan teknis, pelanggaran desain atau konstruksi karoseri dan juga bisa dijerat dengan UU Ketenagakerjaan jika pengusaha melanggar aturan seperti jam kerja sopir, uang lembur, jaminan sosial dan pelanggaran hak-hak normatif pekerja transportasi.
Pengusaha angkutan bus juga serba terjepit, bagaikan buah simalakama, jika semua ketentuan harus dipenuhi maka tidak cukup dana. Pemerintah juga tidak memberikan insentif yang layak bagi pengusaha bus. Apalagi perusahaan bus dihimpit oleh harga suku cadang yang tinggi.Â
Akibatnya perusahaan kesulitan melakukan peremajaan bus. Yang dilakukan justru tambal sulam perbaikan bus. Bus yang umurnya sudah tua, karoserinya dipoles sekedarnya, padahal mesinnya sudah tua dan keropos. Tenaga mesin ibarat keledai namun dipaksa bekerja seperti kuda.
Pemerintah sering tutup mata dan telinga menghadapi lingkaran setan masalah angkutan bus.Â
Padahal masalah prosedur Uji KIR yang amburadul dan kondisi jalan raya non tol yang kondisinya banyak yang rusak, juga menjadi faktor yang cukup dominan sebagai penyebab kecelakaan maut.Â
Begitu juga pihak perusahaan karoseri yang sering melanggar regulasi saat mendapat proyek untuk mengubah badan bus dan truk.
Tak bisa dipungkiri, kondisi operator angkutan bus antar kota dan antar provinsi kini tengah dihimpit dengan berbagai persoalan krusial. Seperti semakin mahalnya biaya perawatan dan suku cadang bus.Â
Perusahaan angkutan bus tidak berdaya melakukan peremajaan armada yang sudah tua. Karena pendapatan usahanya semakin tergerus oleh moda angkutan yang lain. Apalagi sistem transportasi antar kota dan antar provinsi juga semakin menyusahkan perusahaan angkutan bus.
Kementerian Perhubungan tak kunjung memberikan insentif berupa public service obligation (PSO) kepada perusahaan bus melalui kredit perbankan tanpa bunga serta keringanan bea masuk impor suku cadang hingga impor kendaraan angkutan umum.Â
Hal itu juga seiring dengan perkembangan teknologi pada bus, yakni pentingnya aplikasi transmisi otomatis pada bus yang memudahkan cara kerja awak bus dan lebih menjamin faktor keselamatan.Â
Karena pada transmisi otomatis putaran mesin diatur dengan perangkat yang disebut Transmission Control Module (TCM). Perangkat tersebut memungkinkan gigi transmisi berpindah dinamis mengikuti batas putaran mesin yang ditentukan.
Dengan TCM karakter pengemudi juga bisa dimonitor secara baik. Apakah dia pengemudi yang baik atau ugal-ugalan.Â
Sebenarnya penerapan transmisi otomatis bisa menekan biaya operasional bus. Misalnya penggantian oli transmisi sangat efisien. Sayangnya harga transmisi otomatis masih mahal dan belum terjangkau pengusaha bus.
Perusahaan atau industri karoseri juga menjadi pihak yang mesti ikut bertanggung jawab. Perusahaan karoseri selayaknya mematuhi regulasi yang berlaku,Â
Namun kondisi di lapangan terjadi penyimpangan, meskipun tak sesuai regulasi namun berkas-berkas perizinan kendaraan tetap diberikan.Â
Seperti Sertifikasi Uji Tipe Kendaraan Bermotor (SRUT) dan Surat Keterangan Rancang Bangun (SKRB). Akibatnya sering terjadi bus ODOL dan truk ODOL. Yakni over dimension overloading atau disingkat ODOL.
Sebenarnya regulasi tentang dimensi angkutan diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah 55 Tahun 2012 Pasal 54 dan 55, serta Permen 33 Tahun 2018 Pasal 11 dan 12.Â
Adapun upaya pengawasan muatan barang dilakukan dengan mengawasi empat hal: pengawasan terhadap tata cara muat, daya angkut, dimensi kendaraan, serta kelengkapan administrasi mobil.
Pentingnya mekanisme uji kelayakan bus secara ketat sesuai prosedur teknis terkini. Ada paradoks yang mencuat terkait dengan kecelakaan bus, ternyata dalam kasus terdahulu beberapa bus telah atau baru menjalani uji kelayakan oleh yang berkompeten.Â
Dan terjadi kecelakaan. Ada kemungkinan terjadi penyimpangan prosedur uji oleh petugas pengujian. Uji kelayakan tersebut terutama untuk bus pariwisata, antarkota antarprovinsi (AKAP) dan antar kota dalam provinsi (AKDP).Â
Petugas seharusnya secara jujur dan obyektif melihat beberapa indikator uji kir, seperti kondisi setir apakah stabil, kondisi asap kendaraan, roda, keandalan sistem pengereman dan lain-lain.
Persoalan sistem pengereman pada bus kini membuat resah pengguna jasa. Padahal, sebenarnya sudah ada sistem yang sangat andal untuk mencegah rem loss dengan sendirinya alias blong.Â
Bahkan untuk bus keluaran terbaru sudah menggunakan sistem yang dilengkapi dengan sensor elektronik terkomputerisasi atau ECU (Electronic Control Unit).Â
Masalahnya adalah banyak pengusaha bus yang tidak mampu untuk berinvestasi meremajakan dan mengganti komponen bus dengan yang lebih baru dan andal. Yang ada hanya tambal sulam dan kanibalisme komponen yang sangat rentan dengan malfunction jika sedang dioperasikan.
Ada masalah penting yang sering luput dari perhatian, yakni adanya ketidaknyamanan bagi pengemudi bus sehingga cepat mengalami kelelahan. Hal itu diakibatkan oleh masalah ergonomi pada kabin pengemudi bus.Â
Pentingnya menerapkan kabin pengemudi bus yang ergonomis menurut kondisi fisik rata-rata orang Indonesia. Agar kabin pengemudi bus menjadi ergonomi sebaiknya dilakukan analisa terhadap kursi, pedal, setir, dashboard, display, panel, dan sebagainya.
Untuk mengurangi fatalitas kecelakaan angkutan bus sebaiknya dilakukan aturan yang tegas terkait dengan regulasi angkutan bus hingga perkembangan desain bodi bus.Â
Ada beberapa aspek teknis yang bisa berakibat fatal. Yakni terkait dengan standardisasi terhadap chassis, sistem kemudi, tangki bahan bakar, panel kontrol unit elektronik dan lain-lain. Yang mana komponen diatas dibuat langsung oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) atau pabrikan.Â
Disinyalir ada pihak karoseri yang melakukan perubahan berarti tanpa ada rekomendasi atau sertifikasi. Selain itu pihak karoseri juga sering merubah dimensi keseluruhan kendaraan tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.Â
Hingga saat ini belum ada standardisasi angkutan bus, seperti konfigurasi tempat duduk. Padahal standardisasi tempat duduk bus bisa mengurangi resiko jika terjadi kecelakaan. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H