Pada kurun waktu kekuasaan rezim orde-baru, eksistensi para pengawal VVIP lebih condong kepada lambang superioritas militer daripada sekedar sistem pengamanan. Sehingga eksistensinya lebih menonjol kepada aspek seremonial. Pasukan pengawal VVIP tersebut waktu itu dalam operasionalnya masih memakai doktrin dan prosedur militer konvensional.
Ancaman pembunuhan terhadap pejabat tertinggi negara bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Skenario tersebut bisa datang dari kelompok manapun, termasuk dari kelompok teroris. Pada saat era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dikejutkan dengan pengakuan tersangka teroris Omar Al-Faruq tentang adanya konspirasi dengan kelompok garis keras untuk merencanakan pembunuhan terhadap Presiden RI ke-5 tersebut. Begitu juga dengan Presiden SBY yang juga pernah mendapat ancaman serupa.
Presiden RI bisa saja terbunuh oleh orang yang tidak disangka-sangka dalam event yang tidak diperhitungkan. Seperti halnya nasib tragis Presiden Anwar Sadat dan PM Indira Gandhi. Tidak mustahil pula jaringan asing sudah memiliki skenario "killing ground" terhadap presiden sembari mengkambing hitamkan kelompok tertentu.
Prosedur perlindungan terhadap sosok yang dikategorikan VVIP yakni Presiden, Wakil Presiden serta para tamu negara dari waktu ke waktu selalu berkembang searah dengan perkembangan teknologi. Tidak seperti yang lalu, kini eksistensi Paspampres telah didukung dengan perundang-undangan yang sistematis dan sesuai dengan kondisi zaman. Undang-undang perlindungan VVIP di Indonesia mengadopsi undang-undang serupa di Amerika Serikat, yang mana pasal-pasalnya telah mengatur dengan jelas dan sistematis.
Dalam konteks tersebut menurut kitab undang-undang USA pasal 3 dan 18, seorang Presiden terpilih, bahkan sejak masih menjadi calon presiden, harus didampingi oleh pengawal resmi yang bernama US Secret Service. Peristiwa terbunuhnya Senator Robert Kennedy tahun 1968 yang merupakan calon Presiden dari Partai Demokrat merupakan awal dari diberikannya perlindungan resmi kepada para kandidat Presiden USA.
Menengok sejarah kebangsaan Indonesia, utamanya mengenai gangguan keamanan terhadap Presiden Indonesia yang pertama. Dimana Presiden Soekarno telah beberapa kali mengalami usaha pembunuhan secara langsung. Sehingga waktu itu diperlukan sebuah resimen khusus yang mengawal Presiden yang disebut Tjakrabirawa. Secara harfiah Tjakrabirawa berarti senjata pamungkas yang sangat ampuh milik Batara Kresna, dalam konteks diatas adalah resimen pengawal Presiden RI yang personilnya direkrut dari berbagai kesatuan dan angkatan.
Pentingnya belajar dari sistem pengawalan VVIP di negara yang supremasi hukumnya sudah kokoh dan demokrasinya telah ideal. Sistem pengawal VVIP sebagai contohnya di Amerika Serikat, dalam hal ini diperankan oleh US Secret Service. Lembaga ini adalah lembaga mandiri dan bukannya bagian dari Kepolisian, CIA, FBI, dan bukan pula bagian dari Pentagon.
Sistem diatas dapat menguatkan sendi-sendi civil society dan mencegah militer untuk mengkooptasi kekuasaan sipil yang berlandaskan demokrasi. US Secret Service eksistensinya "ada tapi tiada" alias tidak tampak dalam publik eksposes, serta digerakkan oleh komando yang bersifat tersembunyi atau invisible hands. Komando ini memiliki sederet menu operasi dan sejumlah contingency plan. Sehingga apapun kondisinya, contingency plan tersebut dapat dioperasikan dengan paripurna. Termasuk bila terjadi keadaan yang sangat genting, sehingga harus melakukan evakuasi ke sebuah tempat yang aman termasuk ke luar negeri.
Pola rekruitmen US Secret Service diambil dari bekas pasukan komando dan orang-orang sipil pilihan dengan klasifikasi khusus. Selain itu mereka harus memiliki kompetensi dan jaringan dengan instansi militer dan kepolisian yang masih aktif. Serta memiliki akses untuk mempengaruhi lembaga hukum di Pengadilan, Kejaksaan, dokter serta melibatkan sederet pengacara yang mahir mencari dalil-dalil hukum.
Selain itu US Secret Service selalu memperbarui menu operasi yang disesuaikan dengan perkembangan politik dalam dan luar negeri. Implementasi dari menu operasi tersebut diartikulasikan dengan berbagai macam simulasi lapangan beserta kasus-kasus kondisi darurat. Termasuk apabila terjadi bobolnya ring I dan II oleh gerakan demonstrasi masa. Mereka sangat mumpuni dan ahli menggunakan gantungan hidupnya yang berupa senjata standard dinas rahasia, yakni pistol semi otomatis 9 mm, senapan Remington, sampai senapan mesin Uzzi. Selain itu US Secret Service sangat piawai dalam hal ngebut dengan berbagai jenis kendaraan.
Tren pengamanan VVIP global pada saat ini terfokus terhadap ancaman jaringan terorisme. Oleh sebab itu perlunya sinergi antara Paspampres dengan satuan anti teror Polri dan TNI. Ujung tombak anti teroris di negeri ini yakni Densus 88 juga belum mendapatkan dukungan teknis dan politis yang memadai untuk bersinergi dengan Paspampres. (TS)