Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mentalitas Fake Productivity Akibat Kekurangan Guru Produktif

5 Mei 2024   10:50 Diperbarui: 5 Mei 2024   11:01 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi produktivitas pekerja (sumber: KOMPAS.id ) 

Mentalitas Fake Productivity Akibat Kekurangan Guru Produktif 

Tingkat produktivitas manusia Indonesia belum menggembirakan. Indeks produktivitas SDM bangsa masih di nomor Sepatu. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, antara lain besaran upah yang diterima pekerja masih rendah sehingga kurang memotivasi untuk menggenjot produktivitas. Faktor yang lain adalah mentalitas Fake Productivity atau produktivitas yang semu atau palsu. 

Sering kita saksikan, sosok yang seolah-olah sibuk sendiri, padahal kesibukan tersebut tidak menyentuh produktivitas dan nilai tambah terhadap diri sendiri dan perusahaan.

Anak-anak muda jaman sekarang banyak yang tidak jelas, sibuk atau produktif, seolah olah sibuknya bukan main, asyik dengan gawai, kepalanya manggut-manggut atau gela-gelo sendiri, kesana kemari pakai kendaraan, mondar-mandir lupa waktu. Namun semua hal di atas ternyata aktivitas "pepesan kosong" secara ekonomis dan intelektual tidak menghasilkan apa-apa.

Mentalitas Fake Productivity banyak dialami oleh warga bangsa ini, terutama generasi milenial dan gen Z. Salah satu penyebab tumbuhnya mentalitas seperti itu salah satu penyebabnya adalah kegagalan sekolah dalam membentuk etos kerja dan mental produktivitas diri. Karena sekolah kekurangan Guru Produktif yang mampu mengajarkan pengetahuan praktis terkait proses kreatif dan aspek membuat produk bernilai tambah yang sesuai dengan perkembangan zaman. 

Guru produktif yang sesuai dengan tuntutan zaman semakin langka. Di kota dan desa semakin langka guru yang mampu membuka cakrawala kreativitas dan mampu mengajarkan proses kreatif kepada muridnya yang relevan dengan era disrupsi.

Produktivitas dan aktivitas proses kreatif itu bagaikan sepasang kaki kuda, saling memacu menuju target yang diharapkan. Jangan sampai diantara sepasang itu ada yang pincang, karena tidak akan mampu berpacu untuk maju. 

Tak bisa dimungkiri negeri ini kekurangan Guru Produktif, baik di pusat maupun di daerah. Sebagai salah satu gambaran, berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, pada Agustus 2023, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan yang paling tinggi dibandingkan lulusan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 8,24 persen. 

Hal serupa juga terjadi di provinsi lainnya. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai kekurangan guru produktif yang kompeten di SMK adalah faktor utama penyebab SMK menjadi penyumbang pengangguran terbesar saat ini, meskipun itu bukan satu-satunya penyebab.

Mewujudkan profesionalitas guru vokasional atau kejuruan merupakan keniscayaan bangsa yang tengah memasuki era industri 4.0. Kebutuhan terhadap guru produktif untuk meneguhkan industrialisasi nasional perlu terobosan. Guru produktif tidak mesti dilahirkan dari bangku universitas kependidikan.

Mereka bisa saja berlatar belakang ahli teknik, inovator bahkan juga para startup atau pengusaha rintisan.Mayoritas sekolah kejuruan di Tanah Air, postur tenaga pengajarnya masih didominasi oleh kategori guru normatif-adaptif atau guru umum yang mengajar mata pelajaran seperti Agama, PPKn, Matematika, bahasa Indonesia dan lain-lain. Sedangkan kategori guru produktif yang mengajar anak-anak sesuai dengan bidang keahlian yang dipilih prosentasenya masih kecil dibawah 35 persen.

Untuk mencetak guru produktif yang sesuai dengan perkembangan zaman tidak mudah. Perlu terobosan dan program yang masif di seluruh daerah. Desentralisasi pendidikan dan mengalirnya sebagian besar anggaran pendidikan nasional ke daerah menuntut kepala daerah untuk mencetak guru produktif dalam jumlah yang cukup untuk menggerakan dan mengembangkan potensi daerah masing-masing. Pemerintah daerah jangan kepalang tanggung dalam mencetak guru produktif.

Terobosan mesti segera dilakukan. Antara lain dengan memberikan beasiswa kepada masyarakat yang berprestasi untuk belajar ke luar negeri sesuai dengan kategori dan bidang guru produktif yang diperlukan. Apalagi berbagai bidang teknologi dan produksi belum bisa diajarkan di perguruan tinggi dalam negeri. Atau masih terbatas sekali kapasitasnya, dilain pihak kebutuhan industri yang sangat besar sudah di depan mata.

Keniscayaan, Pemda perlu membuat skema beasiswa ikatan dinas belajar di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan guru produktif setiap tahunya. Universitas di negara maju telah melengkapi program studi hingga mencakup bidang yang sesuai dengan perkembangan industri kreatif dan proses produksi yang sesuai dengan revolusi Industri 4.0. 

Sementara kondisi universitas di Tanah Air prodinya masih stagnan. Itulah mengapa Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke beberapa perguruan tinggi selalu meminta dibuka prodi baru yang lebih relevan dengan semangat zaman.

Saatnya bagi pemerintah daerah bersinergi dengan para guru produktif untuk merancang sebaik-baiknya link and match antara lembaga pendidikan kejuruan dan sektor industri. 

Dengan langkah itu daerah bisa mengembangkan tenaga kerja serta portofolio kompetensi dan profesi yang cocok bagi warganya. Khususnya portofolio yang berbasis sumber daya lokal.

Pekerja Indonesia sering dipojokkan dengan tudingan bahwa upah yang diterimanya tidak sepadan dengan produktivitas yang masih rendah.Tudingan diatas kurang objektif lantaran tidak menunjukkan secara spesifik jenis atau sektor apa yang diukur. Pasalnya untuk sektor tertentu, seperti sektor pertambangan dan otomotif, produktivitas buruh cukup tinggi, bisa melampaui negara maju sekalipun.

Merujuk hasil survei Japan External Trade Organization ( JETRO ) yang dirilis pada 2021, terhadap 13.458 perusahaan di ASEAN ( termasuk 614 perusahaan di Indonesia ), produktivitas entitas industri atau pabrik di Indonesia berada di posisi 7 di bawah Philippines, Singapore, Thailand, Vietnam, Laos dan Malaysia. Data dari Asian Productivity Organization ( APO ) tahun 2020, di ASEAN Indonesia berada di urutan ke 5 di bawah Singapore, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand.

Sayang sekali, pada saat saat produktivitas mesti ditingkatkan, namun dalam pasal UU Cipta Kerja,kini Perppu Cipta Kerja justru menghapus eksistensi Upah Sektoral. Padahal sistem upah tersebut bisa mendorong persaingan sehat antar pekerja yang pada waktunya mampu mendongkrak indeks produktivitas. Mestinya upah sektoral jangan dihilangkan karena bisa memicu produktivitas yang tinggi dan para pekerja termotivasi untuk terus meningkatkan kompetensinya. Produktivitas itu mesti diukur secara detail per sektor atau jenis pekerjaan. Setelah itu juga diukur per daerah.

Terdapat beberapa ukuran dan metode untuk menunjukkan perhitungan produktivitas. Salah satunya Metode Marvin E. Mundel yang menggunakan pendekatan metode perhitungan angka indeks produktivitas. 

Dari sisi produktivitas jika diukur dengan GDP per worker employed, Indonesia masih relatif tertinggal dari negara tetangga. Itu karena mayoritas tenaga kerja Indonesia saat ini, hampir 60 persen pekerja di Indonesia masih tamatan pendidikan rendah yaitu, SMP ke bawah. Mereka memiliki keterbatasan skill, sehingga akan sulit untuk meningkatkan produktivitas dan bersaing.

Pihak Kementerian Tenaga Kerja pernah menyatakan bahwa persentase produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di angka 74,4 persen. Tingkat produktivitas ini berada di bawah rata-rata Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yakni 78,2 persen. Negara-negara tetangga seperti Filipina (86,3 persen), Singapura (82,7 persen), Thailand (80,1 persen), dan Vietnam (80 persen). (TS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun