Ketahanan Air Indonesia Masih Lemah, Infrastruktur Pengairan Masih KerdilÂ
Peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret patut direnungkan oleh segenap bangsa. Ketahanan sumber daya air sangat menentukan ketahanan pangan suatu bangsa. Â tetes air memiliki arti penting ketika populasi dunia meningkat pesat dan kekurangan air menjadi masalah yang sangat serius. Pembangunan infrastruktur pengairan oleh bangsa-bangsa di dunia sungguh luar biasa. Jika kita melihat visi pengairan bangsa Tiongkok yang luar biasa, terlihat visi pengairan Indonesia ternyata masih kerdil. Kita masih terbelakang dalam pembangunan infrastruktur pengairan. Bahkan sistem irigasi saat era kolonial Belanda dulu beberapa hal tentang pengairan ternyata lebih baik.
Indonesia tergolong masih lemah dalam pembangun infrastruktur pengairan. Padahal. potensi sumber daya air kita tergolong lima besar dunia. Ironisnya sebagai bangsa mengaku sebagai negara agraris justru kurang visioner dalam membangun infrastruktur pengairan. Baik untuk sanitasi rumah tangga, peternakan, perikanan, industri maupun untuk pertanian. Kini perkembangan dunia semakin menuju kepada sistem irigasi pertanian yang menyalurkan air secara langsung ke akar tumbuhan dengan jumlah yang pas.
Hari Air Sedunia tahun ini harus dijadikan momentum agar masyarakat semakin menyadari betapa berharganya sumber daya air dan bagaimana penggunaan dan pengelolaan air secara efisien. Teknologi irigasi yang didukung oleh bendungan merupakan solusi untuk menghadapi kekeringan dan cara yang tepat untuk meningkatkan produksi pangan nasional.
Pembangunan bendungan merupakan upayanya untuk memaksimalkan tabungan air hujan. Selain bendungan, embung penampung air juga harus banyak dibangun dengan peruntukan utama untuk mengairi lahan pertanian. Pembangunan bendungan tidak hanya ditujukan untuk keperluan penampungan air saja namun bersifat multifungsi. Yakni untuk pembangkit listrik, pengendalian banjir, perikanan, dan rekreasi.
Betapa pentingnya pendayagunaan tetes-tetes air untuk menumbuhkan tanaman. Patut kita renungkan arti setetes air yang luar biasa kegunaannya. Kisah itu berawal di tahun 1930-an, di tengah gurun Negev. Seorang insinyur pengairan bernama Simcha Blass menemukan fenomena penting. Ia memperhatikan bahwa satu pohon di tanahnya tampaknya bertumbuh lebih cepat daripada tanaman di sekitarnya. Ternyata ada pipa air yang bocor dekat pohon tersebut sehingga mengairi tanah di sekitarnya, setetes demi setetes dalam waktu yang teratur. Lalu Blass mulai berinovasi dan akhirnya berhasil menciptakan sistem irigasi tetesan yang terkenal hingga kini. Sistem ini dikembangkan di gurun pasir Tiongkok sehingga negeri ini mampu memproduksi pangan untuk rakyat yang jumlahnya terbesar di dunia. Bahkan kelebihan produknya bisa diekspor.
Makna Besar Hari Air
Hari Air Sedunia atau World Water Day diperingati setiap tanggal 22 Maret. Hari Air Sedunia dicetuskan pada saat United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Bumi oleh PBB di Rio de Janeiro pada 22 Desember 1992. Mulai 1993 World Water Day diperingati untuk pertama kalinya dan terus bergulir setiap tahun. Penyediaan dan pengeloaan air telah menjadi masalah serius bagi dunia. Kondisi seluruh bangsa telah mengalami penurunan kemampuan penyediaan air, terutama air untuk irigasi pertanian. Salah satu faktor penyebab adalah menurunnya muka air tanah dan naiknya temperatur permukaan bumi. Permukaan air tanah di negara produsen pangan besar seperti Tiongkok, India, Brasil, Amerika Serikat dan Indonesia menurun setiap tahun. Tiongkok bagian utara setiap tahun terjadi penurunan air tanah yang cukup serius. Kondisi diatas menyebabkan penurunan kemampuan irigasi untuk pertanian.
Indonesia memiliki potensi sumber daya air nomor lima terbesar di dunia. Menjadi keharusan bagi pemerintahan mendatang untuk menambah dan memperbesar daya dukung bendungan untuk penyediaan air irigasi, sanitasi, pembangkit listrik dan industri. Sekedar catatan daya dukung bendungan terhadap penyediaan air irigasi hingga 2022 baru mencapai sekitar 18 persen dari total kebutuhan untuk lahan beririgasi. Oleh sebab itu pemerintah mesti memberikan perhatian lebih terhadap pembangunan infrastruktur bendungan. Pembangunan bendungan dari skala besar hingga menengah dan kecil menjadi prioritas.
Masalah koordinasi pengelolaan air selama ini terjadi tumpang tindih dan respon yang lambat terkait masalah distribusi dan kebutuhan air untuk pertanian, industri dan rumah tangga. Hingga kini pengelolaan air belum efektif. Padahal laju peningkatan kebutuhan air mencapai 12 persen per tahun.
Meskipun 75 persen Planet Bumi tertutup oleh air, banyak negara di seluruh dunia mengalami kekurangan pasokan air tawar. Banyak air di laut, tetapi mengubah air laut yang berkandungan garam menjadi air tawar atau desalinasi selama ini sangat mahal. Karena sumber air tawar semakin berkurang, warga dunia dipaksa berpikir keras untuk berinovasi guna menemukan cara desalinasi yang lebih murah.
Kini teknologi desalinasi sudah berhasil menghemat biaya karena prosesnya lebih sederhana, dan lebih sedikit bahan kimia digunakan dalam menjalankan prosesnya. Menurut Asosiasi Desalinasi Internasional, ada lebih dari 19.000 pabrik atau instalasi desalinasi di seluruh dunia yang mampu memproses lebih dari 92 juta ton air setiap hari.
Para ahli ekologi tanaman menyatakan bahwa setiap peningkatan temperatur satu derajat celcius bisa menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan seperti gandum, padi, dan jagung sebesar 10 persen. Sekedar catatan, selama tiga dasawarsa terakhir temperatur rata rata permukaan bumi meningkat sebesar 0,7 derajat celcius.
Laju peningkatan kebutuhan air irigasi mencapai 12 persen per tahun. Rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain disebabkan oleh kecilnya anggaran untuk membangun infrastruktur irigasi dan derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak dua dasawarsa terakhir, khususnya di pulau Jawa.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah pembangunan infrastruktur irigasi skala besar dalam waktu singkat terjadi salah urus. Contohnya setelah sistem irigasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane direhabilitasi dengan dana pinjamanan dari World Bank, tidak lama kemudian sebagian sawah irigasinya dikonversi menjadi kawasan industri, perluasan kota, dan lapangan terbang. Hal serupa juga telah dialami oleh DAS yang lainnya.
Irigasi yang merupakan usaha penyediaan dan pengaturan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak harus dikelola dengan sistem yang baik. Sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia.
Pembangunan Infrastruktur Pengairan
Bendungan atau waduk merupakan infrastruktur pengairan yang sangat penting. Jumlah bendungan atau waduk di Indonesia terlalu sedikit bila dibandingkan dengan negara lain. Itupun dengan catatan sebagian sudah berumur tua warisan kolonial Belanda. Jumlah bendungan di Indonesia dengan berbagai ukuran hingga 2023 hanya berjumlah 279 buah dengan kondisi bendungan yang sarat masalah, seperti pendangkalan, pencemaran dan masalah kerusakan sungai. Dari jumlah bendungan diatas, 42 bendungan berkinerja rendah atau buruk, 30 buah berkinerja sedang, dan yang masih berkinerja baik hanya 50 buah. Sisanya belum diaudit kinerjanya, namun bisa dipastikan sarat dengan masalah. Sementara Tiongkok memiliki jumlah bendungan 20.000 buah, Amerika Serikat 6.000 buah, Jepang 2.650 buah, dan India 1.500 buah.
Terkait kebutuhan air bagi warga dunia, kini seluruh bangsa menaruh perhatian besar terhadap sistem irigasi pertanian yang cerdas. Seperti sistem irigasi tetesan hasil inovasi Israel yang sangat terkenal. Tidak mengherankan jika negara besar seperti Tiongkok dan India yang memiliki masalah kekeringan, tanah tandus atau gurun untuk budidaya tanaman pangan. Karena begitu strategisnya teknologi irigasi tetes yang bersifat cerdas dan dilengkapi dengan aplikasi spasial atau sistem informasi geografis, sampai-sampai BUMN Tiongkok membeli perusahaan Israel yang memproduksi sistem dan peralatan irigasi diatas, yakni Auto Agronome Israel. Reputasi perusahaan yang diakuisisi oleh BUMN Tiongkok tersebut sangat tinggi. Terbukti selama ini komoditas buah-buahan, sayuran, gandum dan aneka bunga potong tumbuh subur di padang pasir.
Berawal di tahun 1930-an, di tengah gurun Negev. Seorang insinyur pengairan bernama Simcha Blass menemukan fenomena penting. Ia memperhatikan bahwa satu pohon di tanahnya tampaknya bertumbuh lebih cepat daripada tanaman di sekitarnya. Ternyata ada pipa air yang bocor dekat pohon tersebut sehingga mengairi tanah di sekitarnya, setetes demi setetes dalam waktu yang teratur. Lalu Blass mulai berinovasi dan akhirnya berhasil menciptakan sistem irigasi tetesan yang terkenal hingga kini.
Saat ini sistem tersebut digunakan ratusan negara, termasuk di negara-negara seperti Peru, Senegal, Mesir, Rusia, Meksiko dan Amerika Serikat. Alasan kesuksesannya adalah karena dibandingkan dengan sistem penyiraman biasa, sistem irigasi tetes menggunakan hanya setengah dari jumlah air yang digunakan alat penyiraman konvensional.
Pembangunan bendungan merupakan upayanya untuk memaksimalkan tabungan air hujan. Selain bendungan, embung penampung air juga harus banyak dibangun dengan peruntukan utama untuk mengairi lahan pertanian. Pembangunan bendungan tidak hanya ditujukan untuk keperluan penampungan air saja namun bersifat multifungsi, misalnya untuk pembangkit listrik, pengendalian banjir, perikanan, rekreasi dan lain-lain.
Indonesia perlu mencontoh budaya dan visi pembangunan infrastruktur pengairan dari Tiongkok. Karena bangsa itu sangat visioner dan progresif dalam membangun bendungan. Visi pemimpin Tiongkok dalam membangun infrastruktur pengairan sangat luar biasa sehingga bisa mengalahkan Amerika Serikat. Visi untuk membangun bendungan yang membentang di Sungai Yangtze telah ada sejak delapan puluh tahun yang lalu pada masa kepemimpinan Sun Yat Sen. Dia adalah pemimpin Tiongkok yang melihat sungai terbesar di negeri itu sebagai otot bangsa. Jika otot itu diaktifkan akan mampu mengangkat bangsa itu dari keterbelakangan. Sebagai otot bangsa, maka sungai Yangtze dan sungai Kuning bisa menghasilkan tenaga listrik sebesar seratus juta tenaga kuda.
Jika dianalogikan satu tenaga kuda setara dengan delapan orang kuat, seratus juta tenaga kuda akan setara dengan kekuatan delapan ratus juta orang. Itupun, tenaga manusia hanya dapat digunakan delapan jam sehari, sedangkan tenaga kuda mekanis dapat digunakan selama dua puluh empat jam nonstop. Jika bisa memanfaatkan air sungai Yangtze dan sungai Kuning untuk menghasilkan seratus juta tenaga kuda energi listrik, maka setara dengan mempekerjakan empat ratus juta orang. Visi besar pemimpin Tiongkok itu kini telah terwujud dengan selesainya pembangunan fisik bendungan yang bernama Tiga Jurang. Bila dibandingkan dengan bendungan Hoover yang merupakan bendungan terbesar di Amerika Serikat, maka Tiga Jurang atau Tiga Ngarai sebesar enam kali lebih panjang dan delapan kali lebih kuat daripada Hoover. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H