Biasanya Data IG yang digunakan berupa Peta Morfometri Nasional dengan skala 1:250.000 dan data kontur peta Rupabumi skala 1:25.000 di sekitar lokasi bencana alam tanah longsor. Dari data IG tersebut akan didapatkan informasi lokasi bencana alam tanah longsor beserta data kemiringan lereng. Kemudian juga bisa digambarkan bentuk atau bidang mahkota kelongsoran pada kelas kemiringan lereng tertentu serta daerah terdampak longsor yang berada pada lahan kemiringan landai.
Setelah memiliki data yang cukup sebagai bekal untuk melakukan akusisi data daerah terdampak bencana alam tanah longsor, tim SRC-BIG kemudian menentukan jalur terbang dan titik awal terbang untuk wahana udara nirawak atau pesawat drone yang digunakan untuk proses akuisisi data. Setelah posisi mahkota berhasil diidentifikasi oleh drone, tim SRC-BIG bersama dengan personil penanggulangan bencana lainnya melakukan perjalanan darat dengan menggunakan trek buatan menuju titik terdekat dengan lokasi mahkota longsor berada.
Sesampainya di lokasi yang dituju, tim SRC-BIG beserta personil penanggulangan bencana yang lain melakukan penyisiran lokasi disekitaran area mahkota longsor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan kegiatan akuisisi data yang akan dilakukan oleh tim SRC-BIG dari kemungkinan adanya potensi longsor susulan akibat dari rekahan tanah yang dimungkinkan ada disekitaran mahkota.
Setelah rangkaian akuisisi data dilakukan, data-data hasil akuisisi tersebut diproses secara langsung untuk kemudian dibuatkan mozaik dan diolah hingga menjadi informasi geospasial berupa orthofoto yang lengkap dengan informasi Digital Surface Model (DSM). Hasil inilah yang kemudian diserahkan kepada tim penanggulangan bencana untuk menjadi bahan koordinasi dalam melakukan kegiatan mitigasi dan rehabilitasi pasca bencana di lokasi terdampak bencananya.
Selama ini birokrasi pemerintah daerah belum bisa bekerja secara teliti dan analitis serta mendalami hingga menemukan hal-hal penting dari informasi data spasial yang berpotensi menyebabkan bencana seperti tanah longsor. Masih banyak birokrat yang malas melakukan inspeksi dan pengamatan langsung di lapangan. Hal itu menyebabkan lemahnya langkah mitigasi bencana longsor.
Untuk mengatasi lemahnya mitigasi tersebut dibutuhkan personel yang bisa terjun langsung mengamati secara teliti terhadap lereng atau perbukitan yang rawan longsor. Perlu pengetahuan tentang ilmu geologi secara praktis seperti masalah kestabilan lereng dengan menggunakan parameter-parameter seperti kekuatan tanah dan batuan, sudut lereng, iklim, dan vegetasi.
Selain itu juga perlu ditambahkan pengetahuan kepada para personel agar bisa melakukan monitoring secara cermat melalui pemasangan alat-alat pemantau tinggi permukaan air tanah atau piezometer, kecepatan gerakan tanah atau extensometer dan arah gerakan tanah atau inclinometer.
Pengetahuan dalam bidang pemantau kestabilan lereng banyak manfaatnya seperti misalnya untuk konservasi alam dan bidang kehutanan. Juga Pemahaman tentang kestabilan lereng, pemahaman proses-proses yang mengakibatkan runtuhnya dinding, penganalisaan sudut lereng yang aman, penirisan air pada lereng pit, pemantauan kondisi lereng secara visual maupun dengan peralatan mekanis.
Ketidakmampuan pihak birokrasi daerah untuk menemukan faktor-faktor penting dari data spasial mesti segera diatasi. Dengan berbagai varian data spasial dasar seperti land cover atau peta tutupan lahan, Daerah Aliran Sungai (DAS), kejadian banjir, kondisi curah hujan, peta rupa bumi, sistem lahan, hal itu sangat berguna bagi upaya mitigasi bencana yang bisa meminimalkan resiko bencana geologi. Begitu juga dengan data yang terkait dengan peta rawan banjir dan tanah longsor keberadaannya belum terkonsolidasi dengan baik.
Selama ini eksistensi data spasial yang sudah dibangun oleh pemerintah pusat dan daerah dengan biaya yang cukup besar ternyata belum tuntas dan sulit diolah menjadi solusi praktis untuk usaha mitigasi bencana. Padahal pemerintah pusat dan daerah sudah banyak mengeluarkan dana dan tenaga untuk membangun Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD). Namun, hasilnya masih belum bisa dipertanggungjawabkan secara optimal bahkan tidak sedikit yang sia-sia.