Secara teknis tabung gas elpiji sangat rentan terhadap modus pengoplosan dari gas melon menjadi gas non subsidi. Akibatnya bisa terjadi kelangkaan gas melon yang dikonsumsi oleh si miskin.Selama ini jika terjadi kelangkaan PT Pertamina terus menambah pasokan dalam jumlah besar. Berapapun tambahan pasokan oleh Pertamina, niscaya akan terus dicaplok oleh pengoplos dan kalangan industri yang berkomplot dengan agen elpiji.
Selama ini para pengusaha menengah dan besar, rumah tangga kaya dan industri semakin rakus mencaplok gas melon yang sejatinya adalah bentuk subsidi untuk rakyat miskin.Agen dan pangkalan elpiji tiga kilogram yang selama ini menjadi biang kerok bocornya distribusi harus ditindak tegas.
Sebaiknya bentuk subsidi energi kepada rakyat miskin diubah dalam bentuk uang tunai. Lalu harga dan distribusi elpiji 3 kg disesuaikan dengan harga pasar dan distribusinya diperluas seperti halnya tabung ukuran 5 kg dan 12 kg. Dengan demikian anggaran subsidi elpiji 3 kg yang kian membengkak bisa dialihkan untuk program sosial lainnya. Subsidi tersebut selama ini hanya memperkaya pihak agen dan pangkalan elpiji.
PT Pertamina dan pihak Pemda perlu berkoordinasi terkait penyelewengan elpiji 3 Kg. Selama ini Pertamina memenuhi kebutuhan masyarakat dengan penambahan pasokan ke agen/pangkalan yang jumlahnya hingga 60 persen dari penyaluran/kebutuhan normal. Namun tambahan pasokan yang sangat besar itu langsung dicaplok oleh pihak yang tidak berhak.
Oleh sebab itu Pertamina sebaiknya membatasi pasokan gas melon sesuai dengan data kemiskinan di suatu daerah. Selama ini pemerintah daerah tidak mampu melakukan pengawasan distribusi elpiji 3 kg. Program menggalakkan sosialisasi agar warga masyarakat yang tergolong mampu beralih menggunakan elpiji non subsidi seperti Bright Gas 5,5 kg juga belum berhasil.
Mestinya elpiji 3 kg diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu dan usaha mikro sebagaimana pesan yang tertera di tabung, yakni hanya untuk masyarakat miskin. Sementara bagi mereka yang mampu ( kelas menengah keatas ) diwajibkan menggunakan LPG Non Subsidi, seperti Bright Gas 5,5 kg dan 12 kg.
Tata kelola elpiji perlu segera dibenahi agar subsidi kian membesar dan tidak salah sasaran. Kini elpiji sudah menjadi hajat hidup orang banyak dan kebutuhan utama industri. Perlu regulasi untuk menentukan struktur harga yang berkeadilan serta jaminan kelancaran distribusi.
Utilisasi LPG sangat luas, mulai dari bahan bakar rumah tangga, industri (pupuk, petrokimia, semen, pabrik baja), hingga transportasi. LPG juga digunakan sebagai alat penekan pada industri yang menghasilkan produk seperti deodoran, minyak wangi, alat kosmetik, dan sebagainya. Selain itu, pada industri keramik, LPG digunakan sebagai alat bantu penyemprot cat keramik serta bahan bakar pemanas.Di bidang industri, produk LPG digunakan sebagai pengganti freon, aerosol, refrigerant, cooling system, juga sebagai bahan baku produk khusus.
Struktur produksi elpiji Indonesia bila dikaitkan dengan total kebutuhan elpiji di Indonesia per tahun sangat tidak rasional. Sungguh ironis kalau Indonesia selama ini harus mengimpor LPG dengan harga yang kelewat tinggi per metrik ton.Untuk melepaskan diri dari masalah laten LPG mestinya pemerintah secara progresif membangun infrastruktur jaringan pipa distribusi gas alam untuk keperluan rumah tangga. Langkah progresif itu merupakan solusi mendasar. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H