Kelas Menengah Mencaplok Gas Melon, Salah Siapa ?
Membahas nasib kelas menengah di negeri ini penuh dengan kontradiksi, kadang mengenaskan kadang menyebalkan. Tak bisa dipungkiri, masih banyak kelas menengah yang bermental kelas bawah. Seolah tidak punya rasa malu, diantara mereka banyak yang "mencaplok" subsidi untuk rakyat miskin.Seperti subsidi energi, elpiji gas melon contohnya. Hingga kini kelas menengah dan atas semakin banyak yang memakai gas melon. Jika subsidi yang salah sasaran seperti ini dicegah, mestinya pembengkakan anggaran subsidi energi bisa dialihkan untuk program makan siang gratis. Dan untuk program-program populis pemerintahan baru hasil pemilu 2024.
Kalau kondisinya sudah runyam seperti ini, mestinya definisi subsidi diubah saja menjadi subsidi kelas menengah ke bawah, jadi lebih jelas.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan anggaran subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun pada tahun 2024. Jumlah itu menjadi alokasi tertinggi dalam sejarah belanja subsidi energi yang direncanakan pemerintah.
Sudah banyak pakar dan akademisi yang menyatakan bahwa kenaikan subsidi ini disebabkan kurangnya pembatasan dan tidak mampunya pemerintah dalam penggunaan subsidi untuk BBM dan LPG (elpiji) 3 Kg. Subsidi by product banyak salah sasaran, sehingga besaran subsidi terus membengkak.
Keniscayaan, pemerintah harus segera bertindak tegas terkait dengan tata kelola gas elpiji (LPG) non subsidi maupun yang bersubsidi atau tabung melon. Selain itu, pemerintah kurang konsisten memberantas modus-modus penyelewengan LPG di lapangan yang kian marak.
Elpiji 3 kg banyak dioplos ke tabung non subsidi. Selain itu banyak pemerintah daerah yang memainkan harga tabung melon dengan cara menaikkan harga seenaknya sendiri, tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi.
Modus penerbitan surat edaran oleh beberapa pemerintah daerah terkait harga eceran tertinggi (HET) gas LPG 3 kg bersubsidi harus dibatalkan. Sebaiknya kewenangan penetapan HET LPG 3 kg bersubsidi dikembalikan ke pemerintah pusat, karena sering terjadi selisih harga antar daerah. Hal tersebut mendorong terjadinya permainan harga oleh spekulan.
Terkait dengan elpiji non subsidi lewat tabung 5,5 kg dan 12 kg juga mengalami persoalan harga yang bervariasi. Sebagai catatan, PT Pertamina beberapa waktu lalu telah menaikkan harga gas elpiji atau LPG non subsidi jenis Bright Gas ukuran 5,5 kg dan 12 kg dengan besaran Rp 2.000 per kilogram. Publik merasakan distribusi LPG non subsidi perlu diperluas penjualannya. Perlu memperbanyak toko dan kios yang bisa menjual gas tersebut. Sehingga tidak terjadi permainan di pangkalan elpiji. Fungsi aplikasi My Pertamina perlu diperluas hingga mencapai banyak wilayah yang bisa dilayani dengan pengantaran langsung dari rumah ke rumah untuk produk gas elpiji non subsidi.
Disparitas harga antara elpiji subsidi dan non subsidi menimbulkan ekses negatif terhadap masyarakat dan bisa merongrong keuangan negara. Karena dengan selisih harga yang tinggi, maka kasus pengoplosan dan penyerobotan gas melon semakin marak.
Apalagi hingga kini tidak ada kuota nasional dan daerah terkait dengan konsumsi riil gas melon. Selama ini terjadi salah sasaran terhadap subsidi elpiji 3 kg. Karena masyarakat yang mampu dan kalangan industri tidak punya rasa malu telah mencaplok gas melon.
Secara teknis tabung gas elpiji sangat rentan terhadap modus pengoplosan dari gas melon menjadi gas non subsidi. Akibatnya bisa terjadi kelangkaan gas melon yang dikonsumsi oleh si miskin.Selama ini jika terjadi kelangkaan PT Pertamina terus menambah pasokan dalam jumlah besar. Berapapun tambahan pasokan oleh Pertamina, niscaya akan terus dicaplok oleh pengoplos dan kalangan industri yang berkomplot dengan agen elpiji.
Selama ini para pengusaha menengah dan besar, rumah tangga kaya dan industri semakin rakus mencaplok gas melon yang sejatinya adalah bentuk subsidi untuk rakyat miskin.Agen dan pangkalan elpiji tiga kilogram yang selama ini menjadi biang kerok bocornya distribusi harus ditindak tegas.
Sebaiknya bentuk subsidi energi kepada rakyat miskin diubah dalam bentuk uang tunai. Lalu harga dan distribusi elpiji 3 kg disesuaikan dengan harga pasar dan distribusinya diperluas seperti halnya tabung ukuran 5 kg dan 12 kg. Dengan demikian anggaran subsidi elpiji 3 kg yang kian membengkak bisa dialihkan untuk program sosial lainnya. Subsidi tersebut selama ini hanya memperkaya pihak agen dan pangkalan elpiji.
PT Pertamina dan pihak Pemda perlu berkoordinasi terkait penyelewengan elpiji 3 Kg. Selama ini Pertamina memenuhi kebutuhan masyarakat dengan penambahan pasokan ke agen/pangkalan yang jumlahnya hingga 60 persen dari penyaluran/kebutuhan normal. Namun tambahan pasokan yang sangat besar itu langsung dicaplok oleh pihak yang tidak berhak.
Oleh sebab itu Pertamina sebaiknya membatasi pasokan gas melon sesuai dengan data kemiskinan di suatu daerah. Selama ini pemerintah daerah tidak mampu melakukan pengawasan distribusi elpiji 3 kg. Program menggalakkan sosialisasi agar warga masyarakat yang tergolong mampu beralih menggunakan elpiji non subsidi seperti Bright Gas 5,5 kg juga belum berhasil.
Mestinya elpiji 3 kg diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu dan usaha mikro sebagaimana pesan yang tertera di tabung, yakni hanya untuk masyarakat miskin. Sementara bagi mereka yang mampu ( kelas menengah keatas ) diwajibkan menggunakan LPG Non Subsidi, seperti Bright Gas 5,5 kg dan 12 kg.
Tata kelola elpiji perlu segera dibenahi agar subsidi kian membesar dan tidak salah sasaran. Kini elpiji sudah menjadi hajat hidup orang banyak dan kebutuhan utama industri. Perlu regulasi untuk menentukan struktur harga yang berkeadilan serta jaminan kelancaran distribusi.
Utilisasi LPG sangat luas, mulai dari bahan bakar rumah tangga, industri (pupuk, petrokimia, semen, pabrik baja), hingga transportasi. LPG juga digunakan sebagai alat penekan pada industri yang menghasilkan produk seperti deodoran, minyak wangi, alat kosmetik, dan sebagainya. Selain itu, pada industri keramik, LPG digunakan sebagai alat bantu penyemprot cat keramik serta bahan bakar pemanas.Di bidang industri, produk LPG digunakan sebagai pengganti freon, aerosol, refrigerant, cooling system, juga sebagai bahan baku produk khusus.
Struktur produksi elpiji Indonesia bila dikaitkan dengan total kebutuhan elpiji di Indonesia per tahun sangat tidak rasional. Sungguh ironis kalau Indonesia selama ini harus mengimpor LPG dengan harga yang kelewat tinggi per metrik ton.Untuk melepaskan diri dari masalah laten LPG mestinya pemerintah secara progresif membangun infrastruktur jaringan pipa distribusi gas alam untuk keperluan rumah tangga. Langkah progresif itu merupakan solusi mendasar. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H