Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Cara Mengembangkan Talenta, Belajar dari Kasus Ahmed Mohammed

29 Februari 2024   07:04 Diperbarui: 1 Maret 2024   18:02 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara Mengembangkan Talenta, Belajar dari Kasus Ahmed 

Masa depan bangsa ditentukan oleh pengembangan talenta atau bakat warga negaranya. Pengembangan bakat seseorang hingga menjadi unggul dan luar biasa saat ini menjadi perhatian dunia.

Bakat individu warga negara akan memberi warna bakat talenta bangsa. Dunia mengenal bakat bangsa India yang luar biasa dalam hal penguasaan matematika.

Bagaimana dengan bakat bangsa Indonesia?

Indonesia menghadapi persaingan talenta atau bakat yang sangat sengit. Negara mesti menyiapkan infrastruktur dan mewujudkan ekosistem terkait dengan manajemen talenta.

Bakat anak bangsa perlu ditumbuhkan di rumah maupun sekolah. Apakah bakat-bakat anak bangsa bisa tumbuh subur dan bisa memenangkan persaingan global.

Sudah ada Grand Design Manajemen Talenta Nasional Tahun 2022-2045 yang terdiri dari tiga bidang yaitu Riset dan Inovasi, Seni Budaya dan Olahraga.

Namun, grand desain masih belum membumi karena belum adanya massive action atau pola masal yang didukung dengan platform yang ideal. Akhirnya masih banyak bakat-bakat anak bangsa yang terkubur dalam lumpur.

Sudah banyak teori dan strategi manajemen talenta berupa akuisisi, pengembangan, retensi, dan penempatan dilakukan pada setiap tahapan alur pembinaan talenta, mulai dari tahapan Pembibitan Talenta, Pengembangan Talenta Potensial, dan Penguatan Talenta Unggul.

Namun efektivitas Gugus Tugas Manajemen Talenta Nasional (MTN) belum terwujud. Karena belum ada platform hingga ke desa yang mestinya dipersiapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek).

Paling tidak platform yang berupa pengembangan berbagai bentuk kompetisi sebagai bagian dari manajemen talenta, penguatan karakter, inspirasi prestasi dan keunggulan SDM muda.

Berdasarkan Global Innovation Index pada 2021, Indonesia meraih peringkat 87 dari total 132 negara. Critical mass talenta riset dan inovasi Indonesia masih terbatas dan belum banyak menghasilkan output riset yang signifikan.

Saat ini hanya 58 Warga Negara Indonesia (WNI) terdaftar dalam Top 2 Percent World Ranking Scientists, sementara Malaysia berhasil menorehkan hingga 388 nama peneliti.

Berdasarkan data Puspresnas, dari 52 juta milenial yang eligible untuk mengikuti berbagai ajang talenta di satuan pendidikan pada tahun 2019/2020 terdapat 1,9 juta peserta ajang talenta/prestasi di tingkat kabupaten/kota.

Seiring dengan meningkatnya tahapan kompetisi, jumlah talenta yang lolos hingga prestasi puncak tingkat dunia hanya sebanyak 244 orang (0,01 persen).

Statistik tersebut mengindikasikan bahwa MTN perlu menjadi instrumen untuk meningkatkan kesempatan bibit talenta dalam berkompetisi, yang ditandai dengan jumlah event yang diselenggarakan dan jumlah peserta. Selain itu juga meningkatkan efisiensi proses pembinaan talenta.

Desain besar Manajemen Talenta Nasional membutuhkan landasan budaya dan platform untuk mewujudkan ekosistem pembinaan talenta. Pentingnya basis data terpadu, kerangka regulasi, pemetaan kebutuhan dan ketersediaan talenta, dan inisiasi kebijakan terobosan.

Platform juga harus mampu menjadi Basis Data Terpadu MTN merupakan suatu sistem yang memadukan empat Sistem Informasi Manajemen Talenta (SIMT), yaitu SIMT Peserta Didik, SIMT Riset dan Inovasi, SIMT Seni Budaya, dan SIMT Olahraga.

Ilustrasi siswa di laboratorium belajar IPA.(SHUTTERSTOCK/MAMA BELLE AND THE KIDS)
Ilustrasi siswa di laboratorium belajar IPA.(SHUTTERSTOCK/MAMA BELLE AND THE KIDS)

Hikmah Besar Kasus Ahmed Mohamed

Talenta nasional bidang riset dan inovasi mesti dikembangkan terhadap murid sekolah dasar dan menengah. Landasan pengembangan itu adalah kecintaan siswa terhadap siswa murid sekolah dasar dan menengah terhadap Pelajaran IPS, IPA dan Matematika.

Untuk pengembangan Pelajaran IPA negara perlu menghadirkan cara yang jitu yang bisa mengesankan pikiran dan perasaan para siswa bahwa belajar IPA itu seperti wisata ilmu pengetahuan yang sangat mengasyikkan.

Beberapa tahun yang lalu, dunia dikejutkan oleh peristiwa tragedi Ahmed Mohammed pelajar di Amerika Serikat berusia 14 tahun yang ditangkap polisi serta diborgol di depan kawan sekolahnya telah menyentak perhatian dunia.

Perbuatan kreatif Ahmed yang membuat jam digital dalam kotak menimbulkan kecurigaan dari gurunya yang serta merta melibatkan polisi untuk menginterogasi bocah polos tersebut.

Ada hikmah yang sangat dalam terkait tragedi Ahmed diatas. Yakni dunia semakin mengapresiasi dan bersimpati terhadap kegiatan ilmiah remaja.

Semangat kreativitas yang tumbuh di kalangan remaja mestinya tidak disikapi dengan kecurigaan yang berlebihan. Apalagi disikapi dengan prasangka buruk seperti adanya anggapan itu merupakan bibit terorisme.

Saat itu tragedi Ahmed telah mendapat perhatian luas, tak terkecuali dari Presiden Barack Obama, CEO Facebook Mark Zuckerberg, Google hingga Twitter.

Sejak saat itu Ahmed mendapat undangan silih berganti untuk berkunjung ke Gedung Putih dan ke kantor pusat Facebook, Twitter dan Google. Presiden Obama menyatakan bahwa Ahmed telah menginspirasi para anak untuk menyukai ilmu sains.

Tragedi Ahmed membuka mata kita bahwa tidak henti-hentinya negara-negara maju menumbuhkan inovasi nilai dan teknologi untuk mempertahankan kejayaan bangsanya.

Pengajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) di sekolah merupakan wahana yang strategis untuk menumbuhkan inovasi nilai dan teknologi.

Bahkan, sebuah buku yang tergolong international bestseller "Blue Ocean Strategy" menyatakan bahwa inovasi tersebut merupakan batu pijakan menuju kemajuan korporasi dan solusi berbagai masalah ekonomi suatu bangsa.

Pengajaran IPA secara ideal di sekolah merupakan investasi masa depan yang tiada taranya bagi suatu bangsa.

Itulah kredo yang mendasari pemerintah Amerika Serikat yang begitu getolnya melibatkan entitas pendidik untuk terlibat aktif dalam berbagai program riset nasional.

Seperti yang terjadi dalam misi pesawat ruang angkasa Endeavour, dimana salah satu astronotnya adalah seorang Guru IPA Sekolah Dasar yang bernama Barbara Morgan.

Sudah beberapa dekade program tersebut dilakukan. Sesuatu yang sudah biasa, jika lembaga-lembaga ilmiah di Amerika Serikat selalu memberikan kesempatan kepada para guru sekolah dasar dan menengah untuk terlibat. Seperti program NASA dengan misi penerbangan pesawat Vomit Comet hingga penerbangan ruang angkasa pesawat Endeavour.

Disisi yang lain pengajaran IPA untuk sekolah dasar dan menengah di tanah air kebanyakan masih asal-asalan. Pengajaran IPA belum mampu memberikan motivasi berkreasi teknologi, proses nilai tambah dan solusi praktis problema kemasyarakatan. Karena pengajaran IPA masih sebatas hafalan rumus-rumus yang kurang membumi.

Untuk itu pentingnya mencari model pengajaran IPA yang mampu menumbuhkan inovasi dan sikap positif terhadap kemajuan teknologi, proses nilai tambah dan mampu menjaga lingkungan. Sikap positif tersebut pada gilirannya akan menghapuskan gagap teknologi yang masih marak dikalangan rakyat Indonesia.

Kurikulum mata pelajaran IPA belum mengarah kepada tujuan untuk membina sikap positif siswa terhadap inovasi dan menjaga lingkungan hidup. 

Sikap ilmiah tersebut dapat mudah dicapai jika proses belajar mengajar IPA banyak melibatkan metode eksperimental. Jadi, tidak sekedar interaksi satu arah dan menekankan hafalan (rote learning) melainkan belajar yang sesungguhnya (meaningful learning).

Itulah yang menjadi titik berat kebijakan pengajaran IPA di Amerika Serikat sehingga pemerintah mau repot-repot melibatkan pendidik dalam program riset nasional. Kerepotan tersebut terbayar lunas dengan tumbuhnya spirit nasional terhadap inovasi nilai dan teknologi.

Disisi lain, metode eksperimental masih belum banyak dipraktekkan oleh kalangan pengajar IPA di Indonesia.

Alasan klasik yang mengemuka adalah kurangnya waktu belajar IPA akibat tersita oleh pelajaran non-IPA. Juga karena tidak tersedianya alat peraga serta faktor anggaran pendidikan nasional yang kurang mendukung.

Idealnya waktu pelajaran IPA harus ditambah, serta tidak lagi berorientasi pada penyelesaian materi kurikulum semata, tetapi lebih pada pemahaman tuntas dan aktual.

Proses pengajaran IPA akan lebih efektif jika melibatkan berbagai metode eksperimental yang bervariasi. Termasuk kegiatan praktikum di ruang laboratorium maupun di alam terbuka. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun