Itulah kredo yang mendasari pemerintah Amerika Serikat yang begitu getolnya melibatkan entitas pendidik untuk terlibat aktif dalam berbagai program riset nasional.
Seperti yang terjadi dalam misi pesawat ruang angkasa Endeavour, dimana salah satu astronotnya adalah seorang Guru IPA Sekolah Dasar yang bernama Barbara Morgan.
Sudah beberapa dekade program tersebut dilakukan. Sesuatu yang sudah biasa, jika lembaga-lembaga ilmiah di Amerika Serikat selalu memberikan kesempatan kepada para guru sekolah dasar dan menengah untuk terlibat. Seperti program NASA dengan misi penerbangan pesawat Vomit Comet hingga penerbangan ruang angkasa pesawat Endeavour.
Disisi yang lain pengajaran IPA untuk sekolah dasar dan menengah di tanah air kebanyakan masih asal-asalan. Pengajaran IPA belum mampu memberikan motivasi berkreasi teknologi, proses nilai tambah dan solusi praktis problema kemasyarakatan. Karena pengajaran IPA masih sebatas hafalan rumus-rumus yang kurang membumi.
Untuk itu pentingnya mencari model pengajaran IPA yang mampu menumbuhkan inovasi dan sikap positif terhadap kemajuan teknologi, proses nilai tambah dan mampu menjaga lingkungan. Sikap positif tersebut pada gilirannya akan menghapuskan gagap teknologi yang masih marak dikalangan rakyat Indonesia.
Kurikulum mata pelajaran IPA belum mengarah kepada tujuan untuk membina sikap positif siswa terhadap inovasi dan menjaga lingkungan hidup.Â
Sikap ilmiah tersebut dapat mudah dicapai jika proses belajar mengajar IPA banyak melibatkan metode eksperimental. Jadi, tidak sekedar interaksi satu arah dan menekankan hafalan (rote learning) melainkan belajar yang sesungguhnya (meaningful learning).
Itulah yang menjadi titik berat kebijakan pengajaran IPA di Amerika Serikat sehingga pemerintah mau repot-repot melibatkan pendidik dalam program riset nasional. Kerepotan tersebut terbayar lunas dengan tumbuhnya spirit nasional terhadap inovasi nilai dan teknologi.
Disisi lain, metode eksperimental masih belum banyak dipraktekkan oleh kalangan pengajar IPA di Indonesia.
Alasan klasik yang mengemuka adalah kurangnya waktu belajar IPA akibat tersita oleh pelajaran non-IPA. Juga karena tidak tersedianya alat peraga serta faktor anggaran pendidikan nasional yang kurang mendukung.
Idealnya waktu pelajaran IPA harus ditambah, serta tidak lagi berorientasi pada penyelesaian materi kurikulum semata, tetapi lebih pada pemahaman tuntas dan aktual.