Sistem Informasi KPU dan Masalah Data Akibat Keragaman Aplikasi
Tata Kelola Sistem informasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 2024 banyak mengalami gugatan publik.
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini mendesak kepada KPU agar segera mengatasi masifnya kesalahan input data perolehan suara capres-cawapres dan pileg di dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Kesalahan input itu menimbulkan "inflasi suara" capres-cawapres, karena data numerik Sirekap menampilkan jumlah yang jauh lebih besar daripada yang tercatat di formulir C1 plano di TPS.
Tak kurang dari Onno W Purbo, pakar teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam akun sosmednya menyatakan perlu audit teknologi, hingga audit source code terkait dengan sistem informasi KPU, khususnya untuk aplikasi Sirekap. Carut marut Sirekap dan input data yang sulit dilakukan dan adanya penyimpangan pembacaan data oleh mesin Optical Character Recognition (OCR) semakin menjatuhkan kredibilitas sistem informasi KPU.
Tata kelola Sistem Informasi KPU dan masalah data akibat keberagaman aplikasi terus terjadi dari pemilu ke pemilu. Teknologi pemilu belum memiliki keandalan dan belum diaudit secara benar, sehingga tingkat kepercayaan publik semakin merosot.
Carut marut tata kelola SI KPU mestinya tidak terjai jika komisioner KPU memahami Visi dan Misi KPU terkait landasan pengembangan Grand Design Sistem Informasi (GDSI) KPU. Dalam buku GDSI KPU, Sistem Informasi (SI) harus dapat mendukung penuh Visi KPU yakni untuk menjadi penyelenggara pemilihan umum yang independen, non partisan dan imparsial, dan profesional sehingga hasil kerjanya dipercaya oleh semua pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Sistem informasi akan menjadi lensa yang akan memproyeksikan Visi dari KPU. Dengan dukungan teknologi informasi, KPU akan mampu melaksanakan misi yang diembannya sesuai dengan visinya agar terwujudnya Pemilihan Umum secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan beradab.
Karena Misi SI KPU dalam GDSI dibuat sekitar tahun 2002, maka perlu transformasi sesuai dengan kemajuan teknologi terkini. Misi yang sudah ditransformasikan menjadikan KPU lebih accountable dalam menjalankan misinya dengan memanfaatkan dukungan teknologi informasi.
Selain itu mampu memanfaatkan teknologi informasi yang appropriate, cost-effective,terkoordinasi, inovatif, dan berdaya-guna untuk meningkatkan efektivitas operasional dan layanan publik KPU.
Arah pengembangan TIK pemilu sesuai dengan visi dan misi, sasaran strategis, program strategis KPU, prinsip-prinsip pengembangan TIK, dan arsitektur aplikasi. Visi, misi, sasaran, dan rencana strategis TIK ditetapkan melalui analisis Business-IT Alignment.
Dibutuhkan arsitektur aplikasi yang terbagi kedalam empat tingkatan (level): sistem informasi anggota KPU, sistem informasi monitoring, sistem informasi operasional, dan sistem informasi perkantoran.
Pelaksanaan pembangunan aplikasi secara bottom-up akibatnya setiap aplikasi dengan pengembang yang berbeda-beda menimbulkan sederet masalah. Sebenarnya problem integrasi bisa diatasi dengan solusi pengembangan ulang setiap aplikasi dengan vendor yang berbeda-beda dengan berbasis ESB dan SOA.
Pengembangan ulang aplikasi utama (Tahapan) oleh vendor pilihan dengan berbasis ESB dan SOA dan Aplikasi Non Tahapan secara bottom Up juga berbasis ESB dan SOA. Tentunya dengan memperhatikan perkembangan teknologi terkini yaitu Cloud Computing dan Big Data dan juga ISO 27000 untuk aspek keamanan SI.
Prinsip Pengembangan SI KPU
Sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan TIK dalam rangka mendukung e-Government, pengembangan aplikasi SI KPU menggunakan pendekatan konsep Service Oriented Architecture (SOA) menggunakan layanan Enterprise Service Bus (ESB).
Antar aplikasi termasuk data warehouse (DWH) saling berinteraksi untuk pertukaran data melalui layanan ESB. Interaksi ini mengintegrasikan dan mengotomasikan proses bisnis KPU tanpa harus mengganggu keberadaan modul aplikasi eksisting (silo). Dengan konsep SOA mewujudkan prinsip single source of truth dan cost effective dalam dalam rangka e Government.
Akses terhadap aplikasi melalui portal intranet dan portal publik. Aplikasi-aplikasi yang diperuntukkan bagi kebutuhan internal KPU diakses melalui portal intranet. Akses aplikasi melalui portal intranet hanya diberikan kepada pihak-pihak yang terdaftar saja. Konsep yang dipakai adalah single sign on (SSO), yaitu user/pengguna hanya sekali login dan mendapatkan akses ke seluruh aplikasi sesuai dengan hak aksesnya.
Contoh aplikasi yang diakses melalui portal intranet adalah seperti aplikasi kepegawaian, aplikasi keuangan,dan aplikasi lainnya yang bersifat untuk kebutuhan internal KPU. Sedangkan akses melalui portal publik adalah akses melalui website untuk informasi umum layanan publik atau aplikasi yang fungsinya ditujukan untuk publik. User tidak harus terdaftar untuk akses portal publik.
Distribution channels dari target aplikasi SI KPU terdiri dari berbagai macam kanal yaitu mobile device, laptop, PC, dan alat-alat gadget lainnya,seperti tampak dalam gambar di atas.
Development tools merupakan aplikasi sebagai alat bantu untuk mendukung proses pengembangan aplikasi sehingga Pusdatin KPU dapat memastikan proses pengembangan aplikasi selaras dengan tahapan system development life cycle (SDLC) dan menghasilkan produk aplikasi yang berkualitas.
Mestinya aplikasi SI KPU dibangun dengan memperhatikan sejumlah kendala demografi, geografis, infrastruktur teknologi, SDM, dan pengamanan data yang terdapat di Indonesia yang relatif sangat besar serta kompleks.
Tahapan pemilu tanpa melibatkan teknologi mustahil bisa terlaksana dengan murah, cepat dan kredibel. Sayangnya, penerapan teknologi pemilu di Indonesia selama ini belum merupakan solusi yang komprehensif dan pernah terjebak salah pilih teknologi. Akibatnya, teknologi pemilu yang ada selama ini mengalami resistensi bahkan antipati yang hebat dari parlemen maupun publik. Pada era sekarang ini, Pemilu membutuhkan metode pemungutan suara dan teknologi yang dipersiapkan secara matang dan memiliki landasan filosofis yang kokoh. Serta aman dari berbagai modus fraud atau kecurangan.
Ada lima prinsip dasar yang menjadi landasan bangunan tata kelola sistem informasi yang terabaikan. Prinsip pertama, perencanaan SI Pemilu selama ini kurang sinergis dan konvergen di level internal institusi. Akibatnya begitu mudahnya anggota KPU mengubah pilihan teknologi penginput data tanpa kajian teknis yang memadai, dan lebih disebabkan oleh vendor driven.
Kedua, penetapan kepemimpinan dan tanggung jawab Sipemilu yang kurang jelas di level internal institusi.
Ketiga, pentingnya pengembangan dan/ atau akuisisi aplikasi SI Pemilu secara valid dan konsisten. Hal itu untuk memastikan bahwa setiap pengembangan dan/atau akuisisi tersebut didasarkan pada alasan yang tepat dan dilakukan dengan cara yang tepat; berdasarkan analisis yang tepat dan terus-menerus. Memastikan bahwa dalam setiap pengembangan dan/atau akuisisi tersebut selalu ada pertimbangan keseimbangan yang tepat atas manfaat jangka pendek dan jangka panjang, biaya dan risiko-risiko.
Keempat, memastikan operasi Sipemilu berjalan dengan baik dengan simulasi dan sampel yang memadai.
Kelima, memastikan terjadinya pengembangan yang berkesinambungan dengan memperhatikan faktor manajemen perubahan organisasi dan sumber daya manusia.
Negara demokrasi terbesar seperti Amerika Serikat pernah terjadi krisis teknologi pemilu serta terjadinya election fraud yang memerlukan effort sangat besar untuk mengatasinya. Krisis election yang pernah terjadi di Amerika Serikat diselesaikan dengan melibatkan para pakar lintas keilmuan dari perguruan tinggi dan badan riset terkemuka.
Teknologi pemilu di Amerika Serikat pernah mengalami krisis kepercayaan dan mendapat sorotan tajam setelah ada masalah kontroversial dalam pemilu presiden terkait penggunaan e-Voting pada tahun 2000. Untuk memecahkan masalah teknologi pemilu disana dibentuklah Voting Technology Project (VTP) yang dikoordinasi oleh pakar dari California Technology dan MIT. Tim tersebut berhasil melakukan perubahan dan improvement terhadap teknologi pemilu di Amerika Serikat sehingga tidak rentan fraud dan peretasan. Hasilnya hingga kini di Amerika Serikat tetap ada dua alternatif e-Voting yakni sistem berbasis DRE ( Direct Record E-Voting ) yang diterapkan pada 30 % daerah pemilihan, dan yang berbasis PCOS (Precinct Count Optical Scanning) atau juga disebut e-Counting sebanyak 70 %.
Penerapan teknologi pemilu di Indonesia juga belum menemukan bentuk yang ideal dan dari empat penyelenggaraan pemilu pasca gerakan reformasi juga masih sarat masalah sehingga masih belum ada kepercayaan publik dan kepercayaan dari para politisi terkait dengan penerapan teknologi pemilu yang berbasis TIK. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H