Ternyata publik juga bereaksi negatif melihat langkah dan kebijakan menteri saat ini. Publik menilai langkah dan pemikiran menteri yang bernafsu membeli 12 unit jet tempur bekas jenis Mirage 2000-5 dari Qatar seharga US$ 800 juta atau setara dengan Rp 12 triliun merupakan kebijakan yang amat sangat tidak tepat.Â
Setelah mendapat kecaman publik, pembelian pesawat itu ditunda. Kok ditunda sih, mestinya dibatalkan tanpa syarat. Dan uang negara yang terlanjur dikeluarkan untuk pesawat rongsokan itu mesti dikembalikan kepada kas negara.
Masih hangat dalam ingatan publik, Presiden Jokowi dalam rapat terbatas kebijakan pengadaan alutsista pada 22 November 2019 telah wanti-wanti jangan sampai pengadaan alutsista dengan teknologi yang sudah usang, sudah ketinggalan zaman, dan tidak sesuai dengan corak peperangan masa depan.Â
Terkait jet tempur bekas dari Qatar ini, pada 2009 silam sebenarnya Pemerintah Qatar sudah berencana menghibahkan kepada Pemerintah Indonesia. Namun waktu itu Pemerintah SBY dalam hal ini Kementerian Pertahanan RI di bawah Menteri Purnomo Yusgiantoro menolak tegas, karena biaya perawatannya yang mahal. Inilah yang mengherankan, Kementerian Pertahanan justru sekarang melakukan pembelian dengan harga gila-gilaan.
Debat Capres Ketiga yang akan berlangsung sore ini (07/01/2024) diwarnai dengan kondisi global maraknya kegiatan transfer senjata internasional volumenya kian meningkat. Banyak negara berusaha melakukan optimasi transfer senjata dengan skema ekonomi pertahanan masing-masing. Skema transfer senjata tidak sebatas jual beli senjata saja, namun bisa juga lewat kegiatan latihan bersama dan skema imbal beli.Sayangnya transfer senjata global diwarnai oleh genggaman para broker alutsista.
Lembaga kajian Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) melaporkan transfer senjata antar negara meningkat, utamanya ke kawasan Eropa sejak terjadinya perang Rusia dengan Ukraina. Menurut data Kementerian Keuangan Rusia yang dilansir Newsweek, pengeluaran Rusia untuk perang di Ukraina setiap jamnya mencapai sekitar satu miliar rubel atau 15,5 juta dollar AS setara Rp 288,25 miliar.
Sampai sekarang, Amerika Serikat masih menjadi eksportir senjata terbesar di dunia karena menguasai 39 persen market share. Selama ini ada distorsi ekonomi pertahanan. Hambatan tersebut perlu segera diatasi dengan merombak ekonomi pertahanan mengingat geopolitik global sangat dinamis.
Merujuk Britannica Encyclopedia, ekonomi pertahanan merupakan manajemen ekonomi nasional yang terkait dengan dampak ekonomi dari belanja alutsista militer. Faktor yang terkait dengan ekonomi pertahanan antara lain tingkat belanja pertahanan, dampak pengeluaran pertahanan terhadap produk dan lapangan kerja di dalam dan luar negeri, pengaruh belanja pertahanan dengan perubahan teknologi, serta efek stabilitas nasional dan global.
Kompleksitas pengadaan peralatan hankam yang terkait dengan transfer senjata internasional bisa dikelompokkan dalam tiga komponen utama, yakni terkait dengan transparansi, struktur pelaporan, dan standardisasi. Transparansi berkaitan dengan data tentang transfer senjata konvensional yang di dalamnya memuat informasi tentang kebijakan pertahanan negara yang melakukan transfer senjata; perusahaan pengadaan alutsista; serta produksi nasional persenjataan.
Standardisasi mengatur tentang substansi pelaporan yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama memuat tentang negara atau negara importir akhir, jumlah persenjataan dan negara asal senjata. Bagian kedua memuat tentang deskripsi senjata yang diimpor.
Transfer senjata di Indonesia seharusnya sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Apalagi ada tekad Presiden Jokowi untuk membenahi pengadaan senjata serta menghilangkan semua kebocoran melalui rekanan atau broker.