Kenapa Dunia Menertawakan Sistem Pemilu Kita?
Kasus di Taipei yang telah melakukan pencoblosan Pemilu 2024 jauh sebelum waktunya menjadi sorotan publik. Diantara kita banyak yang tidak sadar kalau warga dunia menertawakan sistem pemilu di Indonesia. Adakah yang konyol atau lucu ? Adakah paradoks dalam sistem atau cara pemungutan suara dalam pemilu kita ?
Jika kita pikir secara jernih dan mendalam, ada sederet alasan logis kenapa dunia bisa menertawakan kita. Yang paling lucu adalah kertas suara yang ukurannya sebesar kertas koran jaman baheula. Tidak ada di dunia ini yang kertas suara sebesar itu. Betapa boros kertas penyelenggaraan pemilu di negeri ini.
Kemudian yang bikin warga dunia geli adalah cara kertas suara yang masih dicoblos. Cara mencoblos ini boleh dibilang masih primitif karena sudah amat jarang di dunia. Yang masih mencoblos tinggal dua negara, yakni Kamboja dan satunya negeri kita tercinta.
Kelucuan lainnya adalah banyaknya jumlah petugas di tempat pemungutan suara (TPS). Terdiri dari 7 orang petugas KPPS ditambah dengan dua orang anggota keamanan (satpam). Kemudian juga ditambah dengan para saksi dari parpol atau capres. Masih lagi adanya pengamat. Semua orang tersebut mesti diberi imbalan uang atau upah.Â
Betapa besarnya kebutuhan untuk anggaran tersebut. Perlu anggaran Rp 34,4 triliun untuk membiayai lebih dari 8 juta anggota badan ad hoc. Paling banyak ialah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang berjumlah 5,6 juta orang dengan masa kerja satu bulan, belum termasuk linmas di tempat pemungutan suara (TPS) yang mencapai 1,6 juta orang. Dibandingkan dengan petugas TPS di negara lain, jumlah di Indonesia sangat banyak.
Sebagian anggaran untuk badan ad hoc sebenarnya sudah bisa untuk membeli mesin e Voting versi yang paling baru. Atau bisa membuat sendiri mesin tersebut namun tingkat kepercayaan mesin e Voting buatan dalam negeri cenderung rendah dan bisa menjadi sumber sengketa pemilu. Dengan adanya e Voting maka anggaran pemilu bisa ditekan lebih rendah dan proses penghitungan suara jauh lebih cepat dan lebih kredibel.
Kelucuan yang lain adalah sistem rekapitulasi suara berjenjang yang memakan waktu hingga lebih dari sebulan. Padahal pada era digital sekarang ini mestinya dalam waktu kurang dari seminggu hasil rekapitulasi suara pemilu legislatif, pemilu presiden, dan DPD sudah tuntas. Berlarut-larutnya rekapitulasi hasil pemungutan suara menyebabkan keresahan publik. Ironisnya lembaga survei justru mengambil alih kondisi dengan versi hitungan masing-masing.
Kasus Taipei menunjukkan kepada dunia betapa repotnya sistem pemilu Indonesia. Selain itu juga boros kertas alias tidak ramah lingkungan, berbiaya mahal namun kurang efektif. Kasus Taipei menunjukkan bahwa sistem logistik pemilu di Indonesia masih kuno. Betapa besarnya volume logistik yang berupa kertas suara dan penunjang lainnya.
Ketika Presiden Jokowi ditanya wartawan terkait dengan kasus Taipei, jawabnya terkesan klise. Jokowi menyatakan ada persoalan jadwal operasional kantor pos di Taipei. Ironisnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru menganggap kasus Taipei dianggap sepele. Jawaban Ketua KPU Hasyim Asy'ari sekenanya dan terkesan meremehkan kasus tersebut.Â
Surat suara yang sudah didistribusikan atau sudah dicoblos oleh WNI di Taipei bakal dinyatakan tidak sah karena dilakukan sebelum waktunya. Publik banyak yang khawatir, jangan-jangan sebenarnya masih banyak kasus yang mirip dengan Taipei. Mestinya Bawaslu sigap dan bergerak cepat melakukan investigasi.
Sistem logistik pemilu jelas menjadi persoalan bagi Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) yang mana kepada pemilih baru boleh dilakukan pada 2 Januari hingga 11 Januari 2024. Jadwal itu sudah diatur dalam PKPU No. 25 tahun 2023. Mestinya sistem pemungutan suara di luar negeri dengan sistem pemilu elektronik. Voting bisa dilakukan lewat smartphone masing-masing pemilih atau dengan sistem e Voting terbatas.
Tingkat Kepercayaan Teknologi Pemilu
Pemilu 2024 menjadikan petugas KPPS sebagai ujung tombak demokrasi sekaligus objek penderita pada saat penghitungan suara. Membuka kertas suara satu persatu repotnya bukan main, karena mesti di "jembreng" atau dibuka lebar-lebar lalu dipelototi dimana lubang coblosan.
Penyelenggaraan Pemilu 2024 masih primitif karena kertas suara ukuran besar dicoblos. Pemilu yang lalu pernah naik kelas dalam hal sistem pemungutan suara yakni dicontreng. Kemudian formulir rekapitulasi dibuat dengan ukuran kertas yang proporsional dengan mesin scanner.
KPU perlu menyempurnakan prosedur dan menyiapkan perangkat teknologi informasi Pemilu untuk meningkatkan kredibilitas penghitungan suara. Mulai dari adanya proteksi hologram dalam formulir penghitungan suara C1 di TPS, adanya proses scanning atau pemindaian C1 di setiap TPS serta memberikan kesempatan bagi publik untuk mengambil gambar tabulasi hasil penghitungan suara di TPS.
Hingga kini publik dan para politisi masih ada yang menaruh kecurigaan dan kurang percaya terhadap teknologi pemilu yang diterapkan di negeri ini. Karena teknologi pemilu, khususnya sistem informasi Pemilu yang disodorkan KPU selama ini kurang kredibel dan belum melalui uji penerimaan publik. Juga belum diterapkan IT audit hingga level penyelenggara pemilu terendah.
Kecurigaan publik terhadap teknologi pemilu saat ini merupakan hal yang wajar. Masih hangat dalam ingatan kita, bahwa data hasil pemilu yang lalu ditampilkan dari Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) tertatih-tatih, sempat secara tiba-tiba jumlah suara yang masuk langsung melonjak puluhan juta. Namun, beberapa kali sistem juga sempat reset ke posisi ekstrim bahkan sempat terhenti beberapa jam.
Pengalaman buruk pemilu yang lalu, proses tabulasi yang berlangsung selama 5 hari, data yang ditayangkan di tabulasi KPU hanya mencapai angka yang minim. Saat itu KPU mengakui bahwa penyebabnya adalah sistem Intelligent Character Recognition (ICR) sebagai biang kerok kegagalan tabulasi online.
Kegagalan sistem input data suara Pemilu dengan mesin pemindai berbasis ICR tidak boleh terulang kembali. Apalagi pada saat ini adalah pemilu serentak yang tentunya banyak formulir yang mesti dikirimkan.
Langkah KPU yang menerapkan sistem pemindai untuk mengelola hasil pemungutan suara di setiap TPS sebaiknya teknologinya dipersiapkan secara matang. Juga dilakukan audit teknologi serta uji publik terhadap sistem tersebut.
Jangan sampai sistem yang dibuat secara dadakan oleh tim yang dibentuk KPU itu justru menimbulkan kerawanan baru dan membuka peluang manipulasi hasil pemilu secara sistemik. Patut digaris bawahi bahwa pemindahan form C1 ke dalam format C1-IT sangat rawan manipulasi dan sulit diawasi oleh peserta pemilu.
Fakta menunjukkan bahwa sengketa hasil pemilu yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kebanyakan terjadi pada proses rekapitulasi tingkat PPK (Kecamatan) dengan cara memanipulasi formulir C-1. Selama ini KPU hanya mampu menyajikan jalannya penghitungan suara secara minimalis, dilain pihak penyelenggara pemilu di luar negeri, seperti contohnya di Amerika Serikat mampu menyajikan secara paripurna kepada rakyatnya dan kepada seluruh warga dunia. Seluruh rakyat Amerika dan warga dunia bisa menikmati proses pemungutan suara dan rekapitulasinya untuk setiap TPS secara cepat. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H