Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Cara Mereduksi Beban Kerja Petugas KPPS

30 Desember 2023   06:53 Diperbarui: 31 Desember 2023   20:23 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas KPPS saat memberikan petunjuk cara mencoblos kertas suara kepada pemilih. (Foto: Antara)

Cara Mereduksi Beban Kerja Petugas KPPS 

Animo publik untuk menjadi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) cukup tinggi. Begitulah menurut pengamatan di dapil penulis. Animo publik untuk menjadi anggota maupun ketua KPPS disebabkan karena jumlah honor yang lebih besar dibanding pemilu yang lalu. Juga karena KPU akan menggunakan teknologi yang bisa meringankan beban kerja petugas KPPS.

Keniscayaan pentingnya transformasi pemilu di Indonesia. Untuk itu menuntut Komisioner KPU agar mampu membangun sistem yang mendukung implementasi tata kelola kepemiluan yang baik bercirikan jujur, adil, transparan dan profesional. Integritas penyelenggara pemilu perlu diwujudkan dengan baik. Jika integritas itu hancur bisa menyebabkan krisis kebangsaan bahkan bisa menyebabkan chaos.

Itu bisa dijalankan efektif apabila memanfaatkan teknologi pemilu secara tepat untuk pelaksanaan setiap tahapan pemilu. Mulai dari pendataan pemilih hingga penghitungan suara dan penetapan calon terpilih. Berkaca terhadap pengalaman pahit penyelenggaraan Pemilu 2019 yang telah memakan biaya yang sangat besar dan menelan banyak korban jiwa KPPS, hendaknya dievaluasi secara mendalam.

Animo publik menjadi anggota KPPS cukup besar karena honor yang diberikan tergolong lumayan di tengah melemahnya daya beli masyarakat dan masih banyaknya pengangguran.

Menurut KPU masa kerja petugas KPPS Pemilu 2024 hanya satu bulan yakni 25 Januari 2023--25 Februari 2024. Mereka juga mendapatkan gaji sebesar Rp1.100.000 bagi anggota KPPS Pemilu 2024. Kenaikannya mencapai Rp650.000 jika dibandingkan dengan honor KPPS pada Pemilu 2019 lalu, yaitu Rp500.000.

Sedangkan untuk Ketua KPPS, honornya sedikit lebih tinggi dibandingkan para anggotanya. Ketua KPPS akan mendapatkan honor sebesar Rp1.200.000 atau naik sekitar 118 persen jika dibandingkan dengan honor pada Pemilu 2019, yaitu Rp550.000.

Mereduksi Beban Kerja dengan Teknologi

Penggunaan teknologi Sistem Informasi (SI) dalam Pemilu meliputi SIPOL ( Sistem Informasi Partai Politik), SIDALIH (Sistem Informasi Data Pemilih), SILOG (Sistem Logistik ) dan SITUNG (Sistem Informasi Perhitungan Suara ).

Pada saat ini KPU sedang fokus pada solusi integrasi SIDALIH, SILON, SITUNG, SILOG. Sistem pemilu di negara kita memang belum mencapai sistem e-Voting. Namun demikian setiap tahapan pemilu sebaiknya menggunakan bantuan teknologi yang sudah diaudit oleh lembaga independen dan terjaga keamanannya. Sehingga modus kecurangan pemilu lewat teknologi informasi bisa dicegah.

Sejak pemilu pasca reformasi Visi dan Misi KPU merupakan landasan pengembangan Grand Design Sistem Informasi (GDSI) KPU. Dalam buku GDSI KPU, Sistem Informasi Pemilu (Sipemilu) harus dapat mendukung penuh Visi KPU yakni untuk menjadi penyelenggara pemilihan umum yang independen, non partisan dan imparsial, dan profesional sehingga hasil kerjanya dipercaya oleh semua pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Teknologi pemilu yang digunakan KPU perlu ditransformasikan sesuai dengan kemajuan teknologi terkini. Diharapkan misi yang sudah ditransformasikan menjadikan lembaga KPU lebih accountable dalam menjalankan misinya dengan memanfaatkan dukungan teknologi.

Teknologi yang paling bersentuhan dengan petugas KPPS adalah Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG atau e-Counting). Merupakan aplikasi yang didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan spesifik KPU/KPUD sehubungan dengan proses perekaman penghitungan suara hasil Pemilu/Pilkada (e Counting) , sedangkan proses pemungutan suara dan rekapitulasi di TPS masih dilakukan secara manual.

Sayangnya penerapan SITUNG berbasis Teknologi DMR (Digital Mark Reader) dan ICR (Intelligent Character Recognition) yang dilakukan dalam Pemilu 2019 masih mengalami banyak masalah.

Ada lima prinsip dasar yang menjadi landasan bangunan tata kelola sistem informasi yang tidak boleh terabaikan.

Prinsip pertama, perencanaan teknologi Sipemilu, sayangnya selama ini kurang sinergis dan konvergen di level internal institusi. Akibatnya begitu mudahnya anggota KPU mengubah pilihan teknologi penginput data tanpa kajian teknis yang memadai, dan lebih disebabkan oleh vendor driven.

Kedua, penetapan kepemimpinan dan tanggung jawab Sipemilu yang kurang jelas di level internal institusi. Hal itu disebabkan karena eksistensi Biro IT KPU "antara ada dan tiada".

Ketiga, pentingnya pengembangan dan/ atau akuisisi aplikasi Sipemilu secara valid dan konsisten. Hal itu untuk memastikan bahwa setiap pengembangan dan/atau akuisisi tersebut didasarkan pada alasan yang tepat dan dilakukan dengan cara yang tepat; berdasarkan analisis yang tepat dan terus-menerus. Memastikan bahwa dalam setiap pengembangan dan/atau akuisisi tersebut selalu ada pertimbangan keseimbangan yang tepat atas manfaat jangka pendek dan jangka panjang, biaya dan risiko-risiko.

Keempat, memastikan operasi Sipemilu berjalan dengan baik dengan simulasi dan sampel yang memadai.

Kelima, memastikan terjadinya pengembangan yang berkesinambungan dengan memperhatikan faktor manajemen perubahan organisasi dan sumber daya manusia.

Penggunaan teknologi dalam hal ini sistem elektronik dalam pelaksanaan pemilu bisa mempersingkat waktu dan memangkas anggaran secara signifikan. Namun begitu belum ada kepercayaan publik dan elite politik terkait penerapan teknologi pemilu.

Tahapan pemilu tanpa melibatkan teknologi mustahil bisa terlaksana dengan murah, cepat dan kredibel. Sayangnya, penerapan teknologi pemilu di Indonesia selama ini belum merupakan solusi yang komprehensif. Akibatnya, teknologi pemilu yang ada selama ini mengalami resistensi yang hebat dari parlemen maupun publik.

 

Seorang petugas pemilu di India memeriksa Mesin Penghitungan Elektronik (EVM) di Agartala, 11 Mei 2019. (AFP/Arindam Dey)
Seorang petugas pemilu di India memeriksa Mesin Penghitungan Elektronik (EVM) di Agartala, 11 Mei 2019. (AFP/Arindam Dey)

Belajar dari India

Pengalaman buruk yang menyebabkan ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu 2019 di Indonesia meninggal dunia setelah hari pencoblosan tidak boleh terulang. Belum diteliti secara rinci kenapa yang meninggal sedemikian banyak dan apa penyebab kematian orang sebanyak itu. Apakah secara medis karena terjadi gagal jantung akibat kelelahan dan kurang tidur. Atau karena beragam penyakit yang lain.

Sementara ini yang dituding penyebab kematian diatas adalah beban kerja berlebih dan depresi akibat tekanan jadwal waktu yang mepet. Jika kita lihat lebih dalam beban kerja diatas adalah proses penghitungan suara yang sebenarnya hanya melibatkan matematika yang sederhana.

Ironis, dalam waktu yang hampir bersamaan di belahan dunia yang lain juga diselenggarakan Pemilu serentak yang diikuti oleh pemilih yang jumlahnya jauh lebih besar dari Indonesia, namun petugas pemilu di sana tidak banyak yang meninggal akibat beban kerja.

Sebut saja negara yang dimaksud diatas adalah India yang memulai pemilu nasional pada Kamis (11/4/2019). India selalu sukses menggelar pemilihan umum terbesar di dunia yang diikuti sekitar 900 juta pemilih yang digelar selama enam pekan. Tahapan Pemilu di India sangat praktis,efektif dan murah. Dan bisa terlaksana secara jurdil dan bebas dari tudingan adanya fraud atau kecurangan.

Keniscayaan, transformasi teknologi pemilu di negeri ini tidak bisa dihindari. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat harus sekuat tenaga membenahi tata kelola demokratisasi. Kondisi di India dengan pemilih sekitar 900 juta orang dihadang kesulitan besar jika tidak menerapkan pemilu elektronik.

Ada baiknya kita membandingkan Pemilu di Indonesia dengan di India. Dengan jumlah pemilih lima kali lipat dibanding Indonesia, namun hasil pemilu di India bisa diketahui dalam waktu dua hari saja dengan tabulasi suara nasional dan lokal yang lengkap serta sangat akurat sehingga tidak banyak menimbulkan kisruh atau sengketa.

Dilain pihak hitungan berjenjang hasil pemilu di Indonesia dalam waktu satu bulan belum juga tuntas. Yang sungguh luar biasa bangsa India bisa melantik pimpinan negara terpilih beserta kabinetnya lebih cepat. (TS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun