Profesi Pelaut dan Infrastruktur, Kunci Optimalisasi Ekonomi kelautan
Optimalisasi ekonomi kelautan Indonesia semestinya disertai dengan pengembangan profesi pelaut seluas-luasnya.
Belum berhasilnya Indonesia mewujudkan poros maritim dunia yang tangguh salah satu penyebabnya adalah masalah perlindungan dan perbaikan portofolio kompetensi pelaut dan tingkat kesejahteraannya. Selain itu masalah infrastruktur dan ketaatan terhadap regulasi juga menjadi kunci optimalisasi ekonomi kelautan.
Sebagai aktivis serikat pekerja saya sering mendengar keluhan kawan-kawan yang berprofesi sebagai pelaut. Organisasi pekerja sektor maritim atau kelautan terus berjuang agar anggotanya mendapatkan perlindungan kerja dan upah yang layak. Masih banyak masalah perlindungan bagi pelaut Indonesia baik yang bekerja di perusahaan dalam dan luar negeri.
Sekedar catatan, pelaut adalah orang yang bekerja di atas kapal, baik itu kapal tanker, kapal angkut atau kapal penumpang. Pada dasarnya, siapapun yang bekerja di atas kapal dapat disebut sebagai pelaut namun semuanya memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Mereka harus mengikuti seluruh perintah dan aturan yang diberikan oleh kapten.
Masalah Perlindungan Pelaut
Dari aspek aturan internasional pelaut merupakan profesi terkait dengan angkutan laut yang merupakan moda transportasi yang sarat regulasi. Melihat perkembangan global profesi pelaut di Indonesia memerlukan peraturan tersendiri dalam dalam ketenagakerjaan. Indonesia perlu meratifikasi penuh berbagai konvensi yang dikeluarkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea ( UNCLOS ) serta wajib patuh regulasi tersebut.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memiliki badan khusus yang menangani bidang maritim, yakni International Maritime Organization (IMO). Pada prinsipnya badan ini mengatur keamanan angkutan laut serta ketentuan tentang pelatihan dan pendidikan awak kapal.
Eksistensi IMO di setiap negara anggota mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pengawasan konvensi internasional untuk kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya. Sayangnya hingga kini kondisi kapal-kapal berbendera Indonesia sebagian masih belum mampu memenuhi ketentuan IMO, bahkan banyak terjadi pelanggaran aturan.
Hingga saat ini kawan-kawan pelaut dan pekerja maritim masih prihatin dengan kedudukan hukumnya. Karena Undang-Undang tentang Pelayaran isinya hampir 80 persen hanya berbicara mengenai prosedur perizinan kapal dan beberapa iuran yang harus dibayarkan. Serta prosedur sertifikasi bagi pelaut yang ujungnya adalah masalah biaya yang harus dikeluarkan.Â
Pasal-pasal dalam UU diatas belum banyak berbicara tentang perlindungan dan jaminan keselamatan pelaut serta hak-hak normatifnya. Mestinya perlindungan dan hak-hak normatif pelaut dijabarkan secara lengkap dan jelas.
Meskipun sudah ada PP Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, namun ketentuan tersebut oleh Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) dinilai masih belum lengkap. Selama ini pemerintah juga dinilai kurang konsisten terkait Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers ( STCW) yang merupakan konvensi yang berisi tentang persyaratan minimum pendidikan atau pelatihan yang harus dipenuhi oleh ABK untuk bekerja sebagai pelaut. Namun berbagai konvensi diatas masih belum diaplikasikan dengan baik.Â
Selama ini besaran upah bagi pelaut yang bekerja di kapal-kapal samudera atau ocean going berstandar global terjadi kesenjangan yang besar dengan pelaut yang mengoperasikan kapal lokal.
Infrastruktur Kemaritiman dan Zonasi Kapal
Infrastruktur kemaritiman merupakan kunci optimalisasi ekonomi kelautan yang perlu terus dibangun. Salah satu infrastruktur kemaritiman yang mendesak untuk dibenahi terkait dengan wisata bahari.Â
Saat ini wisata bahari menjadi salah satu tumpuan industri pariwisata Indonesia. Namun, pengembangan pesisir dan laut untuk destinasi wisata masih terbatas dan kalah bersaing dari negara lain. Perlu pengembangan infrastruktur, kesiapan sumber daya manusia, dan eksplorasi potensi kelautan.
Pariwisata bahari di Indonesia termasuk dalam salah satu ikon destinasi wisata Indonesia yang mendunia. Keniscayaan sebagai negara yang kaya akan potensi pesisir dan laut, sumber daya alam kelautan tersebut menjadi lahan garapan pariwisata yang menjanjikan. Hingga saat ini, destinasi wisata di Indonesia yang diminati wisatawan mancanegara masih didominasi wisata alam dan budaya. Pada kelompok wisata alam, 45 persen kunjungan wisatawan mancanegara tertuju pada ekowisata dan 35 persen kunjungan pada wisata bahari.
Di kalangan wisatawan Nusantara, wisata bahari termasuk dalam tiga besar tujuan wisata yang paling favorit dikunjungi saat berekreasi. Menurut catatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif disebutkan bahwa nilai ekonomi hanya dari empat kegiatan pariwisata bahari setiap tahun mencapai 1,32 miliar dollar AS atau senilai Rp 18,5 triliun. Keempat jenis wisata itu terdiri dari kegiatan wisata di kapal pesiar (cruise), kapal wisata (yacht), menyelam, dan berselancar.
Wisata bahari selain membutuhkan infrastruktur yang memadai juga membutuhkan strategi untuk melindungi lingkungan laut. Perlu mencegah tragedi lingkungan perairan baik yang berupa pencemaran maupun kecelakaan kapal. Untuk itu perlu antisipasi dengan kebijakan zonasi kapal dan efektivitas pengawasan.
Zonasi kapal harus terkait dengan kebijakan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Hingga kini pemerintah dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum berhasil mengimplementasikan Undang-Undang No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara baik.
Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang indah. Tentunya hal itu merupakan potensi ekonomi karena merupakan destinasi unggulan. Sayangnya pemerintah daerah belum inovatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kedatangan kapal pesiar di perairan Nusantara jangan hanya dilihat dari sisi ekonomi belaka, namun harus disertai dengan aspek keamanan bagi lingkungan. Destinasi wisata bahari membutuhkan moda transportasi yang sesuai regulasi yang digariskan oleh International Maritime Organization (IMO). Organisasi ini secara detail telah mengatur keamanan angkutan laut. Juga mencegah agar tidak merusak lingkungan dan menimbulkan polusi. IMO juga menentukan persyaratan, pelatihan dan pendidikan awak kapal. Termasuk awak kapal pesiar.
Tingginya angka kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga mendorong modus perusakan lingkungan. Kondisi tersebut makin serius karena ada mafia yang memanfaatkan penduduk miskin untuk menjarah dan merusak biota laut. Otoritas pengawasan dan pengendalian (wasdal) sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus diperkuat. Sehingga tugas pokok wasdal yang mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan bisa efektif.
Zonasi kapal dan penguatan otoritas wasdal sangat urgen karena pada saat ini eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan intensitasnya sangat tinggi di sejumlah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Antara lain seperti ekplorasi dan ekploitasi migas dan mineral yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan dan biota laut. Selain itu semakin banyaknya bangunan kelautan, angkutan laut, serta jasa kelautan lainnya, termasuk eksploitasi harta karun/ barang berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT) yang kian menjadi ancaman.
Eksploitasi yang berlebihan tentunya berdampak pada rusaknya lingkungan. Perlu penguatan sistem VMS (Vessel Monitoring System) mengingat masih lemahnya personal dan jumlah armada di DKP Provinsi. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H